Blogger Tips and Tricks

Kamis, 12 Juni 2014

Pemikiran ekonomi islam Baqr As Sadr



2.2 Baqr As Sadr
        Asy-syahid Muhammad Baqir As-Sadr dilahirkan di Kadhimiyeh, Baghdad pada 1935. Sabagai keturunan dari sebuah keluarga sarjana dan intelektual Islam Syi’a yang termasyur, wajar saja Sadr mengikuti langkah kaki mereka. Ia memilih untuk menuntut pengajaran Islam Tradisional. Di hauzah atau sekolah Tradisional di Iraq, dan disitu ia belajar Fiqh, ushul dan Teologi. Ia amat menonjol dalam prestasi intelektualnya, sehingga pada umur 20 tahun telah memperoleh derajat mujtahid mutlaq, dan selanjutnyameningkat lagi ke tingkat otoritas tertinggi marja (otoritas pembeda). Otoritas intelektual dan spiritual di dalam tradisi Islam tersebut juga terwujud didalam tulisan-tulisan Sadr, dan didalam karyanya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) ia menunjukkan metodologi ‘pernyataan tegas yang independen, tapi memenuhi syarat’.
        Seperti Taleghani, ia adalah seorang ’alim yang aktif. Secara terus menerus ia menyarakan pandangan - pandangannya mengenai kondisi kaum Muslimin dan membicarakan keinginan untuk merdeka, tidak saja kekangan politik, namun juga dari ‘pemikira dan gagasan’ kondisi di Iraq mendorongnya untuk mendirikan Hizb ad-Da’wah Al-Islamiyah (Partai Dakwah Islam), yakni sebuah partai yang menyatukan para pimpinan agama dan kaum muda, yang terutama sekali dimaksudkan untuk melawan gelombang sosialisme Ba’ats yang mengambil kekuasaaan politik pada 1958. Karyanya falsafatuna (filsafat kita) dan kemudian Iqtishaduna, memberikan suatu kritik komparatif terhadap kapitalisme maupun sosialisme, dan pada saat yang sama menggambarkan pandangan –dunia Islam bersama dengan garis-garis besar system Ekonomi.
        Diseluruh tulisannya, ia berusaha untuk membangkitkan kembali tradisi Islam bagi kaum Muslimin modern, terutama kaum mudanya. Secara luas ia mengutip keterangan Al-Qur’an, Hadits, dan para imam Syi’ah, yang seluruh itu mencerminkan latar belakang hukum tradisionalnya. Namun demikian, sering kali pula ia mengutip penafsiran atau membuat penafsiran sendiri mengenai masalah dan situasi kontemporer. Usaha yang dituangkannya didalam Iqtishaduna sedikit banyak menyuarakan suatu filsafat ekonomi kepada koleksi hukum legal, dan hal itu mencerminkan kemampuannya memberi kehidupan kepada hukum-hukum yang tampak mubazir.
        Ditulis pada 1960- an, Iqtishaduna haruslah dipandang sebagai sebuah analisis komprehensif dan perbandingan system ekonomi dari perspektif Islam, dan itu masih dipakai sebagai referensi para ahli ditahun 90-an. Ditahun 1982, setelah bekerja bertahun-tahun, pemerintah Iran menerjemakan karyanya itu kedalam bahasa Inggris. Dekade  terakhir dari kehidupannya merupakan suatu periode penganiayaan oleh rezim Ba’ats di Iraq. Karena takut akan pengaruhnya pada masa, dan sudah memenjarakan dan menyiksannya, rezim Ba’ats menjatuhkan hukuman mati kepadanya pada 8 april 1980.
           
2.2.1 Karakteristik Sistem Ekonomi Islam
1.      Hubungan Kepemilikan
Seperti yang telah disebutkan di depan, Sadr menyebut bahwa sistem ekonomi Islam memiliki bermacam-macam bentuk kepemilikan. Ia menerangkan bentuk-bentuk kepemilikan tersebut menurut beberapa sub judul berikut ini.
a.    Kepemilkan swasta;
b.    Kepemilkan bersama
(i)        kepemilkan oleh publik,
(ii)  kepemilkan oleh negara.
Baginya, kepemilkan swata atau pribadi hanyalah terbatas pada hal memakai, prioritas untuk menggunakan dan hak untuk melarang orang lain dalam menggunakan sesuatu yang menjadi miliknya saja. Tidak ada hal seperti ‘kepemilkan’ aktual bagi seseorang individu. Dalam hubungan ini, pandangan Sdr sama dengan pandangan taleghani, yang membuat perbedaan antara memiliki (yang hanya ada pada Allah Swt. Saja) dan mempunyai (yang dapat diberikan terhadap individu).
Perbedaan antara kepemilkan oleh publik dan negara terutama sekali terletak ada cara menggunaan barang yang bersangkutan. Jika ‘kepemilkan oleh publik’ harus digunakan untuk kepentingan seluruh anggota masyarakat (rumah sakit, sekolah, dan sebagainya), maka kepemilikan oleh negara dapat digunakan tidak hanya bagi kebaikan semua orang, melainkan juga untuk suatu bagian tertentu dari masyarakat, jika negara memang menetapkan demikan.

2.    Pengambilan Keputsan, Alokasi Sumber dan Kesejahteraan Publik: Peranan Negara
Fakta bahwa kepemilikan oleh negara mendominasi sistem ekonomi Islamnya Sadr menunjukkan betapa pentingnya peranan negara. Negara yang diwakili oleh wali-e amr memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menegakkan keadilan. Hal itu dapat dicapai melalui beberapa fungsi :
a.    Distribusi sumber daya alam kepada para individu didasarkan pada kemauan dan kapasitas kerja mereka.
b.    Implementasi aturan agam dan hukum terhadap penggunaan sumber.
c.    Menjamin keseimbangan sosial.
Fungsi negara yang ketiga itu amat penting karena adanya konflik yang mungkin muncul karena adanya perbedaan kapasitas yang bersifat alamiah antar individu (intelektual maupun fisik). Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka pendapatan akan berbeda pula dan hal ini dapat mengarah pada terbentukanya ‘kelas ekonomi’. Negara lebih diharapkan untuk dapat memberikan jaminan terciptanya standard of living yang seimbang bagi semua orang daripada distribusi pendapatan yang merata. Dalam hubungan ini, negara diamanahi untuk mewujudkan jaminan sosial bagi semua orang. Menurut Sadr, hal ini dapat dicapai dengan mempromosikan persaudaraan (melalui pendidikan) di antara anggota masyarakat dan dengan kebijakan pengeluaran publik, misalnya melalui investasi di sektor publik tertentu yang diarahkan pada pemberian bantuan kepada kaum miskin, serta melalui regulasi kegiatan ekonomi untuk menjamin tegaknya kejujuran dan praktik – praktik yang bebas dari eksploitasi.
Pentingnya menjamin keseimbang sosial dan keamanan bagi semua orang didasarkan pada  Negara, karena telah mendapat amanah berupa kepemilikan , menjadi terikat pada tugas penjamin itu dengan cara menolong mereka yang tidak dapat menolong diri mereka sendiri.

3.    Pelarangan Riba dan Implementasi Zakat
Cukup aneh bahwa ternyata Sadr tidak membahas riba seperti yang barangkali orang harapkan. Lagi pula, penafsirannya terhadap riba hanyalah terbatas pada pembahasan mengenai bunga dan modal uang. Naqvi dan Taleghani menyajikan pembahasan yang lebih kemprehensif dalam satu persoalan ini.
Adapun mengenai imolementasi zakat, Sadr memandangnya sebgai kewajiban negara. Bersama dengan zakat, ia juga membahas khums (yang sebagaimana zakat juga merupakan fixed taxes), Fay’ dan Anfal, demikian juga pajak - pajak lain yang dapat dipungut dan dibelanjakan untuk maksud-maksud pengentasan kemiskinan dan untuk menciptakan ‘keseimbangan sosial’ yang telah disebutkan di depan. Namun, satu hal menarik yang dilakukan Sadr adalah perhatiannya yang eksklusif terhadap kemiskinan relatif. Sekalipun kita setuju bahwa kemiskinan relatif adalah sebuah konsep penting, khususnya didalam target’keseimbangan sosial’ sadr, argumen untuk menentukan tingkat kemiskinan absolut atau seperti yang dinyatakan, tingkat kemiskinan’tetap’(fixed), tidak akan mengarah ke suatu keseimbangan livingstandards antara si kaya dan si miskin-adalah lemah.

2.2.2 Distribusi
Distribusi (bersama dengan hak kepemilikan) menempati sebagian besar pemikiran ekonomi Sadr. Hampir sepertiga dari bukunya Iqtisshaduna dipakai untuk membahas distribusi dan hak kepemilikan. Sadr membagi pembahasannya menjadi dua bagian, yakni distribusi sebelum produksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (post-production distribution). Sebagai seorang ‘ahli hukum tradisional’ ,penjelasan Sadr yang terinci mengenai hal itu didasarkan pada ajaran atau hukum yang berhubungan dengan kepemilikan dan distributive rights.

1.        Pre-Production Distribution
Sub bab ini terutama sekali membahas distribusi tanah dan sumber daya alam lain. Yang diistilahkan kekayaan primer (primary wealth), modal primer [primari capital], menurut Teleghani. Seperti para ahli yang lain, Sadr mencela kapitalisme karena mengabaikan isu ini, yang menurutnya menentukan produksi (sampai batas tertentu) dan dengan sendirinya juga menentukan post-production distribution. Dalam membahas ‘status kepemilikan’ sumber daya alam, Sadr membagi sumber daya alam menjadi empat katagori, yakni tanah, bahan mentah (sumber daya alam) di dalam tanah, air dan sumber daya lain (produk laut, sungai, buah-buahan).
       Ada beberapa hal yang perlu disebutkan:
a.         Kepemilikan oleh negara adalah jenis kepimilikan yang paling sering, meskipun hak pakali dapat diperoleh dari negara.
b.        Kepemilikan swasta hanta diizinkan di dalam sejumlah kecil keadaan:
1)        Tanah yang digarap di wilayahnya penduduk yang menerima islam secara sukarela (melalui dakwah).
2)        Jika ditetapkan di dalam perjanjian.
3)        Mineral tersembunyi yang memerlukan usaha untuk mendapatkannya, dan hanya sejauh minerl yang digali saja serta di seluas area pertambangan saja.
4)        Sumber daya lain, yakni melalui kerja atau tenaga kerja orang seperti penangkapan burung, penebangan kayu, dan sebagainya.
c.         Kepemilikan swasta hanyalah terbatas pada hak pakai, prioritas pengguna dan hak untuk mencegah orang lain memakai barang yang sedang dimiliki oleh negara lain.
d.        Untuk mineral dan air, individu diperkenankan untuk’menggunakan apa yang mereka perlukan’.

2.        Post-Production Distribution
Sadr mengawali pembicaraan dengan menyatakan bahwa islam tidak mengganggap semua faktor produksi (aaupun pemilikanya) itu sama sederajat, yakni ‘orang yang melakukan produksi (pekerja) adalah ‘pemilik’ rill dari barang yang dihasilkan’/ selanjutnya pekerja itu bertanggung jawab untuk membayar uang kempensasi bagi faktor produksi lain yang digunakan di dalam proses produksi. Sadr merasa bahwa pandangan ini telah meletakkan manusia sebagai majikan, bukan budak produksi \. Melanjutkan argumen ini, Sadr menyatakan bahwa seorang kapitalis tidak diperbolehkan  untuk’memiliki’ produk pekerjaan yang ia upah. Dengan kata lain.’tenaga kerja ekonomi’ langsung merupakan syarat perlu bagi kepemilikan produk.
Pandangan mengenai kekayaan primer muncul ketika ia memberikan ‘kepemilikan’kepada pihak pertama yang menggarap sumber daya alam – misalnya orang yang menghidupkan tanah mati –untuk memilikinya dalam pengertian memiliki prioritas dan hak untuk mencegah orang lain menggunakannya . selanjutnya, jika ia ingin mengupah orang untuk menggarap tanah itu, ia masih tetap ‘memiliki’ tanah tersebut karena’tenaga kerja awal’yang ia kerjakan ketika menghidupkan tanah mati tersebut. Di lain pihak,pekerja memiliki produk tanah itu karena memang dialah yang mengerjakan, dan membayar kompensasi kepada pemilik tanah joka kepemilikan atas tanah itu masih ada. Kompensasi tersebut dapat terbetuk sewa tetap atau bagi hasil (jika ‘pemilik’ tanah menyediakan benih/pupuk atau peralatan).
Namun Sadr membedakan antara mengerjaka sumber daya alam milik orang lain (seperti conoh diatas) dan bekerja pada ‘produk pekerja’ milik orang lain, misalnya pekerja yang memintal benang dari wool milik seorang penggembala dalam hal ini,produk (benang) milik penggembala dan pekerja itulah yang akan menerima kompensasi dengan pandangan mengenai pekerja prioritas itu, Sadr kemudian menulis daftar imbalan bagi masing-masing faktor produksi.
a.         Tenaga kerja-upah atau bagi laba
b.        Tanah –sewa (atau bagi hasil tanaman)
c.         Modal uang-bagi laba
d.        Alat/modal fisik –upah/kompensasi
            Ketenaga kerja diberi pilihan antara imbalan tetap (upah) dan imbalan variabel (bagian laba). Sewa tanah hanya diperbolehkan jika ‘pemilik’ tanah telah menanamkan tenaganya sejak awal, misalnya tenaga menghidupkan tanah mati. Sadr juga mempertahankan pendangan umum yang memperbolehkan transaksi seperti mudharabah, muzara’ah, musaqat, al-jualah. Namun yang terlarang adalah ‘membeli murah dan menjual mahal’ tanpa adanya kontrobusi atau kerja bagi suatu produk, atau mengambil sewa tanah dan kemudian menyewakannya kepada orang lain lebih murah.

Pemikiran ekonomi islam Sayyed Mahmud Taleghani



2.1 Sayyed Mahmud Taleghani
2.1.1 Sejarah Sayyed Mahmud Taleghani
Sayyid Mahmud Taleghani dilahirkan di desa Golyard, distrik Taligan, Iran Utara. Dia merupakan salah satu Teolog reformis Muslim dan merupakan salah satu senior Syi’ah Ulama dari Iran. Taleghani adalah seorang pemimpin kontemporer dari revolusi Iran, dan pemimpin syi’ah Iran dalam gerakan perlawanan terhadap pro barat. Ia telah digambarkan sebagai salah satu wakil dari kumpulan ulama syi’ah yang memadukan antara syi’ah dengan marxis, dengan harapan agar dapat bersaing dengan gerakan-gerakan pendukung kaum muda selama tahun 1960-an sampai pada tahun 1970-an. Beliau memiliki pengaruh besar di Iran dengan memberikan pengajaran dan penafsiran ayat-ayat Al Qur’an. Sehingga sebagian besar Revolusioner Muslim adalah Murid-murid nya.
Dengan dasar yang beliau peroleh dari Masjid Hidayah, ia berupaya memberikan pemahaman yag benar tentang Islam melalui penyegaran penafsiran Al Qur’an, sementara pada waktu yang sama, ia membicarakan isu – isu sosial, politik, dan ekonomi dari perspektif Islam. Secara umum, tulisan – tulisannya mengambarkan pemikiran syiah mainstream, tetapi berbeda dalam hal penerapannya. Dengan mengutip Al Qur’an , hadis , ucapan imam syiah dan para mujtahidun terkemuka, pemikiran Taleghani selalu merefleksikan keinginan dan kepercayaannya pada keadilan ekonomi dan kebebasan sosio – ekonomi.
Taleghani mengemukan Islam sebagai alternatif, khususnya mengenai kepemilikan dan sistem ekonomi. Taleghani meninggal dunia pada bulan September 1979. Ia senantiasa dikenang sebagai seorang ahli dan pemimpin yang luar biasa, banyak terjadi emosi dan konflik sebelum dan selama pemakaman, dan  banyak terjadi perubahan untuk moderasi dan pemikiran progresif dalam revolusi.

2.1.2 Pemikiran Ekonomi Taleghani
            Manusia mengemban peranan sentral di dalam pemikiran ekonomi. Karakter manusia, menurut Taleghani memiliki dua aspek yakni prinsip internal mencakup keinginannya akan harta, dan dorongan eksternal (yang berubah-ubah) disebabkan oleh kondisi lingkungan dan ekonomi. Oleh karena keinginan akan kekayaan merupakan insting alamiah. Maka taleghani menyatakan bahwa ekonomi Islam berhubungan dengan melihat dan menyatakan batas-batas keinginan. Ekonomi Islam meliputi pelatihan etika, penilaian intelektual, serta mencakup ajaran-ajaran agama dan social.
Dengan demikian, etika dan pendidikan serta pelatihan etika yang intensif menjadi amat penting agar dapat diwujudkan keseimbangan antara hasrat berkorban dan hawa nafsu. sehinga manusia dapat mencapai perbaikan materiil maupun spiritual. Didalam kerangka spiritual ini mengenai keberadaan dan tujuan manusia ini, Taleghani menekankan pentingnya peranan intelektualitas di semua aspek upaya manusia, termsuk dalam bidang ekonomi.

2.1.2.1 Karakteristik Sistem Ekonomi Islam
Sesudah menjelaskan pendekatan dan asumsi-asumsi dasarnya, selanjutnya Taleghani membahas karakteristik sistem ekonomi Islam menurut pemikirannya. Ada tiga isu besar yang dapat kita lihat.

1.        Hak Memiliki Harta
Ini adalah persoalan yang paling pokok yang dibahas oleh Taleghani. Manusia, sebagai khalifah Allah SWT. Dimuka bumi, diamanahi oleh-Nya untuk mengelola bumi dengan hak untuk memiliki yang terbatas dn tersebut, bersyarat. Pembatasan tersebut, menurut Taleghani (1983: 133), diatur menurut tiga tingkatan yaitu:
(a) melalui keimanan dan hati nurani seseorang ( tingkat individual),
(b) melalui aturan hukum dan
(c) melalui campur tangan pemerintah.
Prinsip dasar mengenai hak milik yang terbatas dan bersyarat mendorong Taleghani merumuskan aturan dasar mengenai kepemilikan.
a.       Tanah dan sumber daya alam tidak boleh dimiliki oleh siapapun juga (individu maupun masyarakat). Hanya wali kaum Muslimin (imam dan wali-e amr), yang telah memiliki kotmimen kepada kesejahteraan publik, yang memiliki hak untuk menyelia bumi dan sumber-sumbernya. Namun tampaknya ia berlawanan dengan pendapatnya sendiri ketika ia menyatakan (1983: 137) bahwa “sumber daya alam dalam bentuk aslinya adalah milik publik  dan tidak memiliki pemilik khusus baik individu maupun Negara”. Di tempat lain (1983: 133), ia sampaikan pendapatnya yang ketiga dengan menyatakan bahwa “tanah dan sumber daya alam lainnya adalah milik public dan berada di bawah penyeliaan, atau dimiliki oleh, Imam ataupun pemerintah Islam”. Pandangan yang terlihat racun tersebut diperparah oleh penggunaan istilah-istilah imam, wali-e amr, hakim (1983: 131) dan wali/pemerintah Islam.
b.      Individu dapat memiliki hak atas tanah dan sumber daya lain secara terbatas atau bersyarat, melalui kerja.
c.       Individu maupun kelompok khusus dalam masyarakat tidak boleh memiliki sumber daya alam (anfal[1] dan fay[2]).
d.      Uang dan mata uang, yang merupakan alat tukar dan standar nilai, tidak boleh beredar hanya disebagaian kecil orang (kaya) saja.
e.      Aset likuid dan kekayaan dikenakan zakat dan khums.
f.        Wali kaum Muslimin (Imam, para pemegang kekuasaan atau wakilnya)
g.         Laba dan kekayaan yang diperoleh dengan cara-cara illegal (bunga, judi, lotere) demikian pula harta yang diperoleh dari memperdagangkan barang-barang yang terlarang (haram) atau yang berbahaya, tidak dapat dimiliki.
h.         Anak-anak serta orang gila tidak punya hak memiliki kekayaan atas namanya sendiri.
i.           Islam melarang pengeluaran mubadzir dan yang merugikan.

        Tanah yang tidak ada pemiliknya, misalnya tanah taklukkan, haruslah di distribusikan antara kaum muslimi dan penduduk setempat dibahwa pengawasan imam. Ditempat lain (1983: 94) ia golongkan tanah taklukan itu sebagai fay’. Tak dapat di elakan kalau kita berfikir bahwa gagasan  Taleghani mengenai tanah ternyata tidak begitu jelas. Jadi, kesimpulan mengenai pandangan Taleghani terhadap tanah dan kepemilikan adalah sebagai berikut:
a.       Semua tanah dan sumber daya alam adalah kekayaan public yang diamanakan oleh Allah Swt. Kepada manusia secara keseluruhan Negara dan individu hanya dapat mempunyai dan menggunakan tanah, tidak memilikinya (perbedaan antara mempunyai dan memiliki – possession dan ownersip – tidak diterangkan dengan jelas.
b.      Negara adalah wakil kekalifahan manusia dan diamanahi untuk menyelia penggunaan maupun distribusi hak ‘kepemilikan’ yang terbatas dan bersyarat itu.
c.       Negara dapat memberikan hak ‘kepemilikan’ yang terbatas dan bersyarat itu kepada individu dengan memperhatikan kerja dan pengarapannya ( hal penting yang tidak diterangkan adalah, jika terdapat persaingan antara individu atas sebidang tanah, siapa yang harus menetapkan dan bagaimana ditetapkan mengenai siapa yang menang).
d.      Dengan menerima hak tersebut, individu memiliki prioritas dan hak untuk melarang pihak lain untuk menggunakan tanah maupun sumber daya alam ‘ miliknya’ itu.
e.       Individu berhak memiliki hasil kerjanya, tetapi Negara dapat membebaninya dengan pajak (zakat, khums, kharaj).
f.        Semua hak ‘kepemilikannya’ itu berhenti jika kerja juga berhenti, atau jika kesejahteraan public terancam ( Negara yang memutuskan hal ini).

2.    Pengambilan Keputusan dan Alokasi Sumber Peranan Negara
        Negara diamanahi untuk menjamin bahwa keadilan (qisth) berlangsung disemua bidang kehidupan. Hal ini dilakukan Negara dengan memikul tanggung jawab sebagai wali atau penyelia kesejahteran public. Menurut Taleghani (1983: 133) Negara memiliki kekuasaan untuk membatasi atau mengurangi hak-hak individu dalam menggunakan dan memiliki sesuatu demi menegakkan keadilan dan kesamaan demi kepentingan bersama. Tugas negaralah untuk mengawasi kepentingan para petani (kaum miskin, berkekurangan, dan tertindas) dengan melaksanakan terapi ‘sederhana’ (1983: 138-9).
a.       Distribusikan tanah yang tak digunakan dan tak digarap, secara geratis, kepad mereka yang mau menggarapnya. Negara harus menyediakan irigrasi, benih, dan pupuk agar memungkinkan para petani ‘memiliki’ tanah itu serta menerima pendapatan dari hasil kerja mereka.
b.      Batasi kepemilikan tanah dan beri petani hak untuk memiliki hasil panen mereka bukan sekedar menjadi pekerja yang baik bagi pemilik tanah.
c.       Jangan lagi member dukungan kepada para tuan tanah feudal yang memeras orang-orang miskin
d.      Pungut pajak dalam bentuk/zakat dan khraj dari produk-produk tertentu dan dari para penggarap, dan belanjakan pajak itu untuk membantu para petani dalam rangka menghidupkan tanah berikutnya.
        Sebagai tambahan, Negara juga diamanahi untuk menjamin bahwa kesejahteraan public dan “kemajuan agama, itelektualitas dan ilmu pengetahuan tidak terancam oleh produksi maipun konsumsi barang-barang yang berbahaya (harmful) “(1983: 143). Selain pernyataan yang yang sifatnya umum ini, Taleghani tidak menyatakan apapun mengenahi produksi barang-barang modal, demikian juga di dalam industry secara keseluruhan. Namun, dengan melihat pandangannya yang lain, kita dapat menganggap bahwa ia ingin melihat Negara memainkan peranan yang besar disemua sektor dalam perekonomian.

3.      Pelarangan Riba dan Implementasi Zakat
        Selain kepemilikan harta (dan kebebasan), persoalan uang dan peredarannya juga dipandang oleh Taleghani sebagai salah satu masalah sentral dalam ekonomi (1983: 102). Selain pelarangan penimbunan (hoarding) uang, dibahasnya pula masalah riba. Didalam ilmu ekonomi, sebagaiman naqvi, Taleghani melihat ribah sebagai sesuatu “pertambahan harta secara otomatis tanpa adanya produktivitas tenaga kerja (apapun definisinya)” (1983: 107). Definisi ini tidak hanya mencakup bunga uang (seperti yang diperaktikan oleh orang dimasa hidup Nabi Saw.) melainkan juga transaksi yang dibayar dimuka dan transaksi kredit. Secara umum, dapat kita katakan bahwa riba adalah perolehan haram sebagai sesuatu larangan yang dinyatakan secara eksplisit oleh Al-Qur’an, maka riba haruslah di implementasikan didalam sistem ekonomi islam tidak seperti Mannan, Siddiqi, dan Kahf yang membatasi analisis ,mereka pada bunga perbangkan saja, maka sebagaimana naqvi, Taleghani cenderung menetapkan lingkup yang lebih luas untuk riba, yakni setiap perolehan yang melibatkan eksploitasi. Meskipun demikian, Taleghani tidak membahas pengganti bunga (didalam intermediasi vinansial).
        Zakat, bersama-sama dengan khums (seperlima), kharaj (pajak tanah) dan khaffarat (pajak berupa denda), dipandang oleh Taleghani tidak hanya sebagai kewajiban agama, melainkan juga sebagai alat untuk memelihara kerja sama, distribusi yang adil dan untuk memenuhi permintaan public (1983: 117). Zakat didefinisikan sebagai bagian tetap ‘produk tanah’, binatang piaraan, uang tunai dan mata uang asing serta logam mulia.

2.1.2.2 Distribusi dan Produksi
        Didasarkan pada dan dalam hubungannya dengan, pandangannya mengenai kepemilikan harta, Taleghani selanjutnya membicarakan distribusi. Ia tidak membedakan proses distribusi produk (distribusi pasca-produksi) dan produksi dan distribusi sumber daya alam. Bagi Taleghsni (1982: 134), produksi “tidak terbatas dalam sumber daya alam dan penyiapan produk akhir, (melainkan juga) meliputi semua penggunaan berikutnya serta distribusinya kepada mereka yang membutuhkan”.
        Mengingat hal itu, pembatasan ‘hak kepemilikan’ hanya pada sumber daya alam saja ternyata memainkan peranan yang amat penting didalam mencapai keadialan ekonomi. Jika kita mulai dengan benar, menurut Taleghani, “masalah ekonomi yang muncul dari hubungan ekonomi akan berkurang banyak” (1983: 136). Ia mencelah system kapitalisme yang tidak berupaya member penyelesaian yang memuaskan pada masalah distribusi awal. Oleh karena itu melihat semua tanah dan sumber daya alam sebagi pemilik umum, maka menjadi tugas pemerintah untuk mendistribusikannya kepada para individu menurut kemauan mereka bekerja dan menurut kebutuhan mereka. Dengan itu, Taleghani menyatakan bahwa kerja dan kebutuhan merupakan dasar penetapan kepemilikan harta, dan demikian pula, keduanya menjadi dasar bagi hak distributive (distributive rights). Namun demikian, Taleghani dengan cepat menginggatkan kita bahwa hak turunan itu, baginya merupakan cirri khas system ekonomi islam, bukan merupakan dasar bagi kepemilikan mutlak. Kepemilikan mutlak hanyalah atas produk hasil kerja saja (1983:135). Dengan kata lain, orang hanya memiliki ‘buah dari kerjanya sendiri saja’.
        Taleghani mengakui tanah, tenaga kerja, modal, dan entrepreneurship sebagai factor produksi. Setiap factor produksi berhak mendapat imbalan jika memang berkontribusi didalam proses produksi ( bagaimana imbalan itu ditetapkan, tidaklah ia bahas sama sekali). Bahkan ‘makelar’ pun harus pula diberi imbalan (1983:134). Posisi khusus diberikannya kepada ‘in’tial agets’, yakni mereka yang pertama kali menggarap sumber daya alam seperti petani dan menyebut mereka itu sebagai ‘pemilik’ asli (1983:137). Sumber daya alam yang digarap itu ia sebut modal primer, dan para ‘in’tial agets’ memiliki ‘hak senioritas dan hak untuk menetapkan orang lain ( pekerja dan pemilik peralatan) sebagai pengikut mereka’. Menurut Taleghani (1983:155), jika para ‘in’tial agets’ memperoleh laba, maka (para pemilik) peralatan dan tenaga kerja umpahan hanya memperoleh imbalan tetap bagi kontribusi mereka.
        Selain kerja, kebutuhan juga dipandang sebagai dasar resmi bagi distributive rights. Dalam hal ini, Negara bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan kaum miskin baik dengan cara mendistribusikan intial resources maupun redistribusi melalui zakat ataupun pajak-pajak lainnya.
        Ia tidak membahas struktur pasar, sekalipun ia ada menyebut bahwa kekuatan pasar kapitalisme tidak ada didalam system ekonomi islam meskipun perusahaan ada, motif mereka bukanlah maksinisasi laba belaka dan produksi mereka akan mencerminkan kebutuhan masyarakat. Taleghani mengusulkan adanya pasar yang ‘terpimpin’ dimana negara memainkan peranan penting sebagai pelindung dan regulator kegiatan ekonomi, yang berpartisipasi secara langsung (khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar.


[1] Anfal – yakni tanah yang asalnya dimiliki oleh seluruh kaum Muslimin. Dengan izin Imam, hak memiliki itu dapat diberikan kepada seseorang melalui kerja.
[2] Fay’ – yakni  tanah yang dimiliki oleh  Imam dan berada dalam kekuasaannya. Tanah tersebut digarap baik untuk ‘keperluan pribadi’-nya maupun untuk kepentingan umum.