2.1 Sayyed Mahmud Taleghani
2.1.1 Sejarah Sayyed Mahmud Taleghani
Sayyid Mahmud Taleghani
dilahirkan di desa Golyard, distrik Taligan, Iran Utara. Dia merupakan salah
satu Teolog reformis Muslim dan merupakan salah satu senior Syi’ah Ulama dari
Iran. Taleghani adalah seorang pemimpin kontemporer dari revolusi Iran, dan pemimpin
syi’ah Iran dalam gerakan perlawanan terhadap pro barat. Ia telah digambarkan
sebagai salah satu wakil dari kumpulan ulama syi’ah yang memadukan antara
syi’ah dengan marxis, dengan harapan agar dapat bersaing dengan gerakan-gerakan
pendukung kaum muda selama tahun 1960-an sampai pada tahun 1970-an. Beliau
memiliki pengaruh besar di Iran dengan memberikan pengajaran dan penafsiran
ayat-ayat Al Qur’an. Sehingga sebagian besar Revolusioner Muslim adalah
Murid-murid nya.
Dengan dasar yang beliau
peroleh dari Masjid Hidayah, ia berupaya memberikan pemahaman yag benar tentang
Islam melalui penyegaran penafsiran Al Qur’an, sementara pada waktu yang sama,
ia membicarakan isu – isu sosial, politik, dan ekonomi dari perspektif Islam.
Secara umum, tulisan – tulisannya mengambarkan pemikiran syiah mainstream,
tetapi berbeda dalam hal penerapannya. Dengan mengutip Al Qur’an , hadis ,
ucapan imam syiah dan para mujtahidun terkemuka, pemikiran Taleghani selalu
merefleksikan keinginan dan kepercayaannya pada keadilan ekonomi dan kebebasan
sosio – ekonomi.
Taleghani mengemukan
Islam sebagai alternatif, khususnya mengenai kepemilikan dan sistem ekonomi.
Taleghani meninggal dunia pada bulan September 1979. Ia senantiasa dikenang
sebagai seorang ahli dan pemimpin yang luar biasa, banyak terjadi emosi dan
konflik sebelum dan selama pemakaman, dan banyak terjadi perubahan untuk
moderasi dan pemikiran progresif dalam revolusi.
2.1.2 Pemikiran Ekonomi
Taleghani
Manusia
mengemban peranan sentral di dalam pemikiran ekonomi. Karakter manusia, menurut
Taleghani memiliki dua aspek yakni prinsip internal mencakup keinginannya akan
harta, dan dorongan eksternal (yang berubah-ubah) disebabkan oleh kondisi
lingkungan dan ekonomi. Oleh karena keinginan akan kekayaan merupakan insting
alamiah. Maka taleghani menyatakan bahwa ekonomi Islam berhubungan dengan
melihat dan menyatakan batas-batas keinginan. Ekonomi Islam meliputi pelatihan
etika, penilaian intelektual, serta mencakup ajaran-ajaran agama dan social.
Dengan demikian, etika dan
pendidikan serta pelatihan etika yang intensif menjadi amat penting agar dapat
diwujudkan keseimbangan antara hasrat berkorban dan hawa nafsu. sehinga manusia
dapat mencapai perbaikan materiil maupun spiritual. Didalam kerangka spiritual
ini mengenai keberadaan dan tujuan manusia ini, Taleghani menekankan pentingnya
peranan intelektualitas di semua aspek upaya manusia, termsuk dalam bidang
ekonomi.
2.1.2.1
Karakteristik Sistem Ekonomi Islam
Sesudah menjelaskan
pendekatan dan asumsi-asumsi dasarnya, selanjutnya Taleghani membahas
karakteristik sistem ekonomi Islam menurut pemikirannya. Ada tiga isu besar
yang dapat kita lihat.
1.
Hak
Memiliki Harta
Ini adalah persoalan
yang paling pokok yang dibahas oleh Taleghani. Manusia, sebagai khalifah Allah
SWT. Dimuka bumi, diamanahi oleh-Nya untuk mengelola bumi dengan hak untuk
memiliki yang terbatas dn tersebut, bersyarat. Pembatasan tersebut, menurut
Taleghani (1983: 133), diatur menurut tiga tingkatan yaitu:
(a) melalui keimanan dan
hati nurani seseorang ( tingkat individual),
(b) melalui aturan hukum
dan
(c) melalui campur
tangan pemerintah.
Prinsip dasar mengenai
hak milik yang terbatas dan bersyarat mendorong Taleghani merumuskan aturan
dasar mengenai kepemilikan.
a.
Tanah dan sumber daya
alam tidak boleh dimiliki oleh siapapun juga (individu maupun masyarakat).
Hanya wali kaum Muslimin (imam dan wali-e amr), yang telah memiliki
kotmimen kepada kesejahteraan publik, yang memiliki hak untuk menyelia bumi dan
sumber-sumbernya. Namun tampaknya ia berlawanan dengan pendapatnya sendiri
ketika ia menyatakan (1983: 137) bahwa “sumber daya alam dalam bentuk aslinya
adalah milik publik dan tidak memiliki
pemilik khusus baik individu maupun Negara”. Di tempat lain (1983: 133), ia
sampaikan pendapatnya yang ketiga dengan menyatakan bahwa “tanah dan sumber
daya alam lainnya adalah milik public dan berada di bawah penyeliaan, atau
dimiliki oleh, Imam ataupun pemerintah Islam”. Pandangan yang terlihat
racun tersebut diperparah oleh penggunaan istilah-istilah imam, wali-e amr,
hakim (1983: 131) dan wali/pemerintah Islam.
b.
Individu dapat memiliki
hak atas tanah dan sumber daya lain secara terbatas atau bersyarat, melalui
kerja.
c.
Individu maupun kelompok
khusus dalam masyarakat tidak boleh memiliki sumber daya alam (anfal[1]
dan fay[2]’).
d.
Uang dan mata uang, yang
merupakan alat tukar dan standar nilai, tidak boleh beredar hanya disebagaian
kecil orang (kaya) saja.
e.
Aset likuid dan kekayaan
dikenakan zakat dan khums.
f.
Wali kaum Muslimin (Imam,
para pemegang kekuasaan atau wakilnya)
g.
Laba dan kekayaan yang
diperoleh dengan cara-cara illegal (bunga, judi, lotere) demikian pula harta
yang diperoleh dari memperdagangkan barang-barang yang terlarang (haram) atau
yang berbahaya, tidak dapat dimiliki.
h.
Anak-anak serta orang
gila tidak punya hak memiliki kekayaan atas namanya sendiri.
i.
Islam melarang
pengeluaran mubadzir dan yang merugikan.
Tanah yang tidak ada pemiliknya, misalnya tanah taklukkan,
haruslah di distribusikan antara kaum muslimi dan penduduk setempat dibahwa
pengawasan imam. Ditempat lain (1983: 94) ia golongkan tanah taklukan itu
sebagai fay’. Tak dapat di elakan kalau kita berfikir bahwa gagasan Taleghani mengenai tanah ternyata tidak
begitu jelas. Jadi, kesimpulan mengenai pandangan Taleghani terhadap tanah dan
kepemilikan adalah sebagai berikut:
a.
Semua tanah dan sumber
daya alam adalah kekayaan public yang diamanakan oleh Allah Swt. Kepada manusia
secara keseluruhan Negara dan individu hanya dapat mempunyai dan menggunakan
tanah, tidak memilikinya (perbedaan antara mempunyai dan memiliki – possession
dan ownersip – tidak diterangkan dengan jelas.
b.
Negara adalah wakil
kekalifahan manusia dan diamanahi untuk menyelia penggunaan maupun distribusi
hak ‘kepemilikan’ yang terbatas dan bersyarat itu.
c.
Negara dapat memberikan
hak ‘kepemilikan’ yang terbatas dan bersyarat itu kepada individu dengan
memperhatikan kerja dan pengarapannya ( hal penting yang tidak diterangkan
adalah, jika terdapat persaingan antara individu atas sebidang tanah, siapa
yang harus menetapkan dan bagaimana ditetapkan mengenai siapa yang menang).
d.
Dengan menerima hak
tersebut, individu memiliki prioritas dan hak untuk melarang pihak lain untuk
menggunakan tanah maupun sumber daya alam ‘ miliknya’ itu.
e.
Individu berhak memiliki
hasil kerjanya, tetapi Negara dapat membebaninya dengan pajak (zakat, khums,
kharaj).
f.
Semua hak
‘kepemilikannya’ itu berhenti jika kerja juga berhenti, atau jika kesejahteraan
public terancam ( Negara yang memutuskan hal ini).
2.
Pengambilan
Keputusan dan Alokasi Sumber Peranan Negara
Negara diamanahi untuk menjamin bahwa keadilan (qisth)
berlangsung disemua bidang kehidupan. Hal ini dilakukan Negara dengan memikul
tanggung jawab sebagai wali atau penyelia kesejahteran public. Menurut
Taleghani (1983: 133) Negara memiliki kekuasaan untuk membatasi atau mengurangi
hak-hak individu dalam menggunakan dan memiliki sesuatu demi menegakkan
keadilan dan kesamaan demi kepentingan bersama. Tugas negaralah untuk mengawasi
kepentingan para petani (kaum miskin, berkekurangan, dan tertindas) dengan
melaksanakan terapi ‘sederhana’ (1983: 138-9).
a.
Distribusikan tanah yang
tak digunakan dan tak digarap, secara geratis, kepad mereka yang mau
menggarapnya. Negara harus menyediakan irigrasi, benih, dan pupuk agar
memungkinkan para petani ‘memiliki’ tanah itu serta menerima pendapatan dari
hasil kerja mereka.
b.
Batasi kepemilikan tanah
dan beri petani hak untuk memiliki hasil panen mereka bukan sekedar menjadi
pekerja yang baik bagi pemilik tanah.
c.
Jangan lagi member
dukungan kepada para tuan tanah feudal yang memeras orang-orang miskin
d.
Pungut pajak dalam
bentuk/zakat dan khraj dari produk-produk tertentu dan dari para
penggarap, dan belanjakan pajak itu untuk membantu para petani dalam rangka
menghidupkan tanah berikutnya.
Sebagai tambahan, Negara juga diamanahi untuk menjamin bahwa
kesejahteraan public dan “kemajuan agama, itelektualitas dan ilmu pengetahuan
tidak terancam oleh produksi maipun konsumsi barang-barang yang berbahaya (harmful)
“(1983: 143). Selain pernyataan yang yang sifatnya umum ini, Taleghani tidak
menyatakan apapun mengenahi produksi barang-barang modal, demikian juga di
dalam industry secara keseluruhan. Namun, dengan melihat pandangannya yang
lain, kita dapat menganggap bahwa ia ingin melihat Negara memainkan peranan
yang besar disemua sektor dalam perekonomian.
3.
Pelarangan
Riba dan Implementasi Zakat
Selain kepemilikan harta (dan kebebasan), persoalan uang dan
peredarannya juga dipandang oleh Taleghani sebagai salah satu masalah sentral
dalam ekonomi (1983: 102). Selain pelarangan penimbunan (hoarding) uang,
dibahasnya pula masalah riba. Didalam ilmu ekonomi, sebagaiman naqvi, Taleghani
melihat ribah sebagai sesuatu “pertambahan harta secara otomatis tanpa adanya
produktivitas tenaga kerja (apapun definisinya)” (1983: 107). Definisi ini
tidak hanya mencakup bunga uang (seperti yang diperaktikan oleh orang dimasa
hidup Nabi Saw.) melainkan juga transaksi yang dibayar dimuka dan transaksi
kredit. Secara umum, dapat kita katakan bahwa riba adalah perolehan haram
sebagai sesuatu larangan yang dinyatakan secara eksplisit oleh Al-Qur’an, maka
riba haruslah di implementasikan didalam sistem ekonomi islam tidak seperti
Mannan, Siddiqi, dan Kahf yang membatasi analisis ,mereka pada bunga perbangkan
saja, maka sebagaimana naqvi, Taleghani cenderung menetapkan lingkup yang lebih
luas untuk riba, yakni setiap perolehan yang melibatkan eksploitasi. Meskipun
demikian, Taleghani tidak membahas pengganti bunga (didalam intermediasi
vinansial).
Zakat, bersama-sama dengan khums (seperlima), kharaj
(pajak tanah) dan khaffarat (pajak berupa denda), dipandang oleh Taleghani
tidak hanya sebagai kewajiban agama, melainkan juga sebagai alat untuk
memelihara kerja sama, distribusi yang adil dan untuk memenuhi permintaan
public (1983: 117). Zakat didefinisikan sebagai bagian tetap ‘produk tanah’,
binatang piaraan, uang tunai dan mata uang asing serta logam mulia.
2.1.2.2
Distribusi dan Produksi
Didasarkan pada dan dalam hubungannya dengan, pandangannya
mengenai kepemilikan harta, Taleghani selanjutnya membicarakan distribusi. Ia
tidak membedakan proses distribusi produk (distribusi pasca-produksi) dan
produksi dan distribusi sumber daya alam. Bagi Taleghsni (1982: 134), produksi
“tidak terbatas dalam sumber daya alam dan penyiapan produk akhir, (melainkan
juga) meliputi semua penggunaan berikutnya serta distribusinya kepada mereka
yang membutuhkan”.
Mengingat hal itu, pembatasan ‘hak kepemilikan’ hanya pada
sumber daya alam saja ternyata memainkan peranan yang amat penting didalam
mencapai keadialan ekonomi. Jika kita mulai dengan benar, menurut Taleghani,
“masalah ekonomi yang muncul dari hubungan ekonomi akan berkurang banyak”
(1983: 136). Ia mencelah system kapitalisme yang tidak berupaya member
penyelesaian yang memuaskan pada masalah distribusi awal. Oleh karena itu melihat
semua tanah dan sumber daya alam sebagi pemilik umum, maka menjadi tugas
pemerintah untuk mendistribusikannya kepada para individu menurut kemauan
mereka bekerja dan menurut kebutuhan mereka. Dengan itu, Taleghani menyatakan
bahwa kerja dan kebutuhan merupakan dasar penetapan kepemilikan harta, dan
demikian pula, keduanya menjadi dasar bagi hak distributive (distributive
rights). Namun demikian, Taleghani dengan cepat menginggatkan kita bahwa hak
turunan itu, baginya merupakan cirri khas system ekonomi islam, bukan merupakan
dasar bagi kepemilikan mutlak. Kepemilikan mutlak hanyalah atas produk hasil
kerja saja (1983:135). Dengan kata lain, orang hanya memiliki ‘buah dari
kerjanya sendiri saja’.
Taleghani mengakui tanah, tenaga kerja, modal, dan entrepreneurship
sebagai factor produksi. Setiap factor produksi berhak mendapat imbalan jika
memang berkontribusi didalam proses produksi ( bagaimana imbalan itu
ditetapkan, tidaklah ia bahas sama sekali). Bahkan ‘makelar’ pun harus pula
diberi imbalan (1983:134). Posisi khusus diberikannya kepada ‘in’tial
agets’, yakni mereka yang pertama kali menggarap sumber daya alam seperti
petani dan menyebut mereka itu sebagai ‘pemilik’ asli (1983:137). Sumber daya
alam yang digarap itu ia sebut modal primer, dan para ‘in’tial agets’
memiliki ‘hak senioritas dan hak untuk menetapkan orang lain ( pekerja dan
pemilik peralatan) sebagai pengikut mereka’. Menurut Taleghani (1983:155), jika
para ‘in’tial agets’ memperoleh laba, maka (para pemilik) peralatan dan
tenaga kerja umpahan hanya memperoleh imbalan tetap bagi kontribusi mereka.
Selain kerja, kebutuhan juga dipandang sebagai dasar resmi
bagi distributive rights. Dalam hal ini, Negara bertanggung jawab untuk
mencukupi kebutuhan kaum miskin baik dengan cara mendistribusikan intial
resources maupun redistribusi melalui zakat ataupun pajak-pajak lainnya.
Ia tidak membahas struktur pasar, sekalipun ia ada menyebut
bahwa kekuatan pasar kapitalisme tidak ada didalam system ekonomi islam
meskipun perusahaan ada, motif mereka bukanlah maksinisasi laba belaka dan
produksi mereka akan mencerminkan kebutuhan masyarakat. Taleghani mengusulkan
adanya pasar yang ‘terpimpin’ dimana negara memainkan peranan penting sebagai
pelindung dan regulator kegiatan ekonomi, yang berpartisipasi secara langsung
(khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar.
[1]
Anfal – yakni tanah yang asalnya dimiliki oleh seluruh kaum Muslimin.
Dengan izin Imam, hak memiliki itu dapat diberikan kepada seseorang
melalui kerja.
[2]
Fay’ – yakni tanah yang dimiliki
oleh Imam dan berada dalam
kekuasaannya. Tanah tersebut digarap baik untuk ‘keperluan pribadi’-nya maupun
untuk kepentingan umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar