Blogger Tips and Tricks

Jumat, 27 September 2013

RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN



Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu bermaksud dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.
‘Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seprti menutup aurat untuk sholat” atau menurut islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.
Sah, yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.[1]
B.     Rukun Perkawinan/pernikahan
Dalam memahami tentang Rukun perkawinan ini ada beberapa buku dan pendapat yang mengutarakan dan menguraikan dengan susunan yang berbeda tetapi tetap sama intinya. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.
 Jumhur ‘Ulama’ sepakat bahwa Rukun perkawinan terdiri atas :
1.      Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2.      Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
            Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :

اَيُّمَا امْرَأَةٍ نِكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَا حُهَا بَاطِلٌ (اخرجه الاربعة الا للنسائ)
Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal
Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda:

لاَ تُزَوِّجِ الْمَرْاءَةَ وَلَا تُزَوِّجِ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ( رواه ابن ماجه و دار قطنى)
Janganlah seseorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.
3.      Adanya dua orang saksi.
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksiakan akad nikah   tersebut, berdasarkan Hadis Nabi SAW:
لَا نِكَاحَ اِلِّا بِوَلِيِّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ (رواه احمد)
4.      Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak   wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
            Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan ridhanya.
            Berdasarkan pengertian di atas, ijab tidak dapat dikhususkan alam hati sang istri atau wali dan atau wakilnya. Demikian juga dengan qabul.
            Jika seorang laki-laki berkata kepada wali perempuan: “Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan putrimu bernama si fulanah”. Wali menjawab: “Aku nikahkan kamu dengan putriku atau aku terima atau aku setuju”. Ucapan pertama disebut ijab dan ucapan kedua adalah qabul. Dengan kata lain, ijab adalah bentuk ungkapan baik yang memberikan arti akad atau transaksi, dengan catatan jatuh pada urutan pertama. Sedangkan qabul adalah bentuk ungkapan yang baik untuk menjawab, dengan catatan jatuh pada urutan kedua dari pihak mana saja dari kedua pihak.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan yang lain. Seperti ucapan seorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau dengan putriku” adalah ijab. Sedangkan yang lain berkata: “ Aku terima” adalah qabul.
Tentang Jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
   1. Wali dari pihak perempuan,
   2. Mahar (maskawin)
   3. Calon pengantin laki-laki
   4. Calon pengantin perempuan
   5. Sighat akad nikah
Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
   1. Calon pengantin laki-laki,
   2.  Calon pengantin perempuan,
      3. Wali,
   4. Dua orang saksi,
   5. Sighat akad nikah.
Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
  1. Sighat (ijab dan qabul)
  2.  Calon pengantin perempuan,
  3. Calon pengantin laki-laki,
  4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun.[2]


 C.    Syarat Sahnya Perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan dalam penyusunan syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.

A).  Syarat-syarat calon Suami:
1.      Beragama Islam
2.      Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri
3.      Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
4.      Orangnya diketahui dan tertentu
5.      Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal      baginya.
6.       Calon suami rela( tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu dan atas          kemauan sendiri.
7.      Tidak sedang melakukan Ihram.
8.      Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9.      Tidak sedang mempunyai istri empat.
B). Syarat-syarat calon istri:
1.      Beragama Islam atau ahli kitab.
2.      Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalam sedang iddah.
3.      Terang bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
4.      Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
5.      Tidak dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
6.      Tidak sedang ihram haji atau umrah.
C). Syarat-syarat Ijab Qabul.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinan nya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Mrnurut pendirian hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya  dan kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal, dan boleh sebaliknya.
Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat di dengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Imam Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan qabul asal masih di dalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berplaing dari maksud akad itu.
Adapun lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafaz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah. Demikian menurut asy-Syafi’i dan Hambali. Sedangkan hanafi membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari Al-Qur’an, misalnya menggunakan kalimat hibah, sedekah , pemilikan dan seagainya, dengan alasan, kata-kata ini adalah majas yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.
Contoh kalimat akad nikah adalah sebagai berikut:
اَنْكَحْتُكَ.....بِنْتِ.....بِمَهَرِاَلْفِرُوْبِيَّةٍحَالًا.  
Aku kawinkan engkau dengan.......binti........dengan mas kawin Rp.1.000 tunai
Jawab atau kalimat kabul yang digunakan wajiblah sesuai dengan ijab.
Akad nikah itu wajib di hadiri oleh : dua orang saksi yang memenuhi syarat sebagai saksi, karena saksi merupakan syarat sah perkawinan.
Adapun dasar dari perkawinan itu wajib dengan akad nikah dan dengan lafadz atau kalimat tertentu adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
Yang artinya:
Takutlah engkau sekalian kepada Allah dalam hal orang-orang perempuan, sesungguhnya engkau membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah. (HR. Muslim)
D). Syarat-syarat Wali.
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah seorang wali hendaknya:
1.      Laki-laki
2.      muslim
3.      Baligh
4.      Waras akalnya
5.      Adil (tidak fasik)
6.      Tidak dipaksa
7.      Tidak sedang berihram.
            Dan hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
Yang artinya : “ tidak sah perkawinan tanpa wali” (rowahu homsah)
Dan : “ perempuan mana saja yang kawin tanpa seizin walinya maka perkawinannya itu batal (3x). Apabila suami telah melakukan hubungan seksual maka si perempuan sudah berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu. Apabila wali-wali itu enggan maka sultanlah (pemerintah) yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada walinya” ( rowahul khomsah illa an-Nasa’i)
E). Syarat-syarat Saksi.
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah.
Adapun kewajiban adanya saksi tidak lain, hanyalah untuk kemaslahatan  kedua belah pihak dan masyarakat. Misalnya, salah seorang mengingkari, hal itu dapat dielakkan oleh adanya dua orang saksi. Juga misalnya apabila terjadi kecurigaan masyarakat, maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri. Disamping itu, menyangkut pula keturunan apakah benar yang lahir adalah dari perkawinan suami istri tersebut. Dan di sinilah saksi itu dapat memberikan kesaksiannya.[3]

D. TUJUAN RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
            Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, dan kekal selamanya. Tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan difikirkan matang-matang. [4]

KESIMPULAN
      . Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu  yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
      Oleh karena itu, syariat islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan, sebagaimana nanti syarat dan rukun pernikahan yang akan di jelaskan dalam pembahasan makalah ini.[5]

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008
Ibid, tentang Rukun perkawinan
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, Kihtbah, Naikah, dan Talak, Jakarta : Sinar Grafia 2009.
Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008
H. Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1954
Aunullah Indi, Ensiklopedi Fiqh, Yogyakarta: Pustaka insan madani, 2008
Al-Ghazali, Menyingkap hakikat perkawinan, Bandung: Karisma, 1988


[1] Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008

[2] Ibid, tentang Rukun perkawinan

[3] Aunullah Indi, Ensiklopedi Fiqh, Yogyakarta: Pustaka insan madani, 2008

[4] Al-Ghazali, Menyingkap hakikat perkawinan, Bandung: Karisma, 1988

[5] H. Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1954