A. Sejarah Panjang Tokoh Filsafat Socrates
Kemunculan
Aliran Sofi
Pada pertengahan abad ke-5 sebelum Masehi muncul aliran baru, yang
disebut dengan Sofis. Kata Sofis
berarti arif, atau pandai. Arti ini berkaitan dengan orang yang pandai
bicara, mempengaruhi orang dengan kepandaian berdebat. Kelahirannya berkenaan
dengan perkembangan kota
Athena yang luar biasa makmur dan menjalankan demokrasi secara bebas.
Protagoras, salah satu tokoh terkemuka aliran ini, menyatakan bahwa, Manusia adalah ukuran segalanya, jika
manusia menggapnya demikian maka demikianlah adanya, dan jika tak demikian maka
tak demikian pula. Maksudnya, “bahwa semuanya itu harus ditinjau dari
pendirian manusia masing-masing. Kebenaran umum tidak ada. Pendapatku adalah
hasil pandanganku sendiri. Apa pandanganku ini benar bagi orang lain, sukar
dipastikan, boleh jadi tidak. Apa yang dikatakan baik boleh jadi, jahat bagi
orang lain. Alamku adalah bagiku
sendiri. Orang lain mempunyai alamnya sendiri pula.”[1]
Tokoh lainnya adalah Georgia
(483-375) menyatakan bahwa tidak ada
sesuatu pun yang ada, jika ada maka ia tak dapat diketahui, dan jika dapat
diketahui sesuatu itu tidak dapat dikabarkan. Georgia
menyatakan tegas bahwa segala pemikiran atau pendirian itu salah.
Protagoras yang menyatakan segala pendirian atau pemikiran bisa jadi
benar, ia menganggap dirinya seorang skeptis,
ia meragukan adanya kebenaran di dunia ini. Sedangkan Georgia menganggap dirinya seorang nihilis karena menyatakan dengan keras
lagi bahwa kebanaran sudah tidak ada lagi.
Socrates (470 SM – 399 SM)
Di tengah kuatnya pengaruh kaum Sofis,
muncullah seorang filsuf lain yang memberikan alternatif baru. Socrates
namanya. Lahir di Athena tahun 470 SM dari pasangan Sophonisko-Phainarete, dan
meninggal tahun 399 SM. Ia merupakan filsuf generasi pertama dari tiga ahli
filsafat besar. Ia menyebut dirinya filosof (pecinta kebijaksanaan). Ia setuju
bahwa pada manusialah memiliki pengetahuan dan kemauan. Dalam pandangan
Socrates, masyarakat Athena yang terperangkap dalam pandangan (nihilis Georgias dan
skeptis Protagoras) pada saat itu mengarahkan hidupnya pada duniawi.
“Saya curahkan
waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian pemuda dan orang tua, agar
kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga ataupun harta kalian;
melainkan demi kesejahteraan jiwa kalian…kekayaan tidak akan membawa kebaikan,
tetapi kebaikan akan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi
individu maupun bagi Negara ”
Socrates mempercayai adanya satu kebaikan yang bisa dimiliki oleh semua
orang. Ia percaya bahwa manusia tak hanya memiliki raga saja tapi memiliki jiwa
(eudaimonia = memiliki jiwa yang baik), yaitu inti dari manusia itu sendiri.
Orang yang baik, yaitu memiliki jiwa yang bahagia.
Di tengah situasi kacau akibat pemikiran-pemikiran
kaum Sofis yang hanya mencapai kata sepakat mengenai satu hal, untuk mengatasi
kekacauan ini Sorates tampil di arena filsafat untuk menghadapi kaum Sofis. Metode
yang dipakai Socrates untuk menghadapi kelihaian lidah para kaum Sofis ini
dikenal dengan Dialektik-Kritis (dialog antara dua pendirian yang bertengtangan
ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan “interplay”
antar ide).
Dalam metode tersebut, Socrates selalu meminta
penjelasan tentang sesuatu pengertian kepada orang yang dianggapnya ahli dalam
bidang tersebut. Jadi, Socrates selalu menuntut kemampuan para ahli untuk
mempertanggungjawabkan pengetahuannya dengan alasan yang benar dan apabila
didukung dengan alasan yang benar, maka ide yang telah teruji tadi akan sebagai
pengetahuan yang benar untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih
lanjut.
Metode
dialog yang digunakan Socrates bermula dari “induksi[2] untuk menemukan definisi”. Socrates
adalah filsuf sejati karena ia tak menjadikan filsafat sebagai teori-teori yang
sulit dan membosankan. Dan sebenarnya Socrates tak pernah menuliskan buah
pikirannya. Catatan itu berasal dari muridnya Plato. Plato dalam pidatonya
selalu menggunakan nama gurunya sebagai tokoh utama dan sangat sulit memisahkan
mana gagasan Socrates dan mana gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut
Socrates.
Lewat
dialog Socrates tidak mengajarkan apa pun, ia menolong mengeluarkan apa yang
tersimpan dalam jiwa orang yang selama ini terkubur oleh pengetahuan yang salah.
Salah satu pengetahuan yang salah itu adalah seseorang yang telah merasa tahu
banyak tentang semua urusan hidup, merasa ahli. Sikap inilah membuat orang
menganggap remeh pada gejala-gejala kehidupan yang dialami sehari-hari, yang
kemudian akam membuatnya gagal dalam menjalani kehidupan.
Socrates
dalam Apology, menyebutkan bahwa peningkatan / kecenderungan jiwa, kepedulian
terhadap kebijaksanaan dan kebenaran merupakan kebajikan tertinggi. Sehingga
dapat digambarkan seperti ini,
“ Tak ada yang
melakukan kejahatan secara sukarela. Jika anda benar-benar paham hal baik maka anda pasti akan melakukannya. Jika
anda benar-benar memiliki penilaian yang lebih baik dari yang anda gunakan,
maka anda pasti akan bertindak berdasar padanya, bukannya berlawanan.”
Dalam hal lain
Socrates menyatakan “saya tahu bahwa saya tidak tau apa-apa” dan ia menyatakan
bahwa ia tidak akan menyampaikan kesimpulan-kesimpulan yang pasti. Ia hanya
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada diri dan orang lain,
sehingga secara bersama-sama mencari jawabannya.
Pada diri
Socrates kita dapat belajar mengenai satu hal : bahwa berfilsafat pada awalnya
harus bermula pada diri sendiri. ”Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup
yang tak layak untuk dijalani ,”
Ia mengajak
kita untuk tidak sekedar menempat, seperti botol di kotak minuman. Manusia
bukan botol, ia memiliki jiwa yang menyimpan peta menuju kebahagiaan. Namun
kita seringkali seperti botol, terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang tak
pernah disadari mengapa seperti itu.
Misalnya
kita setiap hari sering diperbudak oleh rasa iri, marah, cemburu, takut, malu,
atau sedih. Karena semua orang juga mengalami hal yang sama,kita jadi tak
peduli pada situasi itu. Akhirnya kita terus menerus berada dalam lingkaran
kemarahan yang sama. Ingat “kebaikan/kebahagiaan adalah pengetahuan,” jadi kita
bisa mendapatkan pengetahuan yang akan mengarahkan kita pada hidup baik.
Dari
peryataan itu kita belajar pada Socrates yang telah menemukan cara berfilsafat
yang mudah untuk kita lakukan. Socrates menjadikan kehidupan sehari-hari
sebagai dasar dan tujuan kegiatan berfilsafat bisa dipastikan semua orang juga
bisa melakukannya.
Dalam buku
Christopher Phillips[3], Socrates
café, mengajak kita untuk mengaplikasikan kembali metode Socrates dalam
kehidupan sehari-hari. Phillips menuliskan :
o
Metode Socrates bisa disebut
sebagai metode elenchus, artinya penyelidikan atau uji silang.
o
Dialog Socrates meminta kita untuk
secara rela memeriksa seluruh kebenaran
yang selama ini kita yakini, juga segala hal-hal yang selama ini dianggap
remeh.
o
Dialog Socrates menegaskan bahwa
kearifan tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan kawan dialog yang secara kritis terus memberikan pandangan lain
dari dalam dirinya. Yang berbentuk hipotesis, keyakinan, dugaan atau teori-teori.
o
Dibutuhkan kejujuran dari semua
peserta dialog, karena kejujuran akan mengatakan “saya tahu bahwa saya tidak
tahu” atau “saya sadar bahwa keyakinanku bisa salah kaprah”. Kejujuran membuat
kita berdialog dengan rendah hati.
Socrates dianggap filsuf sejati karena
Ia rela dihukum mati ketimbang berhenti berfilsafat.
Cara Berflsafat Socrates
:
o
Berfilsafat bukan masalah
teoritis, Cara Socrates membolehkan kita untuk tidak berteori, Karena teori
tidak akan membuat kita terhubung dengan realitas. Justru dengan berdasar pada
pengalaman kita dapat arti hidup yang selama ini kita telah anggap selesai.
o
Komitmen untuk saling menghargai,
tanpa meremehkan pendapat orang lain. Dengan begitu kita jadi menemukan betapa
pemahaman kita tidak bisa otomatis jadi berlaku bagi semua orang.
o
Berbicara dan mendengarkan
pembicaraan orang lain menerbitkan rasa syukur terhadap apa yang kita alami dan
rasakan.
o
Hakikat kepercayaan adala
keraguan, hakikat realitas adalah mempertanyakan. Dengan meragukan kepercayaan
kita , kepercayaan itu akan menemukan kekentalannya. Begitu juga realitas.
DAFTAR PUSTAKA
Lavine, Z., 2002. Petualangan Filsafat
dari Socrates ke Sertre. Penerbit Jendela : Yogyakarta.
Syadali, Ahmad. 1997. Filsafat Umum.
CV. Pustaka Setia : Bandung.
Phillips, Christoper,. 2002. Socrates Café. Gramedia : Jakarta.
Q-Anees, Bambang,. 2003. Filsafat
Untuk Umum. Prenada Media :
Jakarta.
Hatta, Muhammad,. 1964. Sejarah
Filsafat Yunani. Djambatan : Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar