A. Pengertian Bunga Bank
Bunga bank adalah suatu imbalan dari
sebuah usaha yang dilakukan oleh bank.
Imbalan tersebut dalam prakteknya terkesan mengekploitasi nasabah,
khususnya dalam sistem kredit karena setiap pinjaman kredit pasti disertai
dengan persentase bunga. Para ulama yang memakai pendekatan tektual, memahami
bunga bank dari aspek legal-formal dan secara deduktif, berdasarkan larangan
bunga terhadap larangan riba[1]
yang diambil dari teks (nash), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral
dalam pengharamannya.
Menurut Wahbah Zuhayil bahwa bunga
bank adalah riba nasi’ah[2]
karena merupakan kelebihan atau tambahan yang dipungut dengan tidak disertai
imbalan, melainkan semata-mata karena penundaan tenggang waktu pembayaran.
Dengan demikian akhirnya mereka
menyimpulkan bahwa antara riba dengan
bunga bank memiliki konteks dan esensi yang
berbeda. Riba dianggap kelebihan
yang diambil dari pinjaman yang ditujukan untuk keperluan konsumtif, sedangkan
bank adalah kelebihan atas pinjaman yang ditujukan dalam rangka, kebutuhan
produktif.
Pada sisi lain, transaksi tersebut
merupakan kerja sama timbal balik antara bank dengan masyarakat, yang telah
membuahkan suatu kekuatan untuk menunjang kegiatan serta perkembangan ekonomi.
Dari sisi ini, masyarakat yang menyediakan dana dengan imbalan bunga, menyimpan
harta/dananya di bank, dan oleh pihak bank disalurkan kepada pihak lain, baik
perseorangan maupun badan usaha, dengan memungut jasa pemakaian dana yang juga
disebut bunga. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakaian
jasa disini merupakan ongkos dan administrasi. Terdapat dua alasan, mengapa
bank perlu membayar bunga kepada penyimpan dana :
1.
Dengan menyimpan uangnya di bank, penabung telah mengorbankan kesempatan atas
keuntungan yang mungkin diperoleh dari pemakaian dana tersebut
2. Dengan menyimpan
uangnya di bank, penabung telah mengorbankan kesempatan pemakaian dana untuk
keperluan konsumsi. Salah satu prinsip ekonomi modern adalah “ nilai uang
sekarang lebih berharga daripada nilainya di masa yang akan dating”. Dalam hal
tabungan berjangka, penabung mengorbankan sebagian likuiditasnya, seperti
berjaga-jaga menghadapai kepentingan tidak terduga.
B. Antara
bunga bank dan riba
Dalam perekonomian modern, pada dasarnya
bank adalah lembaga perantara dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan
dengan pihak yang berkekurangan dana. Dengan begitu bank berperan melancarkan
transaksi perdagangan dan pembayaran. Banyak sekali berkembang bank – bank
konvensional dan bunga bank adalah salah satu aspek yang memeperankan peran
sangat penting dalam kegiatan usahanya. Bunga bank tersebut berkaitan langsung
dengan produk jasa bank seperti, deposito, giro, tabungan, dan lainnya.
Bunga disini dipandang sebagai sewa atau
harga dari uang. Misalnya, A meminjam dana sebesar Rp. 10.000.- dari Bank XY.
Pada akhir tahun, Si A harus mengembalikan sebesar Rp. 10.100.-. selisih antara
uang pokok dan jumlah yang harus dikembalikan, yaitu Rp. 100.- adalah bunga.
Bunga tersebut termasuk riba nasiah. Dari rumusan tersebut konsep bunga dan
riba adalah sama, karena dalam kedua konsep tersebut ada unsure kesamaan yaitu
penambahan pembayaran atas hutang.
Beberapa
pandangan tokoh Islam kontemporer di atas cukup untuk menggambarkan dua
paradigma hukum Islam mengenai bunga bank :
Pertama,
Paradigma tekstual yang memahami bunga bank secara induktif. Paradigma ini
berpegang pada konsep setiap hutang-piutang yang disertai tambahan (bunga)
adalah riba. Dilihat melalui pendekatan yang berpijak
pada teori al- qiyas[3] yang bersandar
pada ‘illat jali (‘illat yang jelas).. Ciri pokok
kasus yang dicari dalam metode ini disebut ‘illat. Dapat diambil
kesimpulan bahwa antara riba dan bunga bank keduanya disatukan oleh illat yang
jelas sama berupa“tambahan” atau bunga, sehingga memberikan sebuah keputusan
hukum bahwa bunga bank adalah sama dengan riba yang diharamkan
Kedua, Paradigma
kontekstual yang memahami bunga bank secara deduktif. Sesungguhnya paradigma
deduktif ini berpijak pada teori al-istihsan. Menurut bahasa istihsan
berarti “menilai baik”. Yang dimaksud adalah, menilai baik atas sesuatu
yang tidak dibicarakan secara eksplisit dalam nash. Hal ini dilakukan karena
adanya pertimbangan bahwa bila sesuatu “diputuskan” melalui qiyas atau
dalil tertentu, hasilnya akan bertentangan dengan prinsip umum penetapan suatu
peraturan. Istihsan juga diartikan sebagai “ berpaling dari satu qiyas
ke qiyas lain “, dengan tujuan memperoleh “ketetapan” yang lebih
sesuai dengan maksud Syari’. Menurut Imam Malik, sebagaimana dikutip
al-Syatibi, istihsan adalah mengamalkan salah satu di antara dua dalil
yang lebih kuat ; atau mengambil maslahat hal yang bersifat khusus dengan
meninggalkan dalil yang bersifat umum. Nampaknya, istihsan dapat disebut
juga sebagai “pintu darurat” yang akan dibuka ketika suatu masalah tidak
terjawab dengan qiyas atau dalil lain[4].
[1]
Riba ialah tambah, tumbuh dan
subur. Riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang
tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah
banyak, seperti yang diisyarakat dalam al Qur’an. (Wirdyaningsih, Bank dan
Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2009) hal. 8). Riba dibagi
menjadi 2 yaitu :
(a)
Riba fadl yaitu menukar sesuatu barang dengan
barang yang sejenis dengan dilebihkan ketika pengembaliaannya.
(b)
Riba nasiah yaitu kelebihan pembayaran karena
diakhirkannya pembayaran.
[2]
Riba nasiah adalah jual beli
sesuatu yang di dalamnya di mungkinkan terjadinya kelebihan pembayaran barang
yang dipertukarkan, diperjualbelikan atau dihutangkan karena diakhirkan waktu
pembayarannya baik yang sejenis maupun tidak. (Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah.
(Jakarta : PT Grafindo Persada, 2009) hal. 279)
[3]
Metode al-qiyas (analogi) digunakan untuk mengidentifikasi dan mencari
kesamaan ciri pokok kasus yang mansus dengan yang gairu mansus
[4]
Pencetus konsep istihsan adalah Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’I merasa
yakin bahwa qiyas dapat menyelesaikan semua persoalan yang tidak
disebut secara eksplisit oleh nash. Oleh karena itu beliau tidak menggunakan istihsan,
bahkan mengatakan barangsiapa beristihsan berarti menciptakan syari’at baru
di luar al-Qur’an dan as-Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar