Blogger Tips and Tricks

Kamis, 07 November 2013

Konsep Bunga Bank dan Riba dalam Al Qur'an



A. Konsep al Qur’an tentang bunga bank
            Dalam Al – Qur’an, ayat yang pertama kali berbicara tentang bunga bank atau riba adalah surat ar-Rum : 39, yang berbunyi :
وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)
Artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Ar-Rum : 39)
Sebagian masyarakat makkah pada waktu itu telah mempraktekan riba (bunga), dan sebagian telah membayar zakat. Mereka menginginkan agar harta yang mereka miliki dapat menjadi banyak dan bahkan berlipat ganda, dengan mempraktekan riba (bunga). Dalam ayat ini belum terlihat adanya keharaman melakukan riba, namun sekedar menggambarkan bahwa riba yang dalam sangkaan orang menghasilkan penambahan harta dalam pandangan Allah tidak benar. Akan tetapi zakatlah yang mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Terhadap riba yang dibicarakan dalam surat ar-Rum ini, sebagian mufassir ada yang berpendapat bahwa riba yang dimaksud adalah berupa pemberian sesuatu kepada orang lain yang tidak didasarkan pada keikhlasan tetapi berharap imbalan yang lebih besar.[1]
             Dalam ayat ini Allah mengingatkan bahwa zakatlah yang menghasilkan lipat ganda seperti yang mereka kehendaki, bukan riba (bunga). Al Qur’an menonjolkan kekuasaan Allah dengan cara mengaitkan rizki dengan anugrah-Nya harus mempunyai fungsi sosial.

Ayat kedua adalah pada surat An-Nisa’ : 160 – 161
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)

Artinya : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Pembicaraan tentang riba dalam surat ini masih bersifat informasi. Meskipun tidak secara tegas melarang orang islam menjalankan riba, tetapi memberi tahu riba yang dipraktekkan orang yahudi. Sehingga orang yahudi dilarang memanfaatkan barang – barang yang serba bagus, yang tadinya halal untuk mereka. Riba yang mereka praktekkan bukan kesalahan kecil, tetapi kesalahan besar yang meresahkan orang banyak. Pada zaman sekarang konsep ini sama dengan konsep bunga pada bank konvensional, yang ingin mencari keuntungan banyak dengan konsep bunga (tambahan pembayaran karena diundurnya pembayaran). Semakin lama pembayaran maka semakin tinggi bunganya.

Ayat ketiga Surat Ali Imron : 130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا [2]مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[3] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
            Pelarangan riba secara tegas terdapat dalam ayat ini. Kalau menjelang penyebutan riba dalam surah Ar – Rum : 39, al Qur’an menyebutkan bahwa pemberi rizki adalah Allah, di situ ditunjukkan kekuasaan Nya. Maka, menjelang pelarangan riba di surah Ali imran : 130 ini Al Qur’an menyebutkan juga menyebutkan kekuasaan Nya atas langit dn bumi dan kekuasaan Nya mengampuni dan mengazab manusia.
Menurut Ath – Thabari, ungkapan “janganlah memakan riba” ditujukan setelah kebolehan mengkonsumsinya sebelum Islam. Pada masa Arab mengkonsumsi riba yang berlaku di kalangan mereka terhadap pihak yang berhutang yang tidak mampu mengembalikan hutangnya pada waktu jatuh tempo maka, pihak pihutang akan meminta pembayaran kembali dengan tambahan hutangnya. Hal ini merupakan bentuk riba yang berlipat ganda

Ayat keempat adalah Surah Al Baqarah : 273 – 280                                                     
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (273) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (274) الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279) وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
Artinya : “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[4] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[5]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[6] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah menusnahkan riba dan  menyuburkan sedekah[7]. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[8]. Sesungguhnya orang – orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang beriman. Maka janganlah kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba ), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganianya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jka kamu mengetahui.


       Dalam ayat ini Al Qur’an memulai pembicaraan dan ketegasan bahwa orang yang infaq di jalan Allah berarti melipat gandakan harta. Dalam ayat 277 sesudah Al – Qur’an mempertentangkan riba dengan sedekah, karena orang menyangka bahwa riba sama halalnya dengan jual beli. Dari situ diketahui bahwa setiap kali Al Qur’an berbicara tentang riba, istilah zakat atau pandanannya mengiringi sebelumnya. Ini member kesan umum bahwa yang dilarang mempraktekkan riba adalah orang berharta. Sebab, mereka yang diperintahkan untuk mengeluarkan zakat dan pandanannya.
Dengan praktek riba maka fungsi sosial harta kekayaan menjadi tidak ada, sehingga kesenjangan antara kaya dan miskin menonjol. Diantara ayat – ayat tentang riba atau bunga bank pada surat al Baqarah terutama ayat 278 adalah yang paling lengkap sebab turunnya. Dalam kelompok ayat ini al Qur’an berbicara tentang riba dengan tahapan sebagai berikut[9]:
1.      Ia memulai pembicaraan dengan melukiskan pemakan riba sebagai orang kesetanan yang tidak dapat membedakan antara yang baik dan buruk, sehingga ia menyamakan jual beli dengan riba. Al Qur’an menegaskan bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram. Karena itu diingatkan bahwa orang yang menerima nasihat al Qur’an akan beruntung dan orang yang ingkar diancam neraka.
2.      Al Qur’an menegaskan bahwa riba atau bunga bank itu melumpuhkan sendi – sendi ekonomi, sedangkan shadaqah menyuburkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu riba dimusnahkan sedangkan shadaqah dikembangkan.
3.      Al Qur’an memuji orang yang beriman, beramal shaleh, menegakkan shalat dan membayar zakat.
4.      Penegasan ulang larangan riba karena pelarangan riba pernah dinyatakan dalam surah Ali imran : 130 dan sekaligus mengancam pemakan riba. Serta memuji kreditor yang suka memaafkan debitor karena peminjam mengalami kesulitan ekonomi.
       Dalam hadist Nabi, ada tuntutan agar peminjam memberi tambahan atas besarnya peminjaman


[1] Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘azim, Jilid III, (Qahirah : Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,1952)
[2] Kalimat  مُضَاعَفَةً  adalah penambahan pada pokok harta
[3] Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.

[4] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[5] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[6] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
[7] Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[8] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya
[9] Riba dan Masalah Perbankan, hal 66

Antara Bunga Bank dan Riba, Perbedaan Bunga bank dan Riba


A. Pengertian Bunga Bank
Bunga bank adalah suatu imbalan dari sebuah usaha yang dilakukan oleh bank.  Imbalan tersebut dalam prakteknya terkesan mengekploitasi nasabah, khususnya dalam sistem kredit karena setiap pinjaman kredit pasti disertai dengan persentase bunga. Para ulama yang memakai pendekatan tektual, memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara deduktif, berdasarkan larangan bunga terhadap larangan riba[1] yang diambil dari teks (nash), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya.
Menurut Wahbah Zuhayil bahwa bunga bank adalah riba nasi’ah[2] karena merupakan kelebihan atau tambahan yang dipungut dengan tidak disertai imbalan, melainkan semata-mata karena penundaan tenggang waktu pembayaran. Dengan demikian akhirnya  mereka menyimpulkan bahwa  antara riba dengan bunga bank memiliki konteks dan esensi yang  berbeda.  Riba dianggap kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan untuk keperluan konsumtif, sedangkan bank adalah kelebihan atas pinjaman yang ditujukan dalam rangka, kebutuhan produktif. 
Pada sisi lain, transaksi tersebut merupakan kerja sama timbal balik antara bank dengan masyarakat, yang telah membuahkan suatu kekuatan untuk menunjang kegiatan serta perkembangan ekonomi. Dari sisi ini, masyarakat yang menyediakan dana dengan imbalan bunga, menyimpan harta/dananya di bank, dan oleh pihak bank disalurkan kepada pihak lain, baik perseorangan maupun badan usaha, dengan memungut jasa pemakaian dana yang juga disebut bunga. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakaian jasa disini merupakan ongkos dan administrasi. Terdapat dua alasan, mengapa bank perlu membayar bunga kepada penyimpan dana :
1. Dengan menyimpan uangnya di bank, penabung telah mengorbankan kesempatan atas keuntungan yang mungkin diperoleh dari pemakaian dana tersebut
2. Dengan menyimpan uangnya di bank, penabung telah mengorbankan kesempatan pemakaian dana untuk keperluan konsumsi. Salah satu prinsip ekonomi modern adalah “ nilai uang sekarang lebih berharga daripada nilainya di masa yang akan dating”. Dalam hal tabungan berjangka, penabung mengorbankan sebagian likuiditasnya, seperti berjaga-jaga menghadapai kepentingan tidak terduga.

B.   Antara bunga bank dan riba
       Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dengan pihak yang berkekurangan dana. Dengan begitu bank berperan melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran. Banyak sekali berkembang bank – bank konvensional dan bunga bank adalah salah satu aspek yang memeperankan peran sangat penting dalam kegiatan usahanya. Bunga bank tersebut berkaitan langsung dengan produk jasa bank seperti, deposito, giro, tabungan, dan lainnya.
       Bunga disini dipandang sebagai sewa atau harga dari uang. Misalnya, A meminjam dana sebesar Rp. 10.000.- dari Bank XY. Pada akhir tahun, Si A harus mengembalikan sebesar Rp. 10.100.-. selisih antara uang pokok dan jumlah yang harus dikembalikan, yaitu Rp. 100.- adalah bunga. Bunga tersebut termasuk riba nasiah. Dari rumusan tersebut konsep bunga dan riba adalah sama, karena dalam kedua konsep tersebut ada unsure kesamaan yaitu penambahan pembayaran atas hutang.
       Beberapa pandangan tokoh Islam kontemporer di atas cukup untuk menggambarkan dua paradigma hukum Islam mengenai bunga bank :
       Pertama, Paradigma tekstual yang memahami bunga bank secara induktif. Paradigma ini berpegang pada konsep setiap hutang-piutang yang disertai tambahan (bunga) adalah riba. Dilihat melalui pendekatan yang berpijak pada teori al- qiyas[3] yang bersandar pada ‘illat jali  (‘illat yang jelas).. Ciri pokok kasus yang dicari dalam metode ini disebut ‘illat. Dapat diambil kesimpulan bahwa antara riba dan bunga bank keduanya disatukan oleh illat yang jelas sama berupa“tambahan” atau bunga, sehingga memberikan sebuah keputusan hukum bahwa bunga bank adalah sama dengan riba yang diharamkan
Kedua, Paradigma kontekstual yang memahami bunga bank secara deduktif. Sesungguhnya paradigma deduktif ini berpijak pada teori al-istihsan. Menurut bahasa istihsan berarti “menilai baik”. Yang dimaksud adalah, menilai baik atas sesuatu yang tidak dibicarakan secara eksplisit dalam nash. Hal ini dilakukan karena adanya pertimbangan bahwa bila sesuatu “diputuskan” melalui qiyas atau dalil tertentu, hasilnya akan bertentangan dengan prinsip umum penetapan suatu peraturan. Istihsan juga diartikan sebagai “ berpaling dari satu qiyas ke qiyas lain “, dengan tujuan memperoleh “ketetapan” yang lebih sesuai dengan maksud Syari’. Menurut Imam Malik, sebagaimana dikutip al-Syatibi, istihsan adalah mengamalkan salah satu di antara dua dalil yang lebih kuat ; atau mengambil maslahat hal yang bersifat khusus dengan meninggalkan dalil yang bersifat umum. Nampaknya, istihsan dapat disebut juga sebagai “pintu darurat” yang akan dibuka ketika suatu masalah tidak terjawab dengan qiyas atau dalil lain[4].


[1] Riba ialah tambah, tumbuh dan subur. Riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang diisyarakat dalam al Qur’an. (Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2009) hal. 8). Riba dibagi menjadi 2 yaitu :
(a)     Riba fadl yaitu menukar sesuatu barang dengan barang yang sejenis dengan dilebihkan ketika pengembaliaannya.
(b)     Riba nasiah yaitu kelebihan pembayaran karena diakhirkannya pembayaran.
[2] Riba nasiah adalah jual beli sesuatu yang di dalamnya di mungkinkan terjadinya kelebihan pembayaran barang yang dipertukarkan, diperjualbelikan atau dihutangkan karena diakhirkan waktu pembayarannya baik yang sejenis maupun tidak. (Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah. (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2009) hal. 279)
[3] Metode al-qiyas (analogi) digunakan untuk mengidentifikasi dan mencari kesamaan ciri pokok  kasus yang mansus dengan yang gairu mansus
[4] Pencetus konsep istihsan adalah Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’I merasa yakin bahwa qiyas  dapat menyelesaikan semua persoalan yang tidak disebut secara eksplisit oleh nash. Oleh karena itu beliau tidak menggunakan istihsan, bahkan mengatakan barangsiapa beristihsan berarti menciptakan syari’at baru di luar al-Qur’an dan as-Sunnah.