A. Konsep al
Qur’an tentang bunga bank
Dalam Al – Qur’an, ayat yang pertama
kali berbicara tentang bunga bank atau riba adalah surat ar-Rum : 39, yang
berbunyi :
وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ
فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ
تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)
Artinya : “Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Ar-Rum : 39)
Sebagian
masyarakat makkah pada waktu itu telah mempraktekan riba (bunga), dan sebagian
telah membayar zakat. Mereka menginginkan agar harta yang mereka miliki dapat
menjadi banyak dan bahkan berlipat ganda, dengan mempraktekan riba (bunga).
Dalam ayat ini belum terlihat adanya keharaman melakukan riba, namun sekedar
menggambarkan bahwa riba yang dalam sangkaan orang menghasilkan penambahan
harta dalam pandangan Allah tidak benar. Akan tetapi zakatlah yang mendatangkan
pahala yang berlipat ganda. Terhadap riba yang dibicarakan dalam surat ar-Rum
ini, sebagian mufassir ada yang berpendapat bahwa riba yang dimaksud adalah
berupa pemberian sesuatu kepada orang lain yang tidak didasarkan pada
keikhlasan tetapi berharap imbalan yang lebih besar.[1]
Dalam ayat ini Allah mengingatkan bahwa zakatlah yang
menghasilkan lipat ganda seperti yang mereka kehendaki, bukan riba (bunga). Al
Qur’an menonjolkan kekuasaan Allah dengan cara mengaitkan rizki dengan
anugrah-Nya harus mempunyai fungsi sosial.
Ayat kedua adalah pada surat An-Nisa’
: 160 – 161
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا
عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
Artinya : “Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.”
Pembicaraan tentang riba dalam surat ini masih
bersifat informasi. Meskipun tidak secara tegas melarang
orang islam menjalankan riba, tetapi memberi tahu riba
yang dipraktekkan orang yahudi. Sehingga orang yahudi dilarang memanfaatkan
barang – barang yang serba bagus, yang tadinya halal untuk mereka. Riba yang
mereka praktekkan bukan kesalahan kecil, tetapi kesalahan besar yang meresahkan
orang banyak. Pada zaman sekarang konsep ini sama dengan konsep bunga pada bank
konvensional, yang ingin mencari keuntungan banyak dengan konsep bunga
(tambahan pembayaran karena diundurnya pembayaran). Semakin lama pembayaran maka
semakin tinggi bunganya.
Ayat ketiga
Surat Ali Imron : 130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا [2]مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda[3] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Pelarangan riba secara tegas
terdapat dalam ayat ini. Kalau menjelang penyebutan riba dalam surah Ar – Rum :
39, al Qur’an menyebutkan bahwa pemberi rizki adalah Allah, di situ ditunjukkan
kekuasaan Nya. Maka, menjelang pelarangan riba di surah Ali imran : 130 ini Al
Qur’an menyebutkan juga menyebutkan kekuasaan Nya atas langit dn bumi dan
kekuasaan Nya mengampuni dan mengazab manusia.
Menurut Ath –
Thabari, ungkapan “janganlah memakan riba” ditujukan setelah kebolehan mengkonsumsinya
sebelum Islam. Pada masa Arab mengkonsumsi riba yang berlaku di kalangan mereka
terhadap pihak yang berhutang yang tidak mampu mengembalikan hutangnya pada
waktu jatuh tempo maka, pihak pihutang akan meminta pembayaran kembali dengan
tambahan hutangnya. Hal ini merupakan bentuk riba yang berlipat ganda
Ayat keempat adalah Surah Al Baqarah : 273 – 280
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ
الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا
يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ
بِهِ عَلِيمٌ (273) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ
بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ
رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (274) الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ
عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ
كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ
عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
Artinya : “(Berinfaqlah) kepada
orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat
(berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena
memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat
sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah
Maha Mengatahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang
hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[4] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[5]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[6] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah menusnahkan riba
dan menyuburkan sedekah[7]. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa[8]. Sesungguhnya orang – orang yang beriman, mengerjakan
amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang
beriman. Maka janganlah kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba ), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganianya dan
tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran,
maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jka kamu mengetahui.”
Dalam ayat ini Al Qur’an memulai pembicaraan
dan ketegasan bahwa orang yang infaq di jalan Allah berarti melipat gandakan
harta. Dalam ayat 277 sesudah Al – Qur’an mempertentangkan riba dengan sedekah,
karena orang menyangka bahwa riba sama halalnya dengan jual beli. Dari situ
diketahui bahwa setiap kali Al Qur’an berbicara tentang riba, istilah zakat
atau pandanannya mengiringi sebelumnya. Ini member kesan umum bahwa yang
dilarang mempraktekkan riba adalah orang berharta. Sebab, mereka yang
diperintahkan untuk mengeluarkan zakat dan pandanannya.
Dengan
praktek riba maka fungsi sosial harta kekayaan menjadi tidak ada, sehingga
kesenjangan antara kaya dan miskin menonjol. Diantara ayat – ayat tentang riba
atau bunga bank pada surat al Baqarah terutama ayat 278 adalah yang paling
lengkap sebab turunnya. Dalam kelompok ayat ini al Qur’an berbicara tentang
riba dengan tahapan sebagai berikut[9]:
1. Ia memulai pembicaraan dengan melukiskan pemakan riba
sebagai orang kesetanan yang tidak dapat membedakan antara yang baik dan buruk,
sehingga ia menyamakan jual beli dengan riba. Al Qur’an menegaskan bahwa jual
beli itu halal dan riba itu haram. Karena itu diingatkan bahwa orang yang
menerima nasihat al Qur’an akan beruntung dan orang yang ingkar diancam neraka.
2. Al Qur’an menegaskan bahwa riba atau bunga bank itu
melumpuhkan sendi – sendi ekonomi, sedangkan shadaqah menyuburkan pertumbuhan
ekonomi. Oleh karena itu riba dimusnahkan sedangkan shadaqah dikembangkan.
3. Al Qur’an memuji orang yang beriman, beramal shaleh,
menegakkan shalat dan membayar zakat.
4. Penegasan ulang larangan riba karena pelarangan riba
pernah dinyatakan dalam surah Ali imran : 130 dan sekaligus mengancam pemakan
riba. Serta memuji kreditor yang suka memaafkan debitor karena peminjam
mengalami kesulitan ekonomi.
Dalam hadist Nabi, ada tuntutan agar
peminjam memberi tambahan atas besarnya peminjaman
[1]
Ibnu Kasir, Tafsir
al-Qur’an al-‘azim, Jilid III, (Qahirah : Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah,1952)
[3] Yang dimaksud riba di sini ialah
riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya
haram, walaupun tidak berlipat ganda.
[4]
Riba itu ada dua
macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan
oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[5] Maksudnya:
orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan
syaitan.
[6] Riba yang
sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
[7] Yang
dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau
meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah
memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan
berkahnya.
[9]
Riba dan Masalah Perbankan,
hal 66