Blogger Tips and Tricks

Sabtu, 29 Juni 2013

Islam, Moral dan Kemanusiaan



BAB i
pendahuluan

  1. Latar Belakang
Islam adalah Agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan yang praktis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problema sosial yang ada dalam masyarakat.
Moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti dapat kebiasaan atau cara hidup. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam prilaku yang harus dipatuhi (Gunarsa, 1986). Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur prilaku individu dalam hubungannya dengan masyarakat (Shaffer, 1979). Moral merupakan tindakan manusia yang bercorak khusus yang didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan buruk. Moral yang membedakan manusia dengan makhluk tuhan yang lainnya dan menempatkan pada posisi yang baik diatas makhluk lain. 
Kemanusiaan menurut KBBI adalah (1) sifat-sifat manusia (2) sebagai manusia. perasaan kita senantiasa mencegah kita melakukan tindakan terkutuk (3) sifat-sifat yang layak bagi manusia pada umumnya.

  1. Rumusan Masalah
·    Apa yang dimaksud islam, moral dan kemanusiaan?
·    Apa hubungan antara islam, moral dan kemanusiaan?
·    Bagaimana moral dan kemausiaan menurut ajaran islam?

  1. Tujuan
·    Mengetahui apa itu islam, moral dan kemanusiaan
·    Mengetahui hubungan islam, moral dan kemanusiaan.



BAB II
PENDAHULUAN
A.        Islam
Secara etimologis (asal-usul kata) kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT:
ﺑﻟﻰ ﻤﻥ ﺍﺴﻟﻡ ﻮﺠﻬﻪ ﷲ ﻮﻫﻮﻤﺤﺴﻥ ﻓﻟﻪ ﺍﺠﺮﻩ ﻋﻧﺪ ﺮﺑﻪ ﻮﻻ ﺨﻮﻑ ﻮﻻﻫﻡ ﻴﺤﺯﻧﻮﻦ۝  
“Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati”[1]
Secara terminologis (istilah / makna) dapat dikatakan, Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan yang praktis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problema sosial yang ada dalam masyarakat.
Islam sebagai agama moral sudah kaya akan konsep-konsep, baik terkait dengan ketuhanan maupun kemanusiaan, konsep relasi yang sehat secara vertikal dan horizontal, seperti konsep tauhid, keadilan, persamaan, toleransi, sampai yang terkait dengan kebersihan. Konsep-konsep ini diturunkan dan disyariatkan adalah sebagai ajaran moral demi terciptanya relasi yang sakral vertikal antara manusia dengan Tuhannya dan relasi harmonis, dinamis, dan konstruktif fungsional horizontal yang duniawi antara manusia dengan manusia, serta dengan seluruh makhluk di muka bumi ini.
1.      Ruang Lingkup Agama Islam
Secara etimologis kata Islam diturunkan dari akar yang sama dengan kata salām yang berarti “damai”. Kata ‘Muslim’ (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islām, kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah” dalam bahasa Indonesia. Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Islam memiliki arti “penyerahan”, atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Allah SWT). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti “seorang yang tunduk kepada Tuhan”, atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para Nabi dan Rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah SWT.
2.      Sumber Ajaran
Sumber ajaran Islam yang utama adalah Al-Qur’an dan Hadits (As-sunnah). Umat Islam percaya bahwa Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Penurunannya sendiri terjadi secara bertahap antara tahun 610 hingga hingga wafatnya beliau 632 M. Walau Al-Qur’an lebih banyak ditransfer melalui hafalan, namun sebagai tambahan banyak pengikut Islam pada masa itu yang menuliskannya pada tulang, batu-batu dan dedaunan. Namun secara umum para ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur’an yang ada saat ini, pertama kali dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-3) yang berkisar antara 650 hingga 656 Masehi. Utsman bin Affan kemudian mengirimkan duplikat dari versi kompilasi ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada masa itu dan memerintahkan agar semua versi selain itu dimusnahkan untuk keseragaman.Versi ini dikenal dengan nama Mazhhab Utsmani.
Muhammad SAW dipercayai sebagai nabi terakhir dalam ajaran Islam dimana mengakui kenabiannya merupakan salah satu syarat untuk dapat disebut sebagai seorang muslim (yang tercantum dalam syahadat). Dalam Islam Muhammad SAW tidak diposisikan sebagai seorang pembawa ajaran baru, melainkan merupakan penutup dari rangkaian nabi-nabi yang diturunkan sebelumnya. Terlepas dari tingginya statusnya sebagai seorang Nabi, Muhammad SAW dalam pandangan Islam adalah seorang manusia biasa. Namun setiap perkataan dan perilaku dalam kehidupannya dipercayai merupakan bentuk ideal dari seorang muslim. Oleh karena itu dalam Islam dikenal istilah Hadits yakni kumpulan perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan Muhammad SAW.
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan Sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sum sumber hukum dibawah Al-Qur’an.
B.  Moral
Secara etimologis moral berasal dari bahasa Belanda moural, yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Menurut W.J.S. Poerwadarminta moral berarti "ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan.
Menurut Imanuel Kant[2], Moral adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma/ hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moral akan tercipta apabila kita mentaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang meguntungkan kita atau lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.

Imanuel Kant membagi moral menjadi 2, yaitu:
a.       Moralitas Heteronom yaitu, sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban, melainkan karena sesuatu berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri. Tindakan ini menurut Kant, menghancurkan nilai moral. Tidak ada yang lebih mengerikan dari pada tindakan seseorang yang harus tunduk kepada kehendak orang lain.
b.      Moralitas Otonom yaitu, kesadaran akan manusia akan kewajibannya yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendainya sendiri karena diyakini sebagai baik untuk dilakukan. Prinsip ini merupakan prinsip tertinggi moralitas, sebab berkaitan dengan kebebasan, hal yang sangat hakikidari tindakan mahkluk rasional / manusia.
Menurut Al-Ghazali[3] istilah moral adalah akhlaq. Menurutnya, Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikir-an dan pertimbangan. Apabila perilaku tersebut mengeluarkan beberapa perbuatan baik dan terpuji, baik menurut akal mau-pun tuntunan agama, perilaku tersebut dinamakan akhlak yang baik. Apabila perbuatan yang dikeluarkan itu jelek, maka perilaku tersebut dinamakan akhlak yang jelek.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya menyebutkan tiga puluh empat hadist yang melandasi ajaran moral ini. Di antaranya adalah: Ketika Rasulullah ditanya oleh Sahabat, "Amal apakah yang paling utama (wahai Rasulullah ), (Nabi menjawab) akhlak yang baik  Wahai Rasulullah, "Iman kaum mukminin yang bagaimanakah yang paling utama itu ?", Rasulullah menjawab, 'Yang paling baik budi pekertinya,

1. Landasan Moral :
a. Allah SWT berfirman :
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS: al-Qalam: 4)
Berbuatlah baik kepada (orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu. (QS. Al-Qashash: 77) 

b. Nabi Muhammad SAW bersabda : 
Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. Bukhari, Ahmad dan Baihaqi).

2.   Islam dan Moral
Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan kebenaran” untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas, yaitu bagaimana usaha kita menjadikan Islam sebagai panduan moral yang murni.
Menurut Kant, Agama adalah pengakuan kewajiban-kewajiban kita sebagai peritah ilahi. Agama adalah pertama-tama dan terutama soal moralitas, dan agamalah yang mengadaikan moralitas. Agar kebaikan moral manusia dengan kebahagiaan sempurna itu berhubungan. Kita harus menerima adanya 3 postulat ini : kebebasan kehendak, immortalitas jiwa, adanya Allah. Kita mesti meyelaraskan diri dengan kehendak dan perintah Allah yang sempurna secara moral itu. 
    
3.      Pesan Moral
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah“.[4].
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda: ”sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”. Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa Allah mengutus nabi Muhammad SAW adalah untuk menegakkan akhlaq. Dari sini dapat ditarik sebuah pemahaman yang lebih luas bahwa Allah mengutus para nabi dan rasul-Nya tidak lain adalah untuk menegakkan akhlaq atau moral manusia. Untuk memperlancar tugas suci ini Allah memberikan tuntunan melalui wahyu yang kemudian disebut dengan kitab suci. Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi terakhir dituntun dan dibantu dengan Al-Quran sebagai panduan yang dalam konteks ini adalah sebagai kitab pokok tuntunan moral, bukan karya ilmiah, bukan juga kitab hukum, tidak juga kitab politik, pun juga bukan kitab ekonomi dan lain sebagainya. Pesan dasarnya adalah bahwa semua kegiatan tersebut harus dilakukan sesuai dengan pesan moral agama yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut.

D.   Kemanusiaan
 Kemanusiaan yang berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang paling sempurna dari makhluk – makhluk yang diciptakan oleh Tuhan  Yang Maha Esa. Yang membedakan manusia dengan yang lainya adalah manusia dibekali akal dan pikiran untuk melakukan segala kegiatan. Oleh karena itulah manusia menjadi makhluk yang paling sempurna dari seBmua makhluk cipaanNya. Kata adil memiliki arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas ukuran / norma-norma yang obyektif, dan tidak subyektif, sehingga tidak sewenang-wenang.
1. Islam dan Kemanusiaan
Iman (orientasi ketuhanan) harus diikuti dengan amal shaleh (orientasi kemusiaan). Yang disebut kebaikan adalah ketika keimanan dan aksi sosial dilaksanakan sejalan[5]. Maka dimensi keimanan tidak akan ada artinya jika tidak diikuti dengan amal. Jika keimanan terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan, maka amal shaleh adalah hubungan dengan sesama manusia sebagai wujud kongkrit dari keimanan. Islam meletakkan kaidah-kaidah yang akan menjaga hekekat kemanusiaan tersebut dalam hubungan antar individu atau antar kelompok.
Azas-Azas kemanusiaan itu antara lain:
a.   Saling meghormati dan memuliakan
      Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling menghormati sesama umat muslim tanpa memandang jenis suku, warna kulit, bahasa da keturunannya. Bahkan Islam mengajarkan untuk menghormati manusia walaupun telah menjadi mayat.
b.   Menyebarkan kasih sayang
      Ini merupakan eksplorasi dari risalah Islam sebagai ajaran yang utuh, karena dia datang sebagai rahmat untuk seluruh alam. Maka Nabi SAW bersabda: “Tidak akan terlepas kasih sayang kecuali dari orang-orang hina”.
c.   Keadilan
      Dan islam menjadikan berlaku adil kepada musuh sebagai hal yang mendekatkan kepada ketaqwaan (QS.Al-Maidah:8). Keadilan menjadi komponen utama dan keharusan diwaktu aman bahkan dalam keadaan perang sekalipun.  Islam tidak hanya menyuruh berbuat adil, tapi juga mengharamkan kezaliman dan melarangnya dengan keras.
d.   Persamaan
      Persamaan sangat ditekankan khususnya dihadapan hukum. Faktor yag membedakan antara satu orang dengan yang lain adalah taqwa dan amal shaleh, (iman da ilmu). (QS. Al Hujurat:13). Sesama muslim memiliki perlakuan yang sama ,  tak ada perbadaan perlakuan antara muslim yang satu dengan muslim yang lain. Membalas suatu kebaikan dengan kebaikan yang sama atau lebih baik adalah tuntutan setiap masyarakat yang menginginkan hubungan harmonis antar anggota-anggotanya. Firman Allah SWT:
      “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi  dirimu sendiri .......“(QS. Al-Israj:7)
e.   Berlapang dada & toleransi (tasamuh).
      Makna tasamuh adalah sabar menghadapi keyakinan-keyakinan orang lain, pendapat-pendapat mereka dan amal-amal mereka walaupun bertentangan dengan keyakinan dan batil menurut pandangan, dan tidak boleh menyerang dan mencela dengan celaan yang membuat orang tersebut sakit dan tersiksa perasaannya. Azas ini terkandung dalam banyak ayat Al-Qur’an diantaranya,
“Dan janganlah kalian mencela orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah, yang menyebabkan mereka mencela Allah dengan permusuhan dengan tanpa ilmu. Demikianlah Kami menghiasi untuk setiap umat amalan mereka, lalu Dia mengabarkan kepada apa yang mereka lakukan”. (QS.Al-An’am: 108).
       f.    Saling tolong menolong.
      Islam tidak sekedar mengesahkan azas ini sebagai azas dalam hubungan antar manusia, tapi lebih jauh lagi Islam menentukan bahwa hamba selamanya bergantung kepada pertolongan Allah SWT, dia mengakui hal ini atau pun tidak mengakuinya. Dan Islam mengaitkan pertolongan ini dengan saling tolong menolong hamba antar mereka. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Dan Allah selalu menolong seseorang selama orang tersebut selalu menolong saudaranya”. (HR. Muslim).
        g.  Menepati janji.
      Melanggar janji merupakan satu tanda dari kemunafikan. Nabi SAW bersabda: “Tanda orang munafik itu ada tiga; bila berbicara dia berbohong, bila berjanji dia melanggarnya dan bila diberi amanat dia mengkhianatinya”.(HR. Muslim).

E.        Hubungan Antara Islam, Moral Dan Manusia
Kondisi bangsa Indonesia yang dilanda krisis berkepanjangan membuat orang mengharap “sumbangan riil” dalam segi agama sehingga agama bisa hadir membawa kesejukan ditengah badai krisis yang luar biasa derasnya. Agama harus dapat “dibumikan” dan tidak boleh dibiarkan “mengawang-ngawang” tanpa bisa dijangkau oleh pemeluknya. Karena pada kenyataannya banyak manusia merasa terasing dari kehidupan real yang dihadapi. Problem kemanusiaan seperti ini tentu saja membutuhkan kehadiran agama untuk memberikan jawaban. Dalam konteks inilah kita perlu membumikan pesan-pesan “langit” yang hadir melalui wahyu tersebut. Sebab, agama seharusnya tampil dengan dimensi kemanusiaannya agar agama tidak hanya hadir dalam bentuk ritual-ritual simbolik dan memiliki ketegasan dalam melakukan pembelaan terhadap kemanusiaan. Dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa Islam dihadirkan oleh Allah SWT sebagai pembawa kasih sayang bagi alam semesta.
Kita tentu saja tidak bisa membuat agama berpihak pada manusia tanpa memahami bahwa agama diciptakan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Tuhan tidak butuh pembelaan, penyembahan, bahkan Dia tidak butuh apapun kecuali dirinya sendiri. Manusialah yang membutuhkan agama sebagai jalan keselamatan dan kesejahteraan. Andaikan seluruh rakyat Indonesia maupun seluruh manusia didunia ini ingkar kepada Allah SWT, itu tidak akan membuat kekuasaan-Nya berkurang. Allah SWT tetap maha kuasa dengan atau tanpa penyembahan dari manusia.
Terakhir, mari kita mulai memaknai dimensi kemanusiaan agama dengan memandang realitas secara objektif. Jika kita hendak menolong orang lain, kita tentu saja tidak perlu menayakan apa agama dan keyakinannya. Karena kehadiran Islam, bukan hanya untuk umat Islam saja, melainkan menjadi Agama pembawa kasih sayang bagi semesta.
  
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Islam adalah Agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran – ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Moral dari bahasa Belanda moural, yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Kemanusiaan menurut KBBI adalah (1) sifat-sifat manusia (2) sebagai manusia. perasaan kita senantiasa mencegah kita melakukan tindakan terkutuk (3) sifat-sifat yang layak bagi manusia pada umumnya
Agama harus dapat “dibumikan” dan tidak boleh dibiarkan “mengawang-ngawang” tanpa bisa dijangkau oleh pemeluknya. Fungsi agama adalah untuk memberikan solusi – solusi yang terbaik atas segala problema sosial yang ada dalam masyarakat. Islam sebagai panduan moral yang murni. Dalam islam kita diajarkan untuk berbuat kebajikan kepada sesama umat manusia.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam surat An Nahl ayat 90 :
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An Nahl. Ayat 90).
Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan kebenaran” untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas, yaitu bagaimana usaha kita menjadikan Islam sebagai panduan moral yang murni.
            Jika keimanan terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan, maka amal shaleh adalah hubungan dengan sesama manusia sebagai wujud kongkrit dari keimanan. Islam meletakkan kaidah-kaidah yang akan menjaga hekekat kemanusiaan tersebut dalam hubungan antar individu atau antar kelompok.

Daftar Pustaka

Al – Maududi, Abdul A’la. 1975. Prinsip – Prinsip Islam. Bandung : PT. Al Ma’arif
LPPSDM BKPRMI. 2000. Menuju Pengertian Islam. Surabaya : LPPSDM BKPRMI
……………………. 2000. Akhlaq. Surabaya : LPPSDM BKPRMI
Hardiwardoyo, Purwa. 1990. Moral dan Masalahny. Yogyakarta : Kanisius
Murad, Khurram,dkk. 1989. Prinsip - Prinsip Pokok Islam. Jakarta : Rajawali Pres.
Muhammad, Thaha. 2003. Intisari ajaran Islam. Bandung : Irsyad Baitus Salam
Tjahjadi, Simon Petrus Lili. 1991. Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif. Kategoris. Yogyakarta : Kanisius
Held, Virginia. 1991. Etika Moral Pembenaran Tindakan sosial. Jakarta : Erlangga



[1] (Q.S. 2:112).
[2] Tjahjadi. Hukum Moral (1991) 
[3] Dalam kitabnya yang berjudul Ihya Ulumuddin
[4] QS. Al Ahzaab : 21
[5] Q.S Al Baqarah 177

Sabtu, 22 Juni 2013

Socrates: Pertanyaan yang melahirkan kesadaran

 
A. Sejarah Panjang Tokoh Filsafat Socrates
          Kemunculan Aliran Sofi
Pada pertengahan abad ke-5 sebelum Masehi muncul aliran baru, yang disebut dengan Sofis.  Kata Sofis berarti arif, atau pandai. Arti ini berkaitan dengan orang yang pandai bicara, mempengaruhi orang dengan kepandaian berdebat. Kelahirannya berkenaan dengan perkembangan kota Athena yang luar biasa makmur dan menjalankan demokrasi secara bebas.
Protagoras, salah satu tokoh terkemuka aliran ini, menyatakan bahwa, Manusia adalah ukuran segalanya, jika manusia menggapnya demikian maka demikianlah adanya, dan jika tak demikian maka tak demikian pula. Maksudnya, “bahwa semuanya itu harus ditinjau dari pendirian manusia masing-masing. Kebenaran umum tidak ada. Pendapatku adalah hasil pandanganku sendiri. Apa pandanganku ini benar bagi orang lain, sukar dipastikan, boleh jadi tidak. Apa yang dikatakan baik boleh jadi, jahat bagi orang lain. Alamku adalah bagiku sendiri. Orang lain mempunyai alamnya sendiri pula.”[1]
Tokoh lainnya adalah Georgia (483-375) menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang ada, jika ada maka ia tak dapat diketahui, dan jika dapat diketahui sesuatu itu tidak dapat dikabarkan. Georgia menyatakan tegas bahwa segala pemikiran atau pendirian itu salah.
Protagoras yang menyatakan segala pendirian atau pemikiran bisa jadi benar, ia menganggap dirinya seorang skeptis, ia meragukan adanya kebenaran di dunia ini. Sedangkan Georgia menganggap dirinya seorang nihilis karena menyatakan dengan keras lagi bahwa kebanaran sudah tidak ada lagi.

Socrates (470 SM – 399 SM)
Di tengah kuatnya pengaruh kaum Sofis, muncullah seorang filsuf lain yang memberikan alternatif baru. Socrates namanya. Lahir di Athena tahun 470 SM dari pasangan Sophonisko-Phainarete, dan meninggal tahun 399 SM. Ia merupakan filsuf generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar. Ia menyebut dirinya filosof (pecinta kebijaksanaan). Ia setuju bahwa pada manusialah memiliki pengetahuan dan kemauan. Dalam pandangan Socrates, masyarakat Athena yang terperangkap dalam pandangan (nihilis Georgias dan skeptis Protagoras) pada saat itu mengarahkan hidupnya pada duniawi.
“Saya curahkan waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga ataupun harta kalian; melainkan demi kesejahteraan jiwa kalian…kekayaan tidak akan membawa kebaikan, tetapi kebaikan akan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi Negara ”

Socrates mempercayai adanya  satu kebaikan yang bisa dimiliki oleh semua orang. Ia percaya bahwa manusia tak hanya memiliki raga saja tapi memiliki jiwa (eudaimonia = memiliki jiwa yang baik), yaitu inti dari manusia itu sendiri. Orang yang baik, yaitu memiliki jiwa yang bahagia.
Di tengah situasi kacau akibat pemikiran-pemikiran kaum Sofis yang hanya mencapai kata sepakat mengenai satu hal, untuk mengatasi kekacauan ini Sorates tampil di arena filsafat untuk menghadapi kaum Sofis. Metode yang dipakai Socrates untuk menghadapi kelihaian lidah para kaum Sofis ini dikenal dengan Dialektik-Kritis (dialog antara dua pendirian yang bertengtangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan “interplay” antar ide).
Dalam metode tersebut, Socrates selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengertian kepada orang yang dianggapnya ahli dalam bidang tersebut. Jadi, Socrates selalu menuntut kemampuan para ahli untuk mempertanggungjawabkan pengetahuannya dengan alasan yang benar dan apabila didukung dengan alasan yang benar, maka ide yang telah teruji tadi akan sebagai pengetahuan yang benar untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut.   
Metode dialog yang digunakan Socrates bermula dari “induksi[2]  untuk menemukan definisi”. Socrates adalah filsuf sejati karena ia tak menjadikan filsafat sebagai teori-teori yang sulit dan membosankan. Dan sebenarnya Socrates tak pernah menuliskan buah pikirannya. Catatan itu berasal dari muridnya Plato. Plato dalam pidatonya selalu menggunakan nama gurunya sebagai tokoh utama dan sangat sulit memisahkan mana gagasan Socrates dan mana gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut Socrates.
Lewat dialog Socrates tidak mengajarkan apa pun, ia menolong mengeluarkan apa yang tersimpan dalam jiwa orang yang selama ini terkubur oleh pengetahuan yang salah. Salah satu pengetahuan yang salah itu adalah seseorang yang telah merasa tahu banyak tentang semua urusan hidup, merasa ahli. Sikap inilah membuat orang menganggap remeh pada gejala-gejala kehidupan yang dialami sehari-hari, yang kemudian akam membuatnya gagal dalam menjalani kehidupan.
Socrates dalam Apology, menyebutkan bahwa peningkatan / kecenderungan jiwa, kepedulian terhadap kebijaksanaan dan kebenaran merupakan kebajikan tertinggi. Sehingga dapat digambarkan seperti ini,

“ Tak ada yang melakukan kejahatan secara sukarela. Jika anda benar-benar paham hal baik maka anda pasti akan melakukannya. Jika anda benar-benar memiliki penilaian yang lebih baik dari yang anda gunakan, maka anda pasti akan bertindak berdasar padanya, bukannya berlawanan.”

Dalam hal lain Socrates menyatakan “saya tahu bahwa saya tidak tau apa-apa” dan ia menyatakan bahwa ia tidak akan menyampaikan kesimpulan-kesimpulan yang pasti. Ia hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada diri dan orang lain, sehingga secara bersama-sama mencari jawabannya.
Pada diri Socrates kita dapat belajar mengenai satu hal : bahwa berfilsafat pada awalnya harus bermula pada diri sendiri. ”Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tak layak untuk dijalani ,”
Ia mengajak kita untuk tidak sekedar menempat, seperti botol di kotak minuman. Manusia bukan botol, ia memiliki jiwa yang menyimpan peta menuju kebahagiaan. Namun kita seringkali seperti botol, terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang tak pernah disadari mengapa seperti itu.
Misalnya kita setiap hari sering diperbudak oleh rasa iri, marah, cemburu, takut, malu, atau sedih. Karena semua orang juga mengalami hal yang sama,kita jadi tak peduli pada situasi itu. Akhirnya kita terus menerus berada dalam lingkaran kemarahan yang sama. Ingat “kebaikan/kebahagiaan adalah pengetahuan,” jadi kita bisa mendapatkan pengetahuan yang akan mengarahkan kita pada hidup baik.
Dari peryataan itu kita belajar pada Socrates yang telah menemukan cara berfilsafat yang mudah untuk kita lakukan. Socrates menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai dasar dan tujuan kegiatan berfilsafat bisa dipastikan semua orang juga bisa melakukannya.
Dalam buku Christopher Phillips[3], Socrates café, mengajak kita untuk mengaplikasikan kembali metode Socrates dalam kehidupan sehari-hari. Phillips menuliskan :
o       Metode Socrates bisa disebut sebagai metode elenchus, artinya  penyelidikan atau uji silang.
o       Dialog Socrates meminta kita untuk secara rela  memeriksa seluruh kebenaran yang selama ini kita yakini, juga segala hal-hal yang selama ini dianggap remeh.
o       Dialog Socrates menegaskan bahwa kearifan tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan kawan dialog yang secara kritis terus memberikan pandangan lain dari dalam dirinya. Yang berbentuk hipotesis, keyakinan, dugaan atau teori-teori.
o       Dibutuhkan kejujuran dari semua peserta dialog, karena kejujuran akan mengatakan “saya tahu bahwa saya tidak tahu” atau “saya sadar bahwa keyakinanku bisa salah kaprah”. Kejujuran membuat kita berdialog dengan rendah hati.
Socrates dianggap filsuf sejati karena Ia rela dihukum mati ketimbang berhenti berfilsafat.


Cara Berflsafat Socrates :
o       Berfilsafat bukan masalah teoritis, Cara Socrates membolehkan kita untuk tidak berteori, Karena teori tidak akan membuat kita terhubung dengan realitas. Justru dengan berdasar pada pengalaman kita dapat arti hidup yang selama ini kita telah anggap selesai.
o       Komitmen untuk saling menghargai, tanpa meremehkan pendapat orang lain. Dengan begitu kita jadi menemukan betapa pemahaman kita tidak bisa otomatis jadi berlaku bagi semua orang.
o       Berbicara dan mendengarkan pembicaraan orang lain menerbitkan rasa syukur terhadap apa yang kita alami dan rasakan.
o       Hakikat kepercayaan adala keraguan, hakikat realitas adalah mempertanyakan. Dengan meragukan kepercayaan kita , kepercayaan itu akan menemukan kekentalannya. Begitu juga realitas.  


DAFTAR PUSTAKA

Lavine, Z., 2002. Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sertre. Penerbit Jendela : Yogyakarta.
Syadali, Ahmad. 1997. Filsafat Umum. CV. Pustaka Setia : Bandung.
Phillips, Christoper,.  2002. Socrates Café. Gramedia : Jakarta.
Q-Anees, Bambang,. 2003. Filsafat Untuk Umum. Prenada Media : Jakarta.
Hatta, Muhammad,. 1964.  Sejarah Filsafat Yunani. Djambatan : Jakarta.



[1] Muhammad Hatta, Sejarah Filsafat Yunani, 1964, Djambatan,hal. 64
[2] Induksi menurut Socrates adalah memperbandingkan secara kritis.
[3] Phillips, Christoper,.  2002. Socrates Café. Gramedia : Jakarta.

Hukum Islam pada Masa Tabi'in




  1. Pengertian Tabi’in
Menurut pendapat al-Khatib[1], mengatakan bahwa Tabi’in adalah orang yang menyertai sahabat, tidak cukup haya bertemu saja – seperti batasan arti sahabat, mereka cukup hanya bertemu saja dengan Nabi Muhammad SAW, karena nilai kemuliaan, ketinggian budi Nabi. Berkumpul sebentar dengan Nabi bisa berpengaruh terhadap Nur Ilahi seseorang. Sedangkan bertemu dengan orang lainnya tidak (termasuk dengan para sahabat) meskipun waktunya lebih lama.
Sedangkan kebanyakan ahli hadist berpendapat bahwa, Tabi’in adalah orang yang bertemu sahabat meskipun tidak berguru kepadanya. Setelah masa kholifah ke empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in. Secara historis, masa Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi permasalahan. Perkembangan wilayah politik Islam yang semakain luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan kompleks.

  1. Sumber - Sumber Hukum Masa Tabi’in
Dalam melakukan ijtiihad, para ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para sahabat, meliputi :
1.      Al – Qur’an merupakan sebuah kitab petunjuk dan bimbingan agama secara umum. Oleh karena itu, ketentuan hukum dalam al – Qur’an tidak bersifat rinci, pada dasarnya ketentuan al – Qur’an merupakan kaidah – kaidah umum.
2.      Sunnah intinya adalah ajaran – ajaran Nabi SAW yang disampaikan lewat ucapannya, tindakannya, atau persetujuannya. 
3.      Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama (ahli hukum yang melakukan penemuan hukum syarak).  Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang dianggap kuat dalilnya.
4.      Qiyas merupakan perluasan ketentuan hukum yang disebutkan di dalam teks al – Qur’an dan Sunnah sehingga mencangkup kasus serupa yang tidak disebutkan dalam teks kedua sumber pokok itu berdasarkan persamaan. Untuk sahnya dilakukan qiyas, harus terpenuhinya empat rukun qiyas:
a.       Adanya kasus pokok, yaitu kasus yang disebutkan di dalam al – Qur’an atau hadist.
b.      Adanya ketentuan hukum kasus pokok
c.       Adanya kasus cabang, yaitu kasus baru yang belum ada ketentuan hukumnya
d.      Adanya ’illat bersama, yaitu alasan hukum yang sama antara kedua kasus bersangkutan.
5.      Disamping itu, mereka menggunakan ra;yu sebagaimana yang dilakukan Sahabat. Dalam penggunaan ra’yu, mereka menggunakan qiyas, jika mereka menemukan pandanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila tidak mungkin, mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan dalam ijtihad.
Setelah masa khalifah berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Sampai tahun 132 H / 750 M, dan selebihnya dipegang oleh Bani Abbasiyah[2]. Pada masa Bani Umayyah ini menjadi perhatian kepada ilmu pengetahuan memuncak. Periode ini, merupakan periode keemasan bagi pembentukan hukum (fiqih) Islam, yang kemudian berkembang dan menghasilkan kekayaan hukum (fiqih) Islam[3].

  1. Faktor – Faktor yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran – aliran politik yang secara implisist mendorong terbentuknya aliran hukum. Diantara faktor – faktor yang mendorong perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut:
a.       Perluasan wilayah,  kekuasaan Islam telah luas. Hingga ke berbagai daerah yang mempunyai kebiasaan, muamalat dan kemaslahatan yang berbeda. Batas daerah kekuasaan Islam memanjang ke Timur sampai Cina, dan Barat sampai ke Andalusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam karena semakin luas wilayah, maka akan semakin luas pula persoalan hukum yang harus diselesaikan, maka dari itu Negara ini dan daerah – daerah lain membutuhkan undang – undang untuk mengatur masyarakatnya. Karena itu, diperlukan para hakim, kepala pemerintahan dan fatwa- fatwa untuk pedoman mereka. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para ulama mencurahkan perhatiannya menggali sumber – sumber syari’at (al - Qur’an dan hadist). Mereka mengembangkan hukum – hukum yang diperlukan oleh Negara dan kemaslahatan umat, dari nash – nash syari’st (al – Qur’an dan hadist). Mereka juga menciptakan metode – metode penetapan hukum untuk menyelesaikan persoalan – persoalan yang dimungkinkan akan terjadi.  
b.      Perbedaan penggunaan ra’yu, munculnya dua aliran yaitu, aliran hadist dan aliran ra’yu. Aliran hadist adalah golongan yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat hati – hati dalam penggunaan ra’yu. Sedangkan, aliran ra’yu adalah golongan yang lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan hadist. Kemunculan dua aliran semakin mendorong perkembangan hukum Islam pada saat itu.
c.       Kaum muslimin pada periode ini sangat antusias ingin mengamalkan ibadah dan muamalat (dalam arti luas) yang benar – benar sesuai denfgan al – Qur’an dan Sunnah. Karena itu baik secara kelompok maupun perseorangan, mereka selalu merujuk kepada ahli – ahli ilmu dan hukum, untuk meminta fatwa – fatwa sesuai dengan al – Qur’an dan Sunnah. Demikian pula para hakim dan kepala – kepala pemerintahan, mereka selalu meminta pendapat kepada para mufti dan ulama – ulama pembentuk hukum dalam menangani berbagai persoalan – persoalan yang mereka hadapi.
d.      Pada masa ini telah timbul penemuan – penemuan teori atau konsep – konsep hukum yang ditunjang oleh lingkungan tempat mereka berada, untuk mengembangkan penemuan – penemuan teori atau konsep – konsep hukum yang telah mereka miliki. Pada masa ini, tercatat dalam sejarah pemikiran hukum Islam, lahirnya mazhab – mazhab dalam hukum Islam :
1.   Mazhab Hanafi
Perintisnya adalah Abu Hanifah an – Nu’man bin Tsabit, berasal dari keturunan Persia, lahir di Kufah tahun 80 H (699 M). Ia belajar ilmu kalam dan hukum Islam di bawah bimbingan Hammat bin Abi Sulaiman. Dasar pemikirannya, berpijak pada kemerdekaan kehendak, karena menurutnya (Abu Hanifah) bencana paling besar menimpa manusia adalah pembatasan dan perampasan terhadap kemerdekaan. Seluruh hukum dan pendapatnya senantiasa berpijak pada pendirian bahwa kemerdekaan wajib dipelihara, dan dampak negatif dari pembelaan terhadap kemerdekaan, lebih ringan bencananya daripada pembatasan terhadapnya.[4] Contohnya, usia nikah bagi wanita ditinjau dari segi haknya. Ia berpendapat bahwa resiko yang diperbuat oleh wanita muda dalam memilih calon suaminya, lebih ringan bencananya daripada ia dipaksa untuk menikah dengan laki – laki yang tidak dikehendakinya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa hak individu tidak boleh dihalangi hak orang lain. Sehingga seseorang dapat menghormati kemerdekaan orang lain dan mempertahankan kemerdekaannya sendiri dengan cara tidak merusak atau melanggar kemaslahatan atau kemerdekaan orang lain.    
2.   Mazhab Maliki
Perintisnya adalah Malik bin Anas al – Asybahi al – ’Arabi, berasal dari Yaman, lahir di Madinah tahun 93 H (713 M). Ia terkenal dengan teori kemaslahatan dan menjadikannya sebagai pertimbangan menetapkan hukum serta sebagai dasar pengambilan hukum sehubungan dengan masalah yang tidak ada nas al – Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan boleh atau melarang. Dalam menetapkan hukum ia sering menggunakan konsep tentang sesuatu yang menjadi perantara, yakni sesuatu yang mendatangkan hal yang halal adalah halal, dan sesuatu yang mendatangkan hal yang haram adalah haram. Contohnya, Penjualan dengan cara kredit yang dapat menghilangkan harga asli yang dibayar dengan cara kontan adalah merupakan perantara terjadinya riba. Karena itu, penjualan secara kredit hukumnya haram dan penguasa wajib melarangnya. Sebab, penjualan secara kredit itu mestinya harus menjadi perantara kemudahan, bukan merupakan perantara pemaksaan untuk melakukan riba dan merupakan pendorong untuk memberikan harga yang lebih besar[5].
Syari’at, menurut Imam Malik berdiri atas dasar pertimbangan menarik manfaat dan menjauhkan dari sesuatu yang merupakan jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang menjadi perantara bagi perbuatan lain harus dilihat akibatnya.
3.   Mazhab Syafi’i
Perintisnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i asy – Syafi’i, berasal dari keturunan Quraisy, lahir di Gaza tahun 159 H (767 M). Imam Syafi’i membangun struktur hukum Islam berlandaskan empat prinsip dasar hukum yang disusun secara sistematif, yaitu: al – Qur’an, Sunnah, qiyas, Ijma’. Menurutnya, konsepsi hukum Islam pada hakikatnya terletak pada ide bahwa hukum esesinya adalah religius dan berjalin berkelindan secara religius. Kekuatan hukum islam melebihi kekuatan hukum – hukum ciptaan manusia. Karena memiliki dasar dan sumber abadi, yaitu wahyu ilahi, karena lafal dan maknanya terhimpun dalam al – Qur’an dan maknanya saja tetapi lafalnya dari Nabi Muhammad yang terhimpun dalam hadist.
Sedangkan qiyas dalam hukum Islam, bukanlah sumber hukum. Hanya berfungsi sebagai metode penalaran yang bersifat analogis, yakni pengambilan kesimpulan dari suatu proses hingga sebuah kasus yang dapat dimasukkan dalam prinsip ini, atau disamakan dengan proses tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang disebut ’illah. Metode Qiyas dalam pandangan Syafi’i, menurut Abdul Wahhab Khallaf[6] bahwa dapat diterapkan jika nas telah memberi petunjuk hukum mengenai suatu kejadian dan ’illat hukumnya pun telah diketahui dengan cara – cara yang telah ditentukan untuk mengetahui ’illat hukum, kemudian ’illat di dalam nash sama seperti ’illat yang ada pada waktu kejadian, maka kejadian itu harus disamakan dengan kejadian yang ada nash-nya pada ’illat yang seperti ’illat hukum dalam suatu kejadian. Contoh, dalam al – Qur’an Surat Al – Maidah ayat 90 terdapat larangan minum khamar. Mengapa dilarang? Dan bagaimana minuman keras yang dibuat dari bahan lainnya, seperti beras ketan hitam, ketela, dan lain sebagainya?. Dalam hal ini perlu diteliti illat hukumnya (sebab larangan minuman keras itu), ialah karena memabukkan, dan dapat merusak saraf otak/akal. Sudah tentu unsur memabukkan itu terdapat pada semua minuman keras. Karena itu, dengan metode qiyas, sejenis minuman keras diharamkan.   
4.   Mazhab Hambali
      Perintisnya adalah Imam Abu ’Abdillah Ahmad bin Hanbal, lahir di Baghdad pada tahun 164 H (855 M). Ia menetapkan hukum berdasarkan bunyi nash yang terdapat dalam al – Qur’an , Sunnah dan pendapat atsar para sahabat kemudian qiyas. Ia tidak menggunakan qiyas kecuali jika tidak menemukan nash dalam al – Qur’an, Sunnah atau pendapat ulama salaf. Ia sangat ketat dalam segala hal yang berkaitan dengan ibadah dan hudud (sanksi pidana) yang jenis kadarnya ditentukan Allah dan Nabi Muhammad, yang merupakan tiang agama, karena ia melihat berbagai kegiatan bid’ah yang mewarnai kehidupan umat manusia, padahal perbuatan itu keluar dari batasan agama.

      Penetapan hukum Islam sebgaimana dapat dilihat pada sistem dan cara kerja yang dilakukan sejak penetapan periode Nabi Muhammad sampai dengan periode Tabi’in menunjukkan bahwa pada prinsipnya setiap penetapan hukum bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia di dunia an kebahagiaan di akhirat.
      Untuk mencapai kemaslahatan tersebut, salah satu teori penetapan hukum dalam Islam ialah setiap penetapan hukum mesti dipertimbangkan dampaknya dulu, karena dampak dari suatu penetapan hukum termasuk tujuan yang diperhitungkan oleh syari’at[7]
      Dalam Islam, obyek hukum dibagi dua;
1. maqasid, yaitu sesuatu yang pada dirinya sendiri mengandung maslahah dan mafsadah
2.  zari’ah, yaitu jalan menuju maqasid tersebut
      Hipotesa kerja dari kerangka teori tersebut adalah, apabila zari’ah (sesuatu yang menjadi perantara) itu menuju maqasid yang diperbolehkan. Demikian pula, apabila hukum maqasid itu haram maka hukum zari’ahnya juga haram. Para Tabi’in menemukan teori ini, setelah mereka mengadakan penelitian secara sistematik dan mendalam terhadap sumber hukum Islam (Syari’at) yang terdapat di dalam al – Qur’an, surat Al – An’am (8) ayat 108; surat An Nur (24) ayat 31; dan lain sebagainya.  

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syari’ah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Abu Ishaq Ibrahim asy – Syathibi, ttp., Al Muwafaqat fi Usul asy Syari’ah. Mesir.
Abdurrahman asy – Syarqawi, 1994. Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, terjemahan Mujiyo Nurkhalis
Hasan, Husin Hamid. 1971. Nasari at al – Maslahat fi fiqh Islami.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1995. Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam. 
Rochman , Ibnu. .......... Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat.



[1] Dijelaskan dalam kitab al-Hadist wa al-Muhadditsuun.
[2] Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat, hlm. 59
[3] Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Iktisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, hml. 37
[4] Abdurrahman asy – Syarqawi, 1994. Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, terjemahan Mujiyo Nurkhalis.  hlm 49
[5]Abu Ishaq Ibrahim asy – Syathibi, ttp., Al Muwafaqat fi Usul asy Syari’ah. hlm 198
[6] Abdul Wahhab Khallaf, 1985.
[7] Hamid Hasan, 1971