A. Landasan
kekuatan yang mengikat hukum
Untuk membentuk suatu peraturan
perundang – undangan diperlukan landasan, karena landasan ini memberikan
pengarahan terhadap prilaku manusia di dalam masy. Landasan hukum merupakan
pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan
hukum yang konkrit. Dalam setiap landasan hukum melihat suatu cita-cita yang
hendak di capai, oleh karena itu, landasan hukum merupakan jembatan antara
peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masy nya.
Menurut Eikema Hommes, landasan
hukum tidak boleh dianggap sebagai norma – norma hukum yang konkrit, akan
tetapi perlu dipandang sebagai dasar – dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang
berlaku. Landasan – landasan hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan
perundang – undang dapat dibedakan kedalam :
1. Landasan hukum yang menentukan politik hukum
2. Landasan hukum yang menyangkut proses
pembentukan peraturan perundang – undangan
3. Landasan hukum yang menyangkut aspek – aspek
formal atau struktual atau organisatoris dari tata hukum nasional
4. Landasan hukum yang menentukan cirri dan
jiwa tata hukum nasional
5. Landasan hukum yang menyangkut subtansi dan
peraturan perundang – undangan.
Landasan Hukum yang bukan universal dipengaruhi
oleh waktu dan tempat, maka aalandasan hukum pada suatu Negara tidak sama
dengan Negara lain.landasan hukum itu mengandung nilai – nilai dan tuntutan –
tuntutan etik, karenanya landasan hukum merupakan jembatan antara peraturan –
peraturan hukum (positif) dengan cita-cita sosial dan pandangan etik
masyarakat. Melalui landasan hukum ini peraturan –peraturan hukum berubah
sifatnya menjadi bagian- bagian dari suatu tatanan etik. karena adanya ikatan
internal antara landasan – landasan
hukum, maka hukum merupakan suatu sistem, yaitu sistem hukum.
·
Pandangan
Positivisme
1. Tata hukum suatu Negara berlaku bukan karena
mempunyai dasar, dalam kehidupan sosial, maupun dalam jiwa bangsa, dan juga
bukan berdasarkan hukum alam, namun mendapat
·
Pandangan
Hukum Alam / Kodrat
1. Kekuatan utamanya tidak hanya berlaku pada
nilai moralitas tapi juga pencapaian nilai untuk keadilan bagi masyarakat.
2. merupakan ideal – ideal yang menuntut
perkembangan hukum dan pelaksanaannya
3. Metode untuk menentukan hukum yang sempurna
4. Isi dari hukum yang sempurna, dapat
dideduksikan melalui akal
5. kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum
6. Memberikan dasar terhadap pengakuan hak –
hak dasar manusia dalam kehidupan Negara
7. merupakan ide dasar tentang hakikat hukum
dan keadilan sebagai tujuan hukum
Positivitas Hukum
Yang dimaksud dengan positivitas kaidah hukum
adalah hal ditetapkannya kaidah dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban
kewenangan hukum yang berwenang (bevoedge rechtsautoritet). Hukum
positif adalah terjemahan dari “ius positum” dalam bahasa latin, yang
secara harafiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gested recht). Jadi
hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia.
Beberapa penulis mengidentikan, jika mereka
sedang mempersoalkan kaidah hukum mereka berkeyakinan bahwa hukum positif
per-definisi adalah hukum yang berlaku, sebab hukum positif itu dibuat oleh
orang yang berwenang untuk itu.
Terhadap pengidentikan dua sifat kaidah hukum
ini terdapat tiga keberatan :
1. Keberatan pertama bersifat teori hukum. Jika
orang mengidentifikasikan positivitas dan keberlakuan kaidah hukum, maka orang
mendasarkan keberlakuan pada sesuatu yang bersifat faktual. Yakni pada fakta
ditetapkannya kaidah hukum dan aturan hukum dengan tindakan faktual para
pengemban kewenangan hukum.(Sesuatu yang normatif dilandaskan pada sesuatu yang
faktual). Peralihan yang demikian itu oleh banyak teoritikus hukum dipandang
salah.
2. Keberatan kedua adalah bahwa orang pada
pengidentikan tersebut bertolak dari suatu pengertian keberlakuan yang terlalu
sempit.
3. Keberatan
ketiga adalah bahwa orang juga dapat berbicara tentang keberlakuan kaidah hukum
yang tidak termasuk dalam hukum positif, sebab tidak semua hukum ditetapkan
oleh pejabat hukum yang berwenang.
Keberlakuan Kaidah Hukum
Orang dapat menyatakan pendapat tentang hukum
dalam arti empiris, normative dan evaluatif. Peristilahan yang sama juga
digunakan pada pembedaan berbagai jenis keberlakuan hukum. Dalam teori hukum,
pembagian tiga dalam keberlakuan empiris, normatif dan evaluatif paling sering
dilakukan.
Aulis Aarnio dalam artikelnya membagi
keberlakuan hukum sebagai berikut: Systemic Validity, Factual validity
dan axio logical validity.
Ulrich Klug, membedakan jenis jenis keberlakuan
sebagai berikut :
1. Keberlakuan Yuridis; positivitas suatu
kaidah hukum.
2. Keberlakuan Etis ; hal ini aka nada jika
jika sebuah kaidah hukum mempunyai sifat mewajibkan.
3. Keberlakuan Ideal; jika suatu kaidah
bertumpu pada kaidah moral yang lebih tinggi.
4. Keberlakuan Riil; keberlakuan ini ada jika
para teralamat kaidah berperilaku dengan mengacu pada kaidah hukum itu.
5. Keberlakuan Ontologis; akan tidak memiliki
keberlakuan jika dipositifkan oleh pembuat undang-undang yang tidak berpegangan
pada tuntutan tuntutan fundamental.
6. Keberlakuan Sosio Relatif; kaidah hukum yang
tidak memiliki keberlakuan yuridis, etis dan riil.
7. Keberlakuan Dekoratif; yang hanya memiliki
fungsi lambang
8. Keberlakuan Estetis ; ada jika suatu kaidah
hukum memiliki elegansi tertentu
9. Keberlakuan Logikal; kaidah hukum yang
secara internal tidak bertentangan.
Keberlakuan Faktual atau Empiris Kaidah Hukum
Orang mengatakan bahwa kaidah hukum berlaku
secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah
hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Dengan demikian, keberlakuan
faktual dapat ditetapkan dengan bersarankan penelitian empiris tentang perilaku
para warga masyarakat.
Keberlakuan Normatif atau Formal Kaidah Hukum
Orang berbicara tentang keberlakuan normative
suatu kaidah hukum, jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu sistem kaidah
tertentu yang didalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu
terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri dari atas
suatu keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah kaidah
umum.
Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum
Kita berbicara tentang keberlakuan efaluatif
suatu kaidah hukum, jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang
bernilai.