Blogger Tips and Tricks

Minggu, 13 Oktober 2013

PERADILAN ISLAM PADA KERAJAAN SAUDI ARABIA



 BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Konstitusi Arab Saudi
Islam sebagai dasar Negara Arab Saudi, Alqur’an dan Sunnah Rasulullah merupakan Undang-Undang Dasar negara, dan syari’ah sebagai hukum dasar yang dilaksanakan oleh mahkamah-mahkamah (pengadilan-pengadilan) syari’ah. Dengan ulama sebagai hakim dan penasehat-pensehat.
Syari’ah sebagai hukum dasar yang mencakup konsep-konsep hukum yang terdapat dalam yang menurut ahli tafsir Alqur’ah berjumlah 155 ayat[1] dan dari al-Sunnah (tradisi-tradisi) Rasulullah yang terkait dengan hukum, baik berupa pernyataan-pernyataan, tindakan atau perbuatan maupun suatu perizinan (tanpa disertai dengan suatu perkataan atau perbuatan). Demikian  juga tradisi hukum yang dilakukan oleh para shabat nabi (ijma’a sahabi) dan penerapan hukum yang digali dari kedua sumber Islam oleh ulama-ulama, baik yang berada dalam lembaga peradilan maupun lembaga mufti.
Penerapan hukum Islam didasarkan pada norma-norma hukum yang terdapat dalam wahyu (Alqur’an dan Sunnah Rasul)),  dan hasil ijtihad ulama (hakim dan Mufti).  Walaupun ada pandangan bahwa Arab Saudi bukan Negara Islam, memang dia mengklaim bahwa sistem hukumnya sistem Islam. Namun, sebatas itu saja sistem yang yang diterapkan.
Menurut pandangan tersebut, Islam melarang adanya campur tangan orang kafir dalam Negara. Namun, Arab Saudi merupakan Negara yang mempersilahkan Amerika Serikat memakai landasan udara (lanud) miliknya. Selajutnya dikatakan Islam hanya membolehkan ikatan  ideologi sebagai pengikat umat, namun nasionalisme Arablah yang mengikat rakyat di Arab Saudi. Demikian pula menurut pandangan tersebut, tidak ada putra mahkota dalam Islam. Menurut Islam, kedaulatan  di tangan syara’, namun kekuasaan di tangan umat. Sebagai pemegang kedaulatan, khalifah hanya bertugas menerapakan Islam atas umat, bukan menjadi penentu standar benar salah seperti di sistem kerajaan atau parlemen.
Alqur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai Undang-Undang Dasar Negara, itu bukan berarti bahwa tidak ada undang-undang di bawahnya. Secara hierarki setelah kedua dasar hukum itu dikenal dengan The Basic Law of Government (hukum dasar pemerintahan) jika di Indonesia dikenal dengan hukum dasar yaitu batang tubuh UUD 1945.
Hukum Dasar Pemerintahan Arab Saudi yang mengatur sistem pemerintahan Negara, diataranya ada beberapa pasal disebutkan di bawah ini.
·      Pasal 17 Basic Law (27-8-1412 H/1-3-1992 M), menetapkan bahwa Pemilikan, modal, tenaga kerja adalah dasar ekonomi dan kehidupan social Kerajaan. Semuan ini adalah hak-hak pribadi yang melayani fungsi social yang sesuai dengan Syari’at Islam.
·      Pasal 18 ditetapakan bahwa Negara akan menjamin kebebasan dan tak dapat diganggugugatnya kepemilikan pribadi. Kepemilikan pribadi tidak akan disita kecuali untuk kepentingan umum dan penyitaan akan dikompensasi secara wajar.
·      Pasal 119 Penyitaan kolektif kepemilikan dilarang. Penyitaan kepemilikan pribadi hanya akan berlaku sesuai dengan suatu keputusan pengadilan.
·      Pasal 26 Negara akan menyediakan kesempatan kerja kepada semua rakyat yang sanggup dan akan menetapkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi pekerja dan majikan.
·      Pasal 36 Negara akan menjamin keamanan semua warga Negara dan orang asing yang hidup dalam tempat tinggalnya. Tidak ada orang yang akan ditahan, dipenjara, atau tindakan-tindakannya dibatasi kecuali oleh ketentuan-ketentuan hukum.
·      Pasal 47 Warga Negara dan penduduk asing keduanya mempunyai hak yang sama terhadap proses peradilan (litigation)
Dengan demikian hierarki perundang-undang Arab Saudi jika didasarkan pada teori murni Hans Kelsen, maka hukuam yang tertinggi adalah Alqur’an dan Sunnah Rasulullah. Sedngkan Hukum Dasar dan  Undang-undang adalah peringkat kedua dan ketiga. Dekrit Raja merupakan peringkat kempat. Ketiga jenis pertauran perundang-undangan tersebut harus sesuai  dengan prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Alqur’an dan Sunnah Rasulullah.
Perumusan hukum dasar, undang-undang dan dekrit Raja karena didasarkan pada Alqur’an dan Sunnah Rasulullah, maka semua aturan tersebut dikenal dengan hukum syari’ah. Berdasarkan peringkat hierarki terebut, maka sumber penggalian hukum Arab Saudi adalah Wahyu, Alqur’an dan Sunnah Rasulullah, dan  ijtihad.
Ijtihad adalah segala kemampuan pemikiran dicurahkan secara sungguh-sungguh untuk menggali atau menemukan hukum yang tidak didapatkan pada Alqur’an dan Sunnah Rasulullah. Hukum dasar, dan undang-undang merupakan hasil ijtihad jama, yaitu keputusan-keputusan hukum yang dibuat atau ditetapkan oleh lembaga legislatif bersama lembaga eksekutif. Sedangkan dekrit Raja merupakan hasil ijtihad fardi (individu), sebagai suatu peraturan perasturan Pemerintah.

2.2     Sistem Peradilan
Ada dua institusi hukum yang mempunyai keweangan dalam menyelesaikan peroalan hukum yaitu  mahkamah syari’ah dan lembaga fatwa. Kedua lembaga ini memiliki kewenangan yang berbeda. Mahkamah Syari’ah  mempunyai kewenangan absulut dan kewenagan relative.  Mahkamah syari’ah memeriksa perkara pidana (jinayah) perkara perdata (muamalah), dan wilayah juridiksinya terbatas berdasarkan kompentensi relatifnya.
Dengan pengertian lain peradilan itu menyangkut semua hak, baik itu hak Allah atau hak manusia. Jadi kedudukan peradilan itu pada prinsipnya adalah perpaduan di antara memberikan keputusan di kalangan orang-orang yang bersengketa dan menyampaikan sebagian hak-hak umum bagi rakyat, dengan memerhatikan persoalan-persoalan  warga negara yang terhalang haknya, baik menyangkut dengan hak-hak keperdataan maupun hak-hak publik.
Hakim-hakim di mahkamah syari’ah apabila dalam memeriksa suatu perkara yang tidak ditemukan dasar-dasar hukum dalam Qur’an atau Sunnah Rasulullah atau basic law  of government,  maka diberikan kebebasan untuk berijtihad. ijtihad hakim baik berdasarkan pada keputusan hakim atas suatu perkara yang sebelumnya dengan sifat dan krakteristik perkara yang sama, maupun menggunakan hasil pemikiran para ulama hukum Islam klasik.   Bahkan seperti penerapan hukum Islam di dunia Islam lainnya, keputusan hakim mahkama syari’ah sebagai prseden bagi hakim dalam menghadapi perkara yang mempunyai sifat dan krakteristik yang sama.
Sedangkan lembaga mufti berfungsi untuk memberikan keputusan hukum atas suatu persoalan yang menyangkut dengan kemaslahatan umum, baik menyangkut dengan masalah hak kewargaan negara maupun persoalan politik baik dalam negeri maupun luar negeri. Keputusan  hukum lembaga fatwa bersifat mengikat untuk bagi seluruh warga negara Arab Saudi. Seperti fatwa yang mengizinkan Amerika Serikat menggunakan pangkalan udara Arab Saudi untuk menyerang Irak.
Disamping kedua lembaga tersebut, terdapat juga lembaga hisbah lembaga ini merupakan lembaga peradilan yang berwenang memeriksa perkara yang terkait dengan perilaku pasar, seperti penyimpangan timbangan, atau penipuan dalam transaksi jual beli.  Apabila dalam pemeriksaan terhadap kasus-kasus  pelanggaran pasar dan pada tersangka dinyatakan bersalah dikanakan sanksi, baik sanksi pidana, sanki administrsi maupun sanksi perdata.
Hakim pada lembaga hisba adalah polisi pengawas pasar yang diberikan tugas utuk menindak, memeriksa dan memutuskan pelaku pelanggaran di pasar, baik pelanggaran pidana seperti  penipuan ukuran timbangan, pelanggaran perdata  objek jual beli cacat, maupun pelanggaran administrasi seperti salah menggunakan izin usaha.

2.2.1     Beragam Bentuk Peradilan[2]
Menurut ketentuan kerajaan Saudi Arabia tertanggal 06 Safar 1346 Hijriyah atau 12 Agustus 1927 Masehi, semua lembaga peradilan yang sebelumnya dihapus dan pengadilan Saudi Arabia terdiri atas 3 tingkatan berikut :
1.    Al Mahakim Al Musta’jilah/ Mahakim Juz’iyah, yaitu peradilan segera. Lembaga peradilan ini merupakan peradilan tingkat pertama, yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang mendesak, baik dalam bidang perdata maupun pidana.
§  Bidang pidana menyangkut kejahatan yang menimbulkan luka, berkaitan dengan ta’zir dan hudud yang ringan. Tidak berlaku pada hukuman potong tangan dan hukuman mati (qishos).
§  Bidang perdata menyangkut masalah uang yang tidak lebih dari 300 riyal, tidak berlaku putusan yang yang menyalahi agama dan ijma’ (consensus ahli hukum Islam). Perangkat penengak hukum yang bertugas pada pengadilan pertama ini adalah hakim tunggal.
2.    Al Mahakim Asy-syar’iyyah, yaitu peradilan syar’iyyah. Peradilan ini berwenang menangani perkara pidana berat, seperti hukuman potong tangan dan hukuman mati. Berwenang pula menyelesaikan perkara al ahwal al syakhsiyah, yang mencangkup : nikah, talak,  rujuk, wasiat, dan al mal yang nilainya di atas 300 riyal. Perangkat hukum yang bertugas pada pengadilan banding ini terdiri atas tiga orang hakim (majelis), seorang ketua, dua orang anggota. Setiap keputusan diberikan berdasarkan suara terbanyak, sedangkan dalam perkara pidana pidana berat seperti hukuman potong tangan dan hukuman mati dilakukan melalui sidang pleno peradilan.
3.    Hay’ah Muraqabah al – Qadha’iyyah, yaitu Badan Pengawas Peradilan. Badan pengawas peradilan ini dinamakan dengan Peradilan Syariat Agung. Tugas dan wewenang lembaga ini antara lain :
a.    Mengadili perkara – perkara banding atas putusan peradilan yang ada di bawahnya
b.    Mengendalikan administrasi dan mengawasi pengadilan
c.     Menerbitkan fatwa yang dimintakkan kepadanya
d.    Mengawasi lembaga pendidikan dan kurikulum pendidikan
e.    Supervisi terhadap lembaga – lembaga amar ma’ruf nahi mungkar 

2.3  Kebebasan Hakim
 Prinsip pembagian kekuasaan dalam suatu Negara pada dasarnya dapat memperjelas luas tidaknya kekuasaan dan kebebasan para hakim dalam menyelesaikan perkara. Di kerajaan Arab Saudi, kebebasan hakim mendapat perhatian dan jaminan penuh, sehingga para hakim memiliki keleluasaan dalam memahami dan menta’wilkan nash. Dalam menghadapi suatu kasus misalnya, hakim memusatkann perhatiannya kepada perkara kejahatan yang terjadi (obyek perkara), bukan kepada orang (subyek perkara). Di hadapan majelis hakim, semua pihak memiliki derajat dan strata sosial yang sama, termasuk dalam kedudukan antara seorang raja dan rakyat jelata.
2.4  Prinsip, Tingkatan, dan Wewenang Peradilan
2.4.1. Prinsip Peradilan
    Undang – undang peradilan kerajaan Saudi Arabia menyebutkan beberapa prinsip penyelenggaraan peradilan, yaitu :
a.       Sederhana, mudah, dan segera memutuskan hukum
b.      Bersih, adil, dan tidak membeda – bedakan kedudukan manusia di hadapan peradilan
c.       Independen, terlepas dari tekanan eksekutif dan kekuasaan legislative
d.      Hakim hanya memberlakukan hukum pada syariat Islam.
2.4.2 Tingkat dan Wewenang Peradilan
Lembaga peradilan Saudi Arabia menganut sebuah sistem hukum ganda, yang terdiri atas 2 jenis, yaitu :
1.       Peradilan berdiri sendiri, yaitu peradilan yang bersifat administratif. Peradilan ini dirancang agar sesuai dengan prinsip – prinsip syariat dengan memperhatikan dan mengambil jiwa syariat secara umum. Peradilan ini terdiri dari 11 lembaga peradilan :
2.       Peradilan Syar’iyyah, yaitu peradilan yang sepenuhnya berdasarkan syariat islam. Peradilan ini terdiri dari 4 tingkatan peradilan :
a.       Majelis al-Qadha al-A’la (Mahkamah Agung), berwenang untuk mengangkat, mengatur kenaikan pangkat, pemindahan dan pengaturan cuti para hakim.  Berwenang untuk meninjau ulang putusan-putusan peradilan yang lebih rendah tingkatannya.
b.      Mahkamah al-Tamyiz (Perdilan Tingkat Banding), berwenang untuk meninjau ulang segala putusan perdata dan pidana yang telah diputuskan oleh hakim yang tingkatannya lebih rendah.
c.       Al Mahkamah al-‘Ammah (Pengadilan Biasa), berwenang mengadili segala macam perkara. Putusan diambil oleh seorang hakim.
d.      Al-Mahakim al-Juz’iyah (Pengadilan Segera), berwenang mengadili perkara – perkara ringan.



DAFTAR PUSTAKA

Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pasantre. Yogyakarta: LKiS
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara (ajaran, sejarah dan pemikiran). UI Press: Jakarta.
Nasition, Harun. 1980.  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Bulan Bintang: Jakarta.
                Sunaryo Mukhlas, Oyo. 2011 . Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia



[1] Harun Nasution, 1980
[2] Oyo Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam. hal 111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar