PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum keluarga sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir). Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya). Hukum keluarga diatur dalam KUH Perdata Buku I BAB 4-18. Selain itu juga diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sebagai hukum khusus dari KUH Perdata.
1.2 Penelitian terdahulu
Hukum keluarga dimulai
pada abad ke – 19. Sebelumnya hukum orang dan hukum keluarga ada di berbagai
buku fikih. Seorang ahli hukum Islam di Mesir yaitu, Muhammad Qudri Pasya,
memisahkan hukum keluarga menjadi suatu kajian yaitu, al-ahwal al-syakhsiyah
dalam buku yang berjudul al-ahkam al-Syariyyahfi al-ahwal al-Syakhsiyyah (hukum
syari’at/agama dalam hal keluarga). Hukum keluarga ini meliputi hukum
perkawinan, perceraian, wasiat, ahliyyah (kecakapan bertindak hukum), harta
warisan dan hibah. Buku ini telah dijadikan sebagai bahan rujukan hakim untuk
memutuskan berbagai masalah pribadi dan keluarga di pengadilan.
Penerapan hukum keluarga di Kerajaan Turki
Usmani dimulai sejak al-ahwal al-syakhshiyyah dikodifikasikan pada tahun 1917,
yang diberi nama Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy (undang-undang hak
keluarga di Turki Usmani). Hukum tersebut berlaku untuk seluruh wilayah
kerajaan Turki Usmani, kecuali Mesir yang diberi otonomi penuh pada tahun 1805
dan memerdekakan diri dari kekuasaan Turki pada tahun 1873. Keistimewaan Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy ini
adalah bahwa hukum yang terkandung di dalamnya tidak lagi terikat pada Mazhab
Hanafi (mazhab resmi Negara), tetapi merupakan gabungan dari pendapat-pendapat
terkuat dari 4 mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’iy dan Hambali). Selain itu, dalam
beberapa hal ditemukan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan
dan dinamika masyarakat.
Dalam perkembangan lebih lanjut, uraian
al-ahwal al-syakhshiyyah telah lebih sistematis dan lebih mudah dipahami,
karena telah diklasifikasikan dalam tiga bagian besar, yaitu:
·
Ketentuan
hukum mengenai kedudukan seseorang di depan hukum, yaitu tentang ahliyyah serta
wewenang yang bisa dipikulnya. Di samping itu, juga diuraikan hal-hal yang
dapat menghilangkan ahliyyah itu sendiri.
·
Ketentuan
hukum yang menyangkut tata cara berkeluarga.
·
Ketentuan
hukum yang menyangkut harta bersama dalam hubungan dengan masalah warisan.
Di Indonesia, persoalan al-ahwal
al-syakhshiyyah telah
dikodifikasikan melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan berdasarkan
Inpres No. 1/1991 dan Kep. Menteri agama No.
154/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Secara garis besarnya, KHI dibagi
menjadi tiga bagian (disebut dengan istilah Buku) yang mengatur tiga persoalan
utama, yaitu Buku I tentang perkawinan dan berbagai aspeknya, Buku II tentang
pembagian harta warisan, dan Buku III tentang hukum perwakafan.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
2.1 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana awal mula adanya hukum keluarga ?
2. Apa pengertian dari hukum keluarga ?
3. Darimana saja sumber hukum keluarga itu ?
4. Bagaimana ritual/ tradisi hukum keluarga yang
berkembang dalam hukum adat ?
2.2 Batasan
Masalah
Karena
cangkupan dari hukum keluarga ini cukup luas, kami membatasi penulisan makalah
kami ini pada pelaksanaan dan undang – undang pada hukum keluarga modern dan
hukum keluarga adat.
BAB III
LANDASAN TEORI DAN DATA
3.1 Kerangka Pemikiran
3.1.1 Pengertian Hukum Keluarga
Ali Affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan
sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan
dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan,
kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir)”[1]
Ada dua pokok kajian dalam definisi hukum keluarga
yang dikemukakan oleh Ali Affandi, yaitu mengatur hubungan hukum yang berkaitan
(1) kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat pada beberapa
pada beberapa orang yang mempunyai leluhur sama, dan (2) perkawinan adalah
pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan
keluarga sedarah dari istri (suami).
Tahir Mahmoud, sebagaimana yang dikutip oleh Harian
Kompas, tertanggal 12 Oktober 2000 mengartikan : “Hukum keluarga sebagai
prinsip-prinsip hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan
dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut
peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga,
kewajiban dalam rumah tangga, warisan,
pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.”[2]
Definisi yang terakhir ini mengkaji dua hal, yaitu
tentang prinsip hukum dan ruang lingkupnya. Prinsip hukum berdasarkan ketaatan
beragama. Ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga,
kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain
– lain.
3.1.2 Sumber Hukum Keluarga
Sumber hukum keluarga dibedakan menjadi dua macam,
yaitu sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1)
hukum keluarga tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum yang bersumber dari UU,
yurisprudensi, dan traktat. (2) hukum keluarga tidak tertulis, yaitu kaidah –
kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat (hukum adat). Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut
ini :
1. Kitab undang – undang hukum perdata (KUHPerdata)
2. Peraturan perkawinan campuran Stb. 1898 Nomor 158
3. Indonesia, Kristen, jawa, minahasa, dan Ambon, Stb. 1933 Nomor 74
4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
(beragama Islam)
5. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
7. PP Nomor 10 Tahun 1983, PP Nomor
45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Dalam hukum keluarga tidak tertulis, hukum yang dianut
adalah hukum yang berada di kehidupan masyarakat sekitar daerah tempat
tinggalnya Menurut Soejono Soekanto mengatakan bahwa, hukum adat
hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat
hukum (das sein das sollen).[3]
Syekh Jalaluddin[4] menjelaskan
bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan
kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan
berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan
pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak
tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta
yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh
keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang
berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu
pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan
kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang
keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak
bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama
dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.[5]
Hukum adat yang berlaku tersebut
hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para
fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif
dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai
suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah
(kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai
dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan
tersebut. Penegak hukum adat adalah pemuka
adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam
lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
3.1.3 Bagian – Bagian dalam Hukum Keluarga
Hukum Keluarga juga dapat merujuk pada kontrak
pernikahan dalam iman Islam, yang meliputi penyisihan laki-laki untuk menikahi
hingga empat istri, dalam keadaan tertentu. Hukum
kekeluargaan mengatur tentang :
- Keturunan
- Kekuasaan orang tua
- Perwalian
- Pendewasaan
- Pengampuan
- Orang hilang
Hukum keluarga
memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan.
Yang termasuk dalam hukum keluarga antara lain :
1. Keturunan (KUHPerdata 42 sampai 44). Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal
ini menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan tidak sah adalah
anak yang tidak sah. Pasal 55 dijelaskan bahwa asal usul seorang anak hanya
dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh
penjabat berwenang.
2.
Kekuasaan orang tua
(KUHPerdata 45 dan seterusnya).
Setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tuanya, sebaliknya orang tua
wajib memelihara dan memberi bimbingan anak-anaknya yang belum cukup umur
(belum 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin) sesuai dengan kemampuannya
masing-masing.
Kekuasaan orang tua
berhenti apabila:
a.
Anak tersebut telah
dewasa (sudah 21 tahun).
b.
Perkawinan orang tua
putus.
c.
Kekuasaan orang tua
dipecat oleh hakim, misalnya karena pendidikannya buruk sekali.
d.
Kelakuan si anak
luar biasa nakalnya hingga orang tuanya tidak berdaya lagi.
3.
Perwalian. Anak
yatim piatu atau anak yang belum cukup umur dan tidak dalam kekuasaan orang tua
memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, karena itu harus ditunjuk wali yaitu
orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak
tersebut. Pasal 51 menyatakan bahwa :
a.
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang
tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua
orang saksi.
b.
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak atau orang lain yang
telah dewasa, berfikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
c.
Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormatinya agama dan kepercayaan anak itu.
d.
Wali wajib membuat
daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai
jabatannya dan mencatat semua perubahan harta benda anak itu.
e.
Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
4. Pengampuan. Orang yang sudah dewasa akan tetapi
sakit ingatan, pemboros, lemah daya, atau tidak sanggup mengurus kepentingan
sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan burukdi luar batas atau
mengganggu keamanan, memerlukan pengampunan. Oleh sebab itu, dibutuhkan
Kurator; biasanya suami jadi pengampun atas istrinya atau sebaliknya, akan
tetapi mungkin juga Hakim mengangkat orang lain atau perkumpulan sedangkan
sebagai Pengampu Pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.
Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum
Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan. Hukum Perkawinan ialah peraturan hukum
yang mengatur perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang
laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama
menurut peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang. Kebanyakan isi peraturan
mengenai pergaulan hidup suami dan istri diatur dalam norma
keagamaan, kesusilaan atau kesopanan. Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian
:
a. Hukum perkawinan
Hukum perkawinan adalah keseluruhan
peraturan – peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan. Ketentuan secara rinci terdapat pada Undang – undang Nomor 1 tahun 1974
yang dilaksankan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, yang mengatur
perkawinan, akibat perkawinan dan perkawinan campuran
b. Hukum kekayaan
Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah
keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami
dan istri di dalam perkawinan.
Didalam kita
mempelajari Hukum Perkawinan ini ada beberapa asas yang harus diperhatikan,
yaitu:
I.
Perkawinan
didasarkan pada asas monogami (pasal 27 BW). Penegasan ini tercantum pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi :
Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan
seorang perempuan hanya seorang suami.
II.
Undang–undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya perdata (pasal 26 BW). Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka
petugas Kantor Pencatatan Sipil. Perkawinan adalah
suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang
hukum keluarga.
III.
Menurut pasal 28
asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon
suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu
persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang
termuat di dalam Buku III.
IV.
Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang
dikehendaki oleh undang-undang.
4.1 Perbandingan Teori
Dalam bab ini kami akan menguraikan perbandingan teori antara aturan
hukum keluarga tertulis, (seperti yang tertulis dalam KUHPerdata) dan aturan
hukum keluarga yang tidak tertulis (seperti hukum adat yang ada pada
masyarakat).
Perbandingan
|
Hukum Keluarga Tertulis
(KUHPerdata)
|
Hukum Keluarga Tidak Tertulis
(Hukum Adat)
|
Kedudukan anak
|
UU No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 42-43 bahwa anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah.
Pasal 55 bahwa asal usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh penjabat
yang berwenang.
|
Menurut hukum adat, anak kandung yang sah adalah
anak yang dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibunya yang sah, walaupun
mungkin terjadi perkawinan itu setelah ibunya hamil lebih dulu.
|
UU No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 47 (1) bahwa anak
yang belum pernah melangsungkan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang
tuanya
Pasal 50 (1) yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua berada di bawah kekuasaan wali
|
Dalam hukum adat lembaga perwalian itu pada dasarnya
tidak ada dan semua anak yang belum pernah menikah dan dapat berdiri sendiri
tetap berada di bawah kekuasaan orang tua dan kerabat yang struktur
kemasyarakatan adatnya masing – masing.
|
|
Kedudukan orang tua
|
Pasal 49 bahwa salah satu atau kedua orang tua dapat
dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak untuk waktu tertentu atas
permintaan orang tua, atau saudara kandung yang telah dewasa dengan keputusan
pengadilan dalam hal melalaikan kewajibannya terhadap anak, atau berkelakuan
buruk.
|
Dalam hukum adat tidak mengenal hukum pencabutan
kekuasaan ini.
|
Dalam pasal 47 ayat (2) orang tua mewakili anak
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan
|
Menurut hukum adat, yang mewakili adalah disesuaikan
dengan susunan kekerabatannya.
|
|
Perkawinan
|
Dalam bab XIV mengatur dasar perkawinan, syarat,
pencegahan, batalnya, perjanjian, hak dan kewajiban, harta benda, dan
ketentuan lain dalam perkawinan.
|
Dalam hukum adat hanya mengatur cara peminangan,
upacara-upacara perkawinan dan ketentuan lain dalam ruang lingkup hukum
perkawinan adat.
|
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
1. Hukum keluarga
dimulai pada abad ke – 19. Sebelumnya hukum orang dan hukum keluarga ada di berbagai
buku fikih. Penerapan hukum keluarga di Kerajaan Turki
Usmani dimulai sejak al-ahwal al-syakhshiyyah dikodifikasikan pada tahun 1917,
yang diberi nama Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy (undang-undang hak
keluarga di Turki Usmani). Hukum tersebut berlaku untuk seluruh wilayah
kerajaan Turki Usmani, kecuali Mesir yang diberi otonomi penuh pada tahun 1805
dan memerdekakan diri dari kekuasaan Turki pada tahun 1873. Keistimewaan Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy ini
adalah bahwa hukum yang terkandung di dalamnya tidak lagi terikat pada Mazhab
Hanafi (mazhab resmi Negara), tetapi merupakan gabungan dari pendapat-pendapat
terkuat dari 4 mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’iy dan Hambali). Selain itu, dalam
beberapa hal ditemukan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan
dan dinamika masyarakat.
Di
Indonesia, persoalan al-ahwal al-syakhshiyyah telah
dikodifikasikan melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan berdasarkan
Inpres No. 1/1991 dan Kep. Menteri agama No.
154/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Secara garis besarnya, KHI dibagi
menjadi tiga bagian (disebut dengan istilah Buku) yang mengatur tiga persoalan
utama, yaitu Buku I tentang perkawinan dan berbagai aspeknya, Buku II tentang
pembagian harta warisan, dan Buku III tentang hukum perwakafan.
2. Ali Affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai
“Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir)” Ada dua pokok kajian
dalam definisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh Ali Affandi, yaitu mengatur
hubungan hukum yang berkaitan (1) kekeluargaan sedarah adalah pertalian
keluarga yang terdapat pada beberapa pada beberapa orang yang mempunyai leluhur
sama, dan (2) perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena
perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suami).
3. Sumber hukum keluarga diperoleh dari : (1) hukum keluarga tertulis,
yaitu kaidah – kaidah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan traktat.
(2) hukum keluarga tidak tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum keluarga yang
timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (hukum adat)
4. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh
keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang
berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu
pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan
kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang
keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak
bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama
dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya
ditoleransi.
Hukum adat
yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua
kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak
hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu
didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan
nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan
anggota-anggota persekutuan tersebut. Penegak
hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar
pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup
sejahtera.
DAFTAR
PUSTAKA
Djamali, Abdoel R. 1984. Pengantar
hukum Indonesia. Jakarta : PT
Grafindo
Persada.
Djamali, Abdoel R. 1993. Pengantar
hukum Indonesia. Jakarta : PT Grafindo Persada.
Djamali, Abdoel R. 2008. Pengantar Hukum Indonesia.
Jakarta: PT. Grafindo Indonesia.
Halim, A Ridwan. 2007. Pengantar
Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab jilid 1. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hadikusuma, Hilman.
1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju
Sudiyat, Imam. 1981. Hukum
Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty
Suhardana, F.X. 2001. Hukum
Perdata I. Jakarta: PT Grafindo Pustaka.
Wulandari, Dewi. 2012. Hukum Adat Indonesia Suatu
Pengantar. Bandung : Refika Aditama
[4] Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani. Safinatul Hukaam
Fi Tahlisil Khasam (Bahtera Segala Hakim dalam Menyelesaikan Segala Orang
Berkesumat/Bersengketa