2.2 Sumber Hukum Pidana
Islam
2.2.1
Sumber Pertama : Al Qur’an
Al Qur’an mengatur
hukum yang berkaitan dengan kepercayaan dan ibadah kepada Allah yang bersifat
vertikal dan hukum – hukum yang berkaitan dengan interaksi kemanusiaan yang
bersifat horizontal[1]. Al Qur’an
sebagai sumber dari segala sumber hukum menjadi ide dasar lahirnya hukum dan
peraturan yang berhubungan dengan kehidupan sosial kemasyaratan, termasuk
persoalan yang memelurkan ijtihad para ulama.
Beberapa firman Allah
dalam Al Qur’an yang menyatakan bahwa Al Qur’an sumber utama bagi ketentuan
hukum:
QS. An Nisa ayat 105 :
إنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (١٠٥)
Artinya : Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.
Ayat diatas menjelaskan
bahwa Allah telah menurunkan sebuah kitab yaitu Al qur’an yang di dalamnya
mengandung kebenaran (hukum) untuk mengadili manusia yang melakukan kejahatan
dan melarang manusia untuk menjadi pembela orang – orang yang berkhianat. Ayat
– ayat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an terdiri atas ayat – ayat yang
memerintah, melarang, menganjurkan, dan memberikan pilihan untuk umat manusia[2].
Berikut ini contoh ayat
– ayat Al Qur’an tentang hukum pidana islam:
1.
Q.S. Al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨)
Artinya : “Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
2. Q.S. An-Nur: 4
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٤)
Artinya :“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik.”
2.2.2
Sumber Kedua : As Sunnah
Sunnah sering disamakan
dengan hadist, artinya semua perkataan, perbuatan dan taqrir[3]
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad. Seperti contoh, Ketika Khalid bin Walid
memakan daging biawak, Rasulullah SAW membiarkannya, hal ini mengisyaratkan
bahwa Nabi tidak mengharamkannya, ini yang disebut dengan taqrir Nabi SAW.
Sunnah sebagai sumber
hukum yang kedua didasarkan pada ayat – ayat Allah berikut ini:
QS. An Nisa : 59
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam kajian ushul
fiqh, As Sunnah merupakan metode untuk menjelaskan Al Qur’an. Oleh karena itu
fungsi dari As Sunnah adalah penjelas, penafsir, penguat, penambah, dan
pengkhususan berbagai hukum yang terdapat dalam Al Qur’an yang masih global
atau masih multitafsir dan ada pula yang masih bermakna samar. As Sunnah
disebut sebagai sumber hukum yang kedua karena alasan berikut[4]:
1. Allah
SWT menetapkan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir
2. Allah
SWT menetapkan bahwa Rasulullah SAW menmbawa risalah – risalah Nya
3. Allah
SWT menetapkan bahwa Rasulullah SAW terbebas dari kesalahan ketika berkaitan
dengan kerasulannya. Rasulullah SAW di mashum () sehingga apap pun yang
disampaikan bukan berasal dari hawa nafsunya, melainkan sebagai wahyu yang
dikaruniakan oleh Allah SWT
4. Al
Qur’an memberikan penjelasan bahwa hak untuk menjelaskan makna – makna Al
Qur’an kepada umat manusia berada di tangan Rasulullah SAW. Seperti dalam QS.
Al Maidah ayat 67 dan QS. An Nahl ayat 44 :
يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (67)
Artinya : Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan
Allah terbelenggu[5], sebenarnya tangan
merekalah yang dibelenggu[6] dan merekalah yang
dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi
kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan
Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah
kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah
timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap
mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat
kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat
kerusakan. (Al Maidah : 67)
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)
Artinya
: keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka [7] dan supaya mereka
memikirkan, (An Nahl : 44)
Dibawah ini contoh hadist Nabi mengenai
hukum pidana islam :
a.
Hadits
Tentang pencurian
لعنَاللهُ
السَّرقَ يسرِقُ الْبَيضَةَ فتقطَعُ يدهُ ويسْرِقَ الْحبلَ فتقطَعُ يدهُ
Artinya :“Allah menguntuk pencuri telur tetap harus dipotong tangannya dan yang
mencuri tali juga dipotong tangannya”.
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أتاَكُم وَأَمْرُكُم جَمِيعَّ
عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْيُفَرِّقَ جَماَعَتَكُمْ
فَاقُتُلُوهُ
Artinya : “Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda:
Barang siapa yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan kamu telah sepakat
kepada seorang pemimpin, untuk memecah belah kelompok kalian maka bunuhlah
dia.”
b. Hadits tentang larangan berzina. Hadits nabi
saw :
وعن أنس بن
ملكِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ قال: أوَّلُ لعانٍ كانَ فِي الإِسلاَمِ أنَّ شريكَ بنَ
سحماءَ قذَفَهُ هلالُ بْنُ أميةً بأمرتهِ, فقاَلَ
النَّبِيِّ صَلَّي اللهَ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: اْلبَيَّنَةَ وإلاَّ فحدَّ فِي
ظَهرِكَ (أخرجه أبو يعلى ورجال ثقات)
Artinya : “Dari anas ibn Malik r.a ia berkata : Li’an
pertama yang terjadi dalam Islam ialah bahwa syarik ibn Sahman dituduh oleh
Hilal bin Umayyah berzina dengan istrinya. Maka nabi berkata kepada Hilal:
Ajukanlah saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman had”. (Hadits
diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan perawi yang dipercaya).”
2.2.3
Sumber Ketiga : Ijtihad sebagai metode penggalian hukum islam
Ijtihad atau Ar Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran
islam. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam menafsirkan ayat – ayat Al
Qur’an dan As Sunnah yang masih bersifat umum. Metode ijtihad sangatlah
bermacam – macam. Mulai dari Ijma’ atau yang lebih dikenal dengan kesepakatan
para ulama. Qiyas, Istishan, Mashlahah Mursalah, Saddudz Dzariah, Urf.
2.2.3.1 Ijma’
Ijma’ artinya kesepatan terhadap sesuatu. Secara
terminologis, ijma’adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad
terhadap hukum syara’ dalam suatu masa setelah beliau wafat[8].
Terjadinya ijma’ disebabkan oleh hal berikut:
1. Pernah
terjadi dan hal itu diakui secara mutawatir
2. Pada
masa awal Islam, para mujtahid masih sedikit dan terbatas sehingga memungkinkan
bagi mereka untuk melakukan ijma’ dan menetapkan ketetapan hukum. Akan tetapi,
ijma’ yang diakui ulama ushul fiqh hanya ijma’ sahabat karena jumlah sahabat
yang sedikit pada zamanya. Karena sahabat adalah orang yang bertemu dan bergaul
dengan Nabi dan banyak menyaksikan sebab turunnya ayat AlQur’an.
Ijma’ pada zaman sekarang yang dilakukan ormas
islam, sekelompok umat Muhammad yang diam dalam suatu institusi tertentu,
disebut dengan fatwa.
2.2.3.2 Qiyas
Qiyas (analogi) merupakan salah satu
teknik berpikir. Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada
ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya yang
sering juga disebut illat[9].
Namun menurut
sebagian fuqaha’, Qiyas tidak bisa di pakai untuk semua hukum-hukum syara’,
sebab meskipun termasuk dalam satu jenis namun sebenarnya terdapat perbedaan
satu sama lain. Apa yang terdapat pada sebagaiannya bukan berarti boleh di
terapkan pada lainnya sebab, boleh jadi masing-masing mempunyai ciri khas
tersendiri.
Ulama
ushul fiqh mengatakan bahwa rukun qiyas terdiri dari :
1. ashl
atau pokok, yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya dijadikan tempat
menganalogikan
2. far’u
(cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, yang akan dipersamakan
hukumnya dengan ashl yang disebut maqis dan musyabah (yang dianalogikan dan diserupakan)
3. hukum
ashl yaitu hukum syara’ yang telah ditentukan oleh nash.
Ulama Hanafi sepakat dengan jumhur yang mengatakan
bahwa qiyas berlaku secara sah bagi ketentuan-ketentuan pidana ta’zir, tapi
mereka tidak sepakat mengenai penerapan qiyas dalam ketentuan hudud dan kaffarat. Sebagi contoh mereka tidak menarik
analogi antara kata-kata hinaan (sabb) dan tuduhan fitnah (qazf) disamping
tidak memperluas ketentuan tentang had zina dengan analogi kepada pidana seksual
lainnya. Hal ini menurut mereka bisa dipidana dengan ta’zir tetapi tidak pada
hudud. Alasan utama mereka adalah bahwa Qiyas ditentukan atas dasar ‘illat yang
identifikasinya tentang hudud tergolong langkah spekulasi dan nonvaliditas. Ada
sebuah hadits yang menyatakan
“ Hindarilah hudud dalam kasus yang meragukan,
apabila ada cara lain maka perjelaslah cara itu bagi soal-soal pidana, jika
hakim membuat kesalahan karena memberikan pengampunan maka hal itu lebih baik
daripada menghukum tanpa kesalahan”.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa adanya keraguan dalam menentukan
‘illat (kausa hukum) pidana had mencegah perluasan analogisnya kepada ketentuan
serupa.
2.2.3.3
Istishan
Istishan adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa
dari hukum peristiwa lain yang sejenis dan memberikan kepadanya hukum yang lain
yang sejenisnya. Contoh Istishan bin Nash : Hukum jual-beli al-salam. Yaitu
menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad,
dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model
jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya
barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan
berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan
penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka
beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf,
maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk
jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2.2.3.4
Maslahah Mursalah
Marsalah Mursalah
adalah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan (kebaikan, kepentingan) yang
tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum maupun khusus.
Seperti contoh : pemberian upah minimum
bagi pekerja. Tidak ada nash yang menunjukkan hukum masalah tentang
kepentingan pemberian upah para pekerja. Tetapi pekerja, karyawan supermarket, dan lainnya berhak mendapatkan upah yang layak
untuk mencukupi kebutuhan kehidupan mereka sehari – hari. Ini dilakukan untuk
kemaslahatan kehidupannya.
Contoh lainnya adalah
rambu – rambu lalu lintas, demi menghindari kerusakan, seperti kecelakaan meski
dalam nash atau sunnah Rasul tidak ada perintah tentang rambu – rambu. Ini
dilakukan untuk kemaslahatan orang yang mengendarai kendaraan agar terhindar
dari kecelakaan dan kejadian lain yang bisa terjadi akibat tidak adanya aturan
yang menghidari kejadian tersebut.
2.2.3.5
Sadduz Zari’ah
Sadduz Zari’ah ialah menghambat /
menutup sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan. Contoh
kasus paling menonjol adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau
kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya
sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 2 tahun dengan harga Rp. 200
juta kepada seorang konsumen. Namun jika, mobil itu dibeli
secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.
Transaksi seperti
inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba
yang sangat kentara. Transaksi jual beli tersebut adalah
penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 200 juta dan secara tunai seharga Rp.
100 juta.
Sementara bagi mazhab
Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan
sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut. Transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom
adalah transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga
mengandung unsur riba.
2.2.3.6
Urf
Urf adalah kebiasaan
yang turun menurun tetapi tidak bertentangan dengan ajaran islam. Contohnya
jual beli di pasar yang tanpa mengucapkan ijab kabul. Urf yang di dalamnya
terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharahnya; atau unsur manfaatnya
lebih besar dari unsur mudharahnya. Kebiasaan dalam bentuk ini diterima
sepenuhnya dalam hukum Islam. Sebagai contoh hukum diyat yang harus dibayarkan
oleh pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang dibunuh. Ketentuan ini
berlaku dalam masyarakat Arab pra Islam. Setelah Islam datang lalu
ditetapkanlah ketentuan tersebut sebagai bagian dari syari’at Islam.
[1] Mustofa Hasan dan Beni Ahmad
Saebani. Hukum Pidana Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 116
[2] Muatofa Hasan dan Beni Ahmad
Saebani . Hukum Pidana Islam. (Bandung: Pustaka Setia), 119
[3] Taqrir Nabi adalah perbuatanNabi
yang menyetujui perbuatan yang dilakukan oleh sahabat.
[4] Muatofa Hasan dan Beni Ahmad
Saebani . Hukum Pidana Islam. (Bandung: Pustaka Setia), 133
[5] Maksudnya
ialah kikir.
[6] Kalimat-kalimat
ini adalah kutukan dari Allah terhadap orang-orang Yahudi berarti bahwa mereka
akan terbelenggu di bawah kekuasaan bangsa-bangsa lain selama di dunia dan akan
disiksa dengan belenggu neraka di akhirat kelak.
[7] Yakni:
perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam
Al Quran.
[8] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul
Fiqh. (Jakarta: Pustaka Amani, 2003). 54
[9] Zainuddin Ali. Hukum Pidana
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 16