PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Asas kebebasan berkontrak
Kontrak atau contracts (dalam bahasa inggris)
dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah
perjanjian. Kontrak adalah Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling
berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu,
biasanya secara tertulis.
Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan,
berkewajiabn untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut
menimbulkan hubungan hokum yang disebut perikatan (verbintenis).
2.1.2 Ketentuan
Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata
Dalam KUH
Perdata, ketentuan mengenai asas kebebasan berkontrak dapat dijumpai dalam
pasal 1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut
Subekti, pasal tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa
kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya
berupa apa saja yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah
“semua” di dalamnya terkandung asas partij
autonomie, freedom
of contract, beginsel
van de contract vrijheid, menyerahkan sepenuhnya kepada para pihak
mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan
ke dalam bentuk kontrak standar.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas
kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia mencakup hal-hal
berikut : pertama:
Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kedua: Kebebasan
untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, ketiga: Kebebasan
untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya, keempat:
Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian dan kelima: Kebebasan untuk menerima atau
menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (anvullend, optional).
Namun, kebesan tersebut bukan
berarti tanpa batas, yang memungkinkan terjadinya pemaksaan dan eksploitasi
oleh satu pihak terhadap pihak lainnya, sehingga berakibat pada terjadinya
ketidakadilan. Oleh karena itu, Prof. Agus Yudha Hernoko berpendapat bahwa asas
kebebasan berkontrak yang diderivasikan dari penafsiran atas pasal 1338
tersebut harus dibingkai oleh pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum
kontrak yang bulat dan utuh. Pasal-pasal tersebut antara lain:
- Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak)
- Pasal 1335 KUHPerdata, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu kausa yang palsu atau terlarang, dengan konskuensi tidaklah mempunyai kekuatan
- Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
- Pasal 1338 (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
- Pasal 1339 KUHperdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal 1339 KUHPer bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.
- Pasal 1347 KUHper mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukan ke dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding)
Dengan mengaitkan satu sama lain
pasal-pasal dalam KUHPerdata mengenai ketentuan-ketentuan dalam melakukan
perjanjian, maka kebebasan berkontrak tidak hanya dijamin dalam hukum
perjanjian, namun pada saat bersamaan kebebasan tersebut harus dibingkai
ketentuan-ketentuan lainnya sehingga suatu perjanjian dapat berlangsung secara
proporsional dan adil.
2.1.3 Ketentuan
Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Islam
Kebebasan
berakad/kontrak (mabda
Hurriyyah at Ta’aqud) diakui dalam hukum Islam. Kebebasan
berakad merupakan prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat
membuat akad jenis apapun tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan
dalam undang-undang syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang
dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta
bersama dengan jalan batil. Nas-nas al-Quran dan Sunnah Nabi Saw –sebaagi
otoritas utama sumber hukum Islam—serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukan
bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Asas kebebasan ini merupakan
konkretisasi labih jauh dari spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas
ibahah dalam bermuammalah. Dalam Firman Allah (QS. 5:1) :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian)……
Ayat ini memerintahkan kaum mu’minin
untuk memenuhi akad-akad. Menurut kaidah ushul fikih (metodologi penemuan hukum
Islam), perintah dalam ayat ini (kata: aufu) menunjukan wajib. Artinya memenuhi
akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini “akad” disebutkan dalam bentuk jamak
yang diberi kata sandang “al” (al-aqadàal-uqud). Menurut kaidah usul fikih,
jamak yang diberi kata sandang “al” menunjukan makna umum. Dengan demikian,
dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja
baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh al-Hakim dari sahabat Abu Hurairoh, Rasul bersabda: “orang-orang muslim itu
senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka”. Hadis
ini menunjukan bahwa syarat-syarat atau janji-janji apa saja dapat dibuat dan
wajib dipenuhi. Terhadap hadis ini, al-Kasani (w. 587/1190) memberi penjealsan,
bahwa zahir hadis ini menyatakan wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain
yang dikecualikan oleh suatu dalil, karena hadis ini menuntut setiap orang
untuk setia kepada janjinya, dan kesetiaan kepada janjin itu adalah dengan
memenuhi janji tersebut…asasnya ialah bahwa setiap tindakah hukum seseorang
terjadi menurut yang ia kehendaki apabila ia orang yang cakap untuk melakukan
tindakan tersebut, objeknya dapat menerima tindakan dimaksud, dan orang
bersangkutan mempunyai kewenangan dalam tindakan itu.
Di samping itu, ada kaidah hukum
Islam yang berbunyi, “pada
asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah
adanya apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji”
Kaidah ini menunjukan adanya kebebasan berakad karena perjanjian itu dinyatakan
sebagai berdasarkan kata sepakat para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang
mereka tetapkan melalui janji.
Namun, kebebasan membuat akad dalam
Islam bukannya tidak terbatas. Kebebasan tersebut tidak boleh menimbulkan
ketidakadilan bagi pihak lain. Dalam QS.4:29 Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan
jalan batil, kecuali (jika makan harta sesama itu dilakukan) dengan cara
tukar-menukar berdasarkan perizinan timbal balik (kata sepakat) di antara kamu.
Yang
dimaksud dengan “mekan harta bersama dengan cara batil” adalah makan harta
orang lain dengan cara yang tidak dibeanrkan dan tidak sah menurut hukum
syari’ah, baik yang dilarang secara langsung di dalam ans maupun berdasarkan
ijtihad atas nas. Secara umum, dapat dikatakan makan
harta dengan jalan batil adalah bertentangan dengan keteriban umum dan
kesusilaan. Hanya saja, ketertiban dan kesusilaan dalam hukum Islam lebih luas
cakupannya, karena mencakup larangan riba, garar dan syarat peserta akad yang
fasid.
1.2
Syarat-syarat didalam asas kebebasan berkontrak
Para
pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas
yang tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang
dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas
membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1.
Memenuhi
syarat sebagai kontrak
Agar
suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak maka
kontrak tersebut haruslah memenuhi standar yang telah ditentukan.
2.
Tidak
dilarang oleh Undang-undang
Tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
3.
Sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal
1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat
terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang
merupakan kebiasaan
4.
Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad
baik.
Menurut
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan
itikad baik. Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa
sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana
syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya
disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan
suatu kontrak.
Sebab unsur “ itikad baik” dalam hal
pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “ klausa yang legal
“dari pasal 1320 tersebut. Dengan demikian dapat saja suatu kontrak dibuat
secara sah. Dalam arti memenuhi semua syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai
dengan Pasal 1320 KUHPerdata). Dan karenanya kontrak tersebut. dibuat dengan
itikad baik, tetapi justru dalam pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah
yang merugikan pihak ketiga. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kontrak tersebut
telah dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open
system) dari hukum kontrak tersebut.Dasar hukum dari asas ini adalah Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
KESIMPULAN
Kontrak adalah Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling
berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya
secara tertulis.
Syarat-syarat
dalam asas kebebasan berkontrak antara lain :
Ø
Memenuhi
syarat sebagai kontrak
Ø
Tidak
dilarang oleh Undang-undang
Ø
Sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku
Ø Sepanjang
kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum
Perjanjian, Alumni, Bandung, 1980.
Kartini Mulyadi, Gunawan Widjja, Perikatan
yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo, Jakarta, 2003.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari
Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Suharnoko, Hukum Perjanjian. Prenada
Media, Jakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar