2.2 Baqr As Sadr
Asy-syahid Muhammad Baqir As-Sadr dilahirkan di
Kadhimiyeh, Baghdad pada 1935. Sabagai keturunan dari sebuah keluarga sarjana
dan intelektual Islam Syi’a yang termasyur, wajar saja Sadr mengikuti langkah
kaki mereka. Ia memilih untuk menuntut pengajaran Islam Tradisional. Di hauzah
atau sekolah Tradisional di Iraq, dan disitu ia belajar Fiqh, ushul dan
Teologi. Ia amat menonjol dalam prestasi intelektualnya, sehingga pada umur
20 tahun telah memperoleh derajat mujtahid mutlaq, dan
selanjutnyameningkat lagi ke tingkat otoritas tertinggi marja (otoritas
pembeda). Otoritas intelektual dan spiritual di dalam tradisi Islam tersebut
juga terwujud didalam tulisan-tulisan Sadr, dan didalam karyanya Iqtishaduna
(Ekonomi Kita) ia menunjukkan metodologi ‘pernyataan tegas yang independen,
tapi memenuhi syarat’.
Seperti Taleghani, ia adalah seorang ’alim yang aktif.
Secara terus menerus ia menyarakan pandangan - pandangannya mengenai kondisi
kaum Muslimin dan membicarakan keinginan untuk merdeka, tidak saja kekangan
politik, namun juga dari ‘pemikira dan gagasan’ kondisi di Iraq mendorongnya
untuk mendirikan Hizb ad-Da’wah Al-Islamiyah (Partai Dakwah Islam), yakni
sebuah partai yang menyatukan para pimpinan agama dan kaum muda, yang terutama
sekali dimaksudkan untuk melawan gelombang sosialisme Ba’ats yang mengambil
kekuasaaan politik pada 1958. Karyanya falsafatuna (filsafat kita) dan
kemudian Iqtishaduna, memberikan suatu kritik komparatif terhadap
kapitalisme maupun sosialisme, dan pada saat yang sama menggambarkan pandangan
–dunia Islam bersama dengan garis-garis besar system Ekonomi.
Diseluruh tulisannya, ia berusaha untuk membangkitkan kembali
tradisi Islam bagi kaum Muslimin modern, terutama kaum mudanya. Secara luas ia
mengutip keterangan Al-Qur’an, Hadits, dan para imam Syi’ah, yang seluruh itu
mencerminkan latar belakang hukum tradisionalnya. Namun demikian, sering kali
pula ia mengutip penafsiran atau membuat penafsiran sendiri mengenai masalah
dan situasi kontemporer. Usaha yang dituangkannya didalam Iqtishaduna
sedikit banyak menyuarakan suatu filsafat ekonomi kepada koleksi hukum legal,
dan hal itu mencerminkan kemampuannya memberi kehidupan kepada hukum-hukum yang
tampak mubazir.
Ditulis pada 1960- an, Iqtishaduna haruslah dipandang
sebagai sebuah analisis komprehensif dan perbandingan system ekonomi dari
perspektif Islam, dan itu masih dipakai sebagai referensi para ahli ditahun
90-an. Ditahun 1982, setelah bekerja bertahun-tahun, pemerintah Iran
menerjemakan karyanya itu kedalam bahasa Inggris. Dekade terakhir dari kehidupannya merupakan suatu
periode penganiayaan oleh rezim Ba’ats di Iraq. Karena takut akan pengaruhnya
pada masa, dan sudah memenjarakan dan menyiksannya, rezim Ba’ats menjatuhkan
hukuman mati kepadanya pada 8 april 1980.
2.2.1
Karakteristik Sistem Ekonomi Islam
1.
Hubungan
Kepemilikan
Seperti yang telah disebutkan
di depan, Sadr menyebut bahwa sistem ekonomi Islam memiliki bermacam-macam
bentuk kepemilikan. Ia menerangkan bentuk-bentuk kepemilikan tersebut menurut
beberapa sub judul berikut ini.
a.
Kepemilkan swasta;
b.
Kepemilkan bersama
(i)
kepemilkan oleh publik,
(ii) kepemilkan
oleh negara.
Baginya, kepemilkan
swata atau pribadi hanyalah terbatas pada hal memakai, prioritas untuk
menggunakan dan hak untuk melarang orang lain dalam menggunakan sesuatu yang
menjadi miliknya saja. Tidak ada hal seperti ‘kepemilkan’ aktual bagi seseorang
individu. Dalam hubungan ini, pandangan Sdr sama dengan pandangan taleghani,
yang membuat perbedaan antara memiliki (yang hanya ada pada Allah Swt. Saja)
dan mempunyai (yang dapat diberikan terhadap individu).
Perbedaan antara
kepemilkan oleh publik dan negara terutama sekali terletak ada cara menggunaan
barang yang bersangkutan. Jika ‘kepemilkan oleh publik’ harus digunakan untuk
kepentingan seluruh anggota masyarakat (rumah sakit, sekolah, dan sebagainya),
maka kepemilikan oleh negara dapat digunakan tidak hanya bagi kebaikan semua
orang, melainkan juga untuk suatu bagian tertentu dari masyarakat, jika negara
memang menetapkan demikan.
2.
Pengambilan
Keputsan, Alokasi Sumber dan Kesejahteraan Publik: Peranan Negara
Fakta bahwa kepemilikan
oleh negara mendominasi sistem ekonomi Islamnya Sadr menunjukkan betapa
pentingnya peranan negara. Negara yang diwakili oleh wali-e amr memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk
menegakkan keadilan. Hal itu dapat dicapai melalui beberapa fungsi :
a.
Distribusi sumber daya
alam kepada para individu didasarkan pada kemauan dan kapasitas kerja mereka.
b.
Implementasi aturan agam
dan hukum terhadap penggunaan sumber.
c.
Menjamin keseimbangan
sosial.
Fungsi negara yang
ketiga itu amat penting karena adanya konflik yang mungkin muncul karena adanya
perbedaan kapasitas yang bersifat alamiah antar individu (intelektual maupun
fisik). Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka pendapatan akan berbeda
pula dan hal ini dapat mengarah pada terbentukanya ‘kelas ekonomi’. Negara
lebih diharapkan untuk dapat memberikan jaminan terciptanya standard of living yang seimbang bagi
semua orang daripada distribusi pendapatan yang merata. Dalam hubungan ini,
negara diamanahi untuk mewujudkan jaminan sosial bagi semua orang. Menurut
Sadr, hal ini dapat dicapai dengan mempromosikan persaudaraan (melalui
pendidikan) di antara anggota masyarakat dan dengan kebijakan pengeluaran
publik, misalnya melalui investasi di sektor publik tertentu yang diarahkan
pada pemberian bantuan kepada kaum miskin, serta melalui regulasi kegiatan
ekonomi untuk menjamin tegaknya kejujuran dan praktik – praktik yang bebas dari
eksploitasi.
Pentingnya menjamin
keseimbang sosial dan keamanan bagi semua orang didasarkan pada Negara, karena telah mendapat amanah berupa
kepemilikan , menjadi terikat pada tugas penjamin itu dengan cara menolong
mereka yang tidak dapat menolong diri mereka sendiri.
3.
Pelarangan
Riba dan Implementasi Zakat
Cukup aneh bahwa
ternyata Sadr tidak membahas riba seperti yang barangkali orang harapkan. Lagi
pula, penafsirannya terhadap riba hanyalah terbatas pada pembahasan mengenai
bunga dan modal uang. Naqvi dan Taleghani menyajikan pembahasan yang lebih
kemprehensif dalam satu persoalan ini.
Adapun mengenai imolementasi
zakat, Sadr memandangnya sebgai kewajiban negara. Bersama dengan zakat, ia juga
membahas khums (yang sebagaimana
zakat juga merupakan fixed taxes), Fay’ dan Anfal, demikian juga pajak - pajak lain yang dapat dipungut dan
dibelanjakan untuk maksud-maksud pengentasan kemiskinan dan untuk menciptakan
‘keseimbangan sosial’ yang telah disebutkan di depan. Namun, satu hal menarik
yang dilakukan Sadr adalah perhatiannya yang eksklusif terhadap kemiskinan
relatif. Sekalipun kita setuju bahwa kemiskinan relatif adalah sebuah konsep
penting, khususnya didalam target’keseimbangan sosial’ sadr, argumen untuk
menentukan tingkat kemiskinan absolut atau seperti yang dinyatakan, tingkat
kemiskinan’tetap’(fixed), tidak akan
mengarah ke suatu keseimbangan livingstandards
antara si kaya dan si miskin-adalah lemah.
2.2.2
Distribusi
Distribusi (bersama dengan hak
kepemilikan) menempati sebagian besar pemikiran ekonomi Sadr. Hampir sepertiga
dari bukunya Iqtisshaduna dipakai
untuk membahas distribusi dan hak kepemilikan. Sadr membagi pembahasannya
menjadi dua bagian, yakni distribusi sebelum produksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (post-production distribution). Sebagai
seorang ‘ahli hukum tradisional’ ,penjelasan Sadr yang terinci mengenai hal itu
didasarkan pada ajaran atau hukum yang berhubungan dengan kepemilikan dan distributive rights.
1.
Pre-Production Distribution
Sub bab ini terutama sekali
membahas distribusi tanah dan sumber daya alam lain. Yang diistilahkan kekayaan
primer (primary wealth), modal primer
[primari capital], menurut Teleghani.
Seperti para ahli yang lain, Sadr mencela kapitalisme karena mengabaikan isu
ini, yang menurutnya menentukan produksi (sampai batas tertentu) dan dengan
sendirinya juga menentukan post-production
distribution. Dalam membahas ‘status kepemilikan’ sumber daya alam, Sadr
membagi sumber daya alam menjadi empat katagori, yakni tanah, bahan mentah
(sumber daya alam) di dalam tanah, air dan sumber daya lain (produk laut,
sungai, buah-buahan).
Ada
beberapa hal yang perlu disebutkan:
a.
Kepemilikan oleh negara
adalah jenis kepimilikan yang paling sering, meskipun hak pakali dapat
diperoleh dari negara.
b.
Kepemilikan swasta hanta
diizinkan di dalam sejumlah kecil keadaan:
1)
Tanah yang digarap di
wilayahnya penduduk yang menerima islam secara sukarela (melalui dakwah).
2)
Jika ditetapkan di dalam
perjanjian.
3)
Mineral tersembunyi yang
memerlukan usaha untuk mendapatkannya, dan hanya sejauh minerl yang digali saja
serta di seluas area pertambangan saja.
4)
Sumber daya lain, yakni
melalui kerja atau tenaga kerja orang seperti penangkapan burung, penebangan
kayu, dan sebagainya.
c.
Kepemilikan swasta
hanyalah terbatas pada hak pakai, prioritas pengguna dan hak untuk mencegah
orang lain memakai barang yang sedang dimiliki oleh negara lain.
d.
Untuk mineral dan air,
individu diperkenankan untuk’menggunakan apa yang mereka perlukan’.
2.
Post-Production Distribution
Sadr mengawali pembicaraan
dengan menyatakan bahwa islam tidak mengganggap semua faktor produksi (aaupun
pemilikanya) itu sama sederajat, yakni ‘orang yang melakukan produksi (pekerja)
adalah ‘pemilik’ rill dari barang yang dihasilkan’/ selanjutnya pekerja itu
bertanggung jawab untuk membayar uang kempensasi bagi faktor produksi lain yang
digunakan di dalam proses produksi. Sadr merasa bahwa pandangan ini telah
meletakkan manusia sebagai majikan, bukan budak produksi \. Melanjutkan argumen
ini, Sadr menyatakan bahwa seorang kapitalis tidak diperbolehkan untuk’memiliki’ produk pekerjaan yang ia
upah. Dengan kata lain.’tenaga kerja ekonomi’ langsung merupakan syarat perlu
bagi kepemilikan produk.
Pandangan mengenai kekayaan
primer muncul ketika ia memberikan ‘kepemilikan’kepada pihak pertama yang
menggarap sumber daya alam – misalnya orang yang menghidupkan tanah mati –untuk
memilikinya dalam pengertian memiliki prioritas dan hak untuk mencegah orang
lain menggunakannya . selanjutnya, jika ia ingin mengupah orang untuk menggarap
tanah itu, ia masih tetap ‘memiliki’ tanah tersebut karena’tenaga kerja
awal’yang ia kerjakan ketika menghidupkan tanah mati tersebut. Di lain
pihak,pekerja memiliki produk tanah itu karena memang dialah yang mengerjakan,
dan membayar kompensasi kepada pemilik tanah joka kepemilikan atas tanah itu
masih ada. Kompensasi tersebut dapat terbetuk sewa tetap atau bagi hasil (jika
‘pemilik’ tanah menyediakan benih/pupuk atau peralatan).
Namun Sadr membedakan antara
mengerjaka sumber daya alam milik orang lain (seperti conoh diatas) dan bekerja
pada ‘produk pekerja’ milik orang lain, misalnya pekerja yang memintal benang
dari wool milik seorang penggembala dalam hal ini,produk (benang) milik
penggembala dan pekerja itulah yang akan menerima kompensasi dengan pandangan
mengenai pekerja prioritas itu, Sadr kemudian menulis daftar imbalan bagi
masing-masing faktor produksi.
a.
Tenaga kerja-upah atau
bagi laba
b.
Tanah –sewa (atau bagi
hasil tanaman)
c.
Modal uang-bagi laba
d.
Alat/modal fisik
–upah/kompensasi
Ketenaga kerja diberi pilihan antara imbalan tetap (upah)
dan imbalan variabel (bagian laba). Sewa tanah hanya diperbolehkan jika
‘pemilik’ tanah telah menanamkan tenaganya sejak awal, misalnya tenaga
menghidupkan tanah mati. Sadr juga mempertahankan pendangan umum yang
memperbolehkan transaksi seperti mudharabah,
muzara’ah, musaqat, al-jualah. Namun yang terlarang adalah ‘membeli murah
dan menjual mahal’ tanpa adanya kontrobusi atau kerja bagi suatu produk, atau
mengambil sewa tanah dan kemudian menyewakannya kepada orang lain lebih murah.