2.1 Pengertian Putusan
Arti putusan menurut Soeparmono, adalah pernyataan hakim
sebagai pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang diberi
wewenang untuk itu yang diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk
menyelesaikan suatu perkara[1].
Dalam pengadilan Agama,
Putusan yaitu keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya
suatu sengketa atau perselisihan, dalam arti putusan merupakan produk
pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa. Karena adanya 2 (dua) pihak
yang belwanan dalam perkara (penggugat dan tergugat)[2].
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Putusan hakim
adalah : “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi
wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”[3].
Putusan itu dituntut untuk suatu keadilan dan yang dipentingkan
dan menentukan adalah fakta atau peristiwanya, peraturan hukum adalah
suatu alat. maka dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah
pertimbangan hukumnya. sehingga mempunyai alasan yang objektif dan memiliki
kekuatan hukum. agar putusan tersebut tidak dapat diubah lagi[4].
2.2
Asas Putusan
1. Memuat dasar alasan yang jelas dan
rincian
Alasan hukum yang
menjadi pertimbangan bertitik tolak pada :
a.
pasal – pasal tertentu, perundang –
undangan
b.
hukum kebiasaan
c.
yurisprudensi
d.
dokrin hukum
2. Wajib mengadili seluruh bagian
gugatan
Dalam mengadili suatu perkara hakim
wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, tidak boleh hanya
memeriksa sebagian saja, dan mengabaikan gugatan yang selebihnya[5].
3. Tidak boleh mengabulkan melebihi
tuntutan
Putusan tidak boleh
mengabulkan melebihi apa yang di tuntut[6].
Larangan ini disebut ultra petitum
partium. Hakim yang melakukan dianggap telah melampui wewenang untuk
mengadili. Apabila putusan itu mengandung ultra petitum partium maka, putusan
tersebut dinyatakan cacat meskipun dengan alasan apapun.
4. Diucapkan di muka umum
a. prinsip keterbukaan untuk umum
bersifat imperatif
Melalui prinsip terbuka
untuk umum, dianggap memiliki efek pencegah terjadinya terjadinya proses
peradilan yang berat sebelah atau dikripsiminatif. Dimaksudkan agar hakim lebih
berhati – hati dalam melaksanakan putusan.
b. akibat hukum atas pelanggaran asas
keterbukaan
Ketentuan pasal 20 UU
No. 4 Tahun 2004 menyatakan :
Semua
putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
Berdasarkan pasal 19
ayat 2 jo Pasal pasal 20 UU No. 4 Thun 2004 di atas pelanggaran atas prisip
keterbukaan dimaksud mengakibatkan putusan yang dijtuhkan[7] :
- tidak sah, atau
- tidak memiliki
kekuatan hukum
2.3
Bentuk Putusan
Pengadilan dalam mengambil suatu
putusan diawali dengan uraian mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan
yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal
178 HIR , Pasal 189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004. Menurut ketentuan
undang undang ini, setiap putusan harus memuat hal – hal sebagai berikut[8]:
1) Kepala Putusan
1) Kepala Putusan
Suatu putusan haruslan mempunyai
kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU No. 14 / 1970 kepala putusan ini
memberi kekuatan eksekutorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim
tidak dapat melaksanakan putusan tersebut
2) Identitas pihak yang berperkara
Didalam putusan harus dimuat
identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya, serta nama
kuasanya apabila yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain[9].
3) Pertimbangan atau alasan-alasan
Pertimbangan atau alasan putusan
hakim terdiri atas dua bagian yaitu pertimbangan tentang duduk perkara dan
pertimbangan tentang hukumnya.
Pasal 184 HIR/195 RBG/23 UU No
14/1970 menentukan bahwa setiap putusan
dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas,
alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok
perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada
waktu putusan diucapkan.
Adanya alasan sebagai dasar daripada
putusan menyebabkan putusan mempunyai nilai objektif dan mempunyai wibawa[10].
4) Amar atau diktum putusan
Dalam amar dimuat suatu pernyataan
hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan
yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu. Dalam diktum itu ditetapkan
siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok perselisihan.
5) Mencantumkan Biaya Perkara
5) Mencantumkan Biaya Perkara
Pencantuman biaya perkara dalam
putusan diatur dalam pasal 184 ayat (1) H.I.R dan pasal 187 R.Bg., bahkan dalam
183 ayat (1) H.I.R. dan pasal 194 R.Bg. dinyatakan bahwa banyaknya biaya
perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.
2.4 Mencari dan Menemukan Hukum
1.
Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara
Asas ini diatur pasal 16 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004, pengadilan
dilarang atau tidak boleh menolak untuk :
-
memeriksa dan mengadili perkara yang
diajukan dengan dalih tidak ada hukum yang mengatur atau kurang jelas
-
apabila ada ketidak jelasan hukumnya,
hakim wajib memeriksa dan mengadilinya berpedoman pada pasal 28 ayat 1 UU No. 4
Tahun 2004. Hakim sebagi penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
2.
Prinsip Curia Navit Jus
Prinsip ini dalam mencaridan menemukan hukum, hakim dianggap
mengetahui semua hukum. Dalam ketentuan UU No. 4 Tahun 2004 dikatakan hakim
sebagai organ pengadilan :
-
dianggap memahami hukum
-
harus memberikan pelayanan setiap
pencari keadilan
- apabila hakim dalam memberi pelayanan
menyelesaikan sengketa, tidak menemukan hukum tertulis maka, hakim wajib
menggali hukum tidak tertulis sebagai memutuskan perkara.
-
hakim harus bijaksana dan bertanggung
jawab penuh kepada Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat dan Negara.
3.
Mencari dan menemukan hukum objektif dari sumber hukum yang dibenarkan
Sumber hukum bagi hakim dalam
memutuskan perkara adalah[11]:
- UUD RI 1945
- UUD RI 1945
- ketetapan MPR
- Perundang - undangan dan peraturan - peraturan pelaksanaan
- hukum tidak tertulis
- traktat
- yurisprudensi
- ilmu pengetahuan
- dokrin / ajaran para ahlib
2.5 Otonomi Kebebasan Hakim Menjatuhkan
Putusan:
Pengadilan merupakan tempat terakhir mencari kebenaran dan
keadilan. Sistem penegakan hukum yang resmi di forum badan peradilan yakni pada
pengadilan negeri[12].
Kekuasaan pengadilan menyelesaikan dan memutuskan perkara, merupakan
fungsi konstitusional, sesuai dengan distribusi atau alokasi kekuasaan yang
digarikan pasal 24 undang – undang dasar 1945. Dalam melaksanakan fungsi
otonomi kebebasan hakim mengadili perkara, ada beberapa prinsip yang
perlu diperhatikan.
2.5.1. Pengadilan sebagai katup penekan
Pengadilan berfungsi dan berperan sebagai katup
penekan. Peradilan sebagai peradilan kekuasaan kehakiman adalah penyelenggara
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan atas setiap pelanggaran hukum,
meliputi:
-
tindakan pelanggaran konstitusi
-
pelanggaran ketertiban umum
-
pelanggaran kebiasaan
-
pelanggaran terhadap kepatutan
-
pelanggaran terhadap kepentingan umum.
Pelanggaran apapun bentuknya harus diadili dan dihukum.
Asal putusan yang diambil tidak sewenang - wenang maupun melampui batas
kewenangan atau menyalah gunakan wewenang. Tujuan menjatuhkan hukuman sebagai
katup penekan:
1.
tindakan edukatif kepada pelaku atau anggota masyarakat.
2.
merupakan tindakan korektif kepada pelaku.
3.
merupakan tindakan preventif, terutama kepada masyarakat dan pelaku
4.
merupakan tindakan represif bagi pelaku.
2.5.2.
Pengadilan sebagai pelaksana penegak hukum
Pengadilan sebagai pelaksana penegak hukum, memiliki 2 fungsi
pokok, yakni:
a. Sebagai penjaga kemerdekaan anggota masyarakat
Hakim berfungsi sebagai pembela dan menjamin perlindungan HAM
para pihak yang bersengketa, individu, kelompok, meningkatkan kualitas
perlindungan HAM dalam segi penegakan hukum dan kehidupan.
b. Sebagai wali masyarakat
Hakim dalam peradilan ini berfungsi harus berperan dan
bertindak sebagai wali dan bapak yang berbudi luhur kepada setiap masyarakat
yang mencari keadilan. maka hakim harus tegas melaksanakan proses penyelesaian
sesuai dengan yang dituntut hukum berdasarkan :
-
perlakuan sama di depan hukun
-
perlindungan yang sama oleh hukum.
2.5.3.
Kebebasan tidak bersifat mutlak
Dalam hal ini dibahas dalam pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004
alinea pertama berbunyi :
Kekuasaan kehakiman
mengandung pengertian bebas dari capur tangan pihak ekstra yudisial, kecuali
yang disebut dalam UUD Negara RI Tahun 1945.
Dapat diartikan bahwa kekuasaan kehakiman, bebas dari campur
tangan penguasa eksekutif maupun legislatif dan segala paksaan, direktiva dan
rekomendasi dari siapapun harus ditolak. Namun dalam kebebasan relatif
menerapkan hukum yang diatur dalam pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 menjelaskan
bahwa : kebebasan dalam melaksanakan
wewenang judicial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menengakkan
hukum dan keadilan berdasar pancasila sehingga putusannya mencerminkan rasa
keadilan rakyat indonesia. Ini berarti mengenai penerapan hukum yang
dijadikan pertimbangan putusan, kebebasan hakim tidak mutlak, tetapi bersifat
relatif.
2.5.4.
Secara fundamental tidak demokratis
Hakim dalam menjatuhkan putusan, berkedudukan:
a.
secara fundamental tidak demokratis
b.
saat hakim pengambil keputusan:
- tidak membutuhkan
akses dari siapa pun
- tidak memerlukan
negosiasi dengan pihak mana pun dan
- tidak perlu minta
kompromi dari siapa dan kekuasaan manapun.
Berarti hakim tidak memerlukan pendapat, saran dan
pemggarisan dari pihak mana pun. Putusan dijatuhkan semata - mata berdasarkan
nurani sendiri sesui dengan ketentuan hukum uang berlaku berdasarkan fakta -
fakta yang ditemukan dalam persidangan.
2.5.5.
Hakim memiliki imunitas personal yang total
Hakim tidak hanya diberi kebebasan bertindak tidak
demokratis, tetapi juga memiliki hak imunitas yang total. hak imunitas
merupakan konsekuensi dari kebebasan kekuasaan kehakiman dengan
acuan:
1.
salah atau benar putusan yang dijatuhkan, harus dianggap benar dan adil apabila
keputusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. apabila prinsip ini
tidak ditegakkan maka akan berakibat runtuh sandi negara hukum maupun dasar penegakan
kepastian hukum.
2.
hakim tidak dapat dituntut dan dipersalahkan atas pelaksanaan
melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan:
- bahkan jika hakim
telah melampaui batas wewenang
-
meskipun hakim keliru menerapkan hukum.
- hakim melanggar
hukum beracara sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
Jika prinsip imunitas tidak ditegakkan secara keras, akan
kacau sistem peradilan, karena kebebasan mengugat kekuasaan kehakiman. Jika ada
kekeliruan dalam sebuah putusan maka, para pihak yang berperkara dapat
mengajukan banding atau kasasi, sebagai koreksi atas putusan sebelumnya. hakim
tersebut dapat dikualifikasikan melakukan tindakan tidak profesional. karena
kualifikasi tadi, hakim dapat dikenakan sanksi administatif:
a.
cabut jabatan hakim secara permanen, atau
b.
cabut haknya untuk bersidang dan memeriksa dan mengadili perkara dalam jangka
waktu tertentu.
Maka dari itu eksistensi hak imunitas yang dapat melindungi
hakim dari pertanggung jawaban perdata adalah yang bersih dan tidak dinodai
oleh tindakan suap dan pemerasan.
2.5.6.
Putusan hakim disamakan dengan putusan tuhan
Maka dari itu, putusan yang dijatuhkan harus benar benar
melalui proses peradilan yang jujur dengan pertimbangan yang didasarkan pada
keadilan berdasarkan moral bukan hanya keadilan undang - undang apabila putusan
telah memiliki kekuatan hukum yang tetap:
- Siapapun tidak ada yang berhak dan berkuasa
untuk mengubahnya. yang dapat merubahnya hanya sebatas grasi dan melalui
peninjauan kembali.
- Maka wajib dan mesti dilaksanakan baik secara
sukarela maupun dengan paksa melalui eksekusi tanpa menghiraukan putusan itu
kejam atau tidak menyenangkan.
Namun
jika putusan yang dijatuhkan pengadilan tersebut cacat antara lain:
a.
putusan yang dijatuhkan kacau dan tidak sistematis mengakibatkan tidak efisiennya
putusan tersebut.
b.
sistem peradilan yang tidak efisien mengakibatkan penyelesaian yang sangat lama
dan lambat.
c.
untuk memperoleh putusan, harus membayar biaya mahal.
d.
putusan yang dijatuhkan bersifat abstrak dan tidak konkret.
e.
putusan sering membingungkan, tidak sesuai dengan kesimpulan yang diambik
tidak rasional dan non yuridis.
f.
proses pemeriksaan sering mengandung perlakuan tidak fair, mengabaikan
kepentingan kaum miskin dan mengutamakan kepentingan orang kaya.
2.6
Macam – Macam Putusan
2.6.1 Putusan dari aspek kehadiran para pihak
1. Putusan gugur
Adalah putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun
telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan. Putusan gugur
dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan
gugatan/permohonan. Putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi
syarat :
a. Penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir
dalam sidang hari itu
b. Penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut,
dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu
karena suatu halangan yang sah
c. Tergugat/termohon hadir dalam sidang
d. Tergugat/termohon mohon keputusan
Dalam putusan gugur,
penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara. Tahapan putusan ini dapat
dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi.
2. Putusan Verstek
Adalah putusan yang dijatuhkan
karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara
resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan. Putusan verstek dapat
dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan
gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat
semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan
patut. Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :
a. Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam
sidang hari itu
b. Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan
tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu
karena suatu halangan yang sah
c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai
kewenangan
d. Penggugat hadir dalam sidang
e. Penggugat mohon keputusan
Dalam hal tergugat lebih dari
seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus verstek. Putusan verstek
hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belum menilai secara materiil
kebenaran dalil-dalil tergugat. Apabila gugatan itu beralasan dan tidak melawan
hak maka putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai
dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak
perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian.
Apabila gugatan itu tidak beralasan
dan atau melawan hak maka putusan verstek dapat berupa tidak menerima gugatan
penggugat dengan verstek, maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet).
Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak verzetnya
lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding. Apabila penggugat mengajukan
banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula
mengajukan banding.
Apabila tergugat mengajukan verzet,
maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap
selanjutnya. Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat). Apabila
perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil
pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan
verstek dan menolak gugatan penggugat.
Tetapi bila perlawanan itu tidak
diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan verstek. Terhadap
putusan akhir ini dapat dimintakan banding. Putusan verstek yang tidak
diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi
putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Putusan kontradiktoir
Adalah putusan akhir yang pada saat
dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak.
Dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun
tergugat pernah hadir dalam sidang. Terhadap putusan kontradiktoir dapat
dimintakan banding.
2.6.2 Putusan ditinjau dari saat penjatuhannya
2.6.2.1 Putusan Sela
Adalah putusan yang diadakan sebelum
hakim memutuskan perkara yaitu memungkinkan atau mempermudah kelanjutan
pemeriksaan perkara[13].
Putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap
arah dan jalannya pemeriksaan. Putusan ini dibuat seperti putusan biasa, tetapi
tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan
saja, harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani
oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang.
Putusan sela selalu tunduk pada
putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula
pada putusan akhir. Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat
merubahnya sesuai dengan keyakinannya. Putusan sela tidak dapat dimintakan
banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir.
2.6.2.2 Putusan
Akhir,
Adalah putusan yang mengakhiri
pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun
yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan. Putusan yang dijatuhkan sebelum
tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan
yaitu :
1. putusan gugur
2. putusan verstek yang tidak diajukan
verzet
3. putusan tidak menerima
4. putusan yang menyatakan pengadilan agama
tidak berwenang memeriksa
Semua putusan akhir dapat
dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang menentukan lain.
2.6.3 Putusan jika dilihat dari isinya
Jika dilihat dari isinya terhadap
gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:
1. Putusan tidak menerima
Yaitu putusan yang menyatakan bahwa
hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain
gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan
tidak memenuhi syarat hukum baik secara formil maupun materiil.
Dalam hal terjadi eksepsi yang
dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa gugatan
penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat.
Meskipun
tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan
penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum tersebut,
atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi.
Putusan tidak
menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal verstek yang
gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat
dijatuhkan sebelum tahap jawaban. Putusan tidak menerima belum menilai pokok
perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja.
Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil gugat) tidak
dapat diperiksa.
Putusan ini berlaku sebagai putusan
akhir. Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan
perkara baru, demikian pula pihak tergugat.
2. Putusan menolak gugatan
penggugat
Yaitu putusan akhir yang dijatuhkan
setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat
tidak terbukti. Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus
terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar
pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili.
3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk
sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya.
Putusan ini merupakan putusan akhir.
Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti
atau tidak memenuhi syarat sehingga :
- Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan
- Dalil gugat yang tidak terbukti makan tuntutannya ditolak
- Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima
4. Putusan mengabulkan gugatan
penggugat seluruhnya
Putusan ini dijatuhkan apabila
syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang
mendukung petitum ternyata terbukti. Untuk mengabulkan suatu petitum harus
didukung dalil gugat. Satu petitum mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat.
Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang
dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil
gugat yang lain tidak terbukti. Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh
dalil gugat
2.6.4 Putusan dari aspek sifatnya
Sedangkan jika dilihat dari segi
sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai
berikut :
1. Putusan Diklatoir
Yaitu putusan yang hanya menyatakan
suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang sah menurut hukum[14].
Semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk
penetapan atau beschiking. Putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan.
Putusan ini tidak memerlukan
eksekusi. Putusan ini tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru,
melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah
ada
2. Putusan Konstitutif
Yaitu suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan
keadaan hukum baru[15],
berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Putusan konstitutif selalu berkenaan
dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain
Putusan konstitutif tidak memerlukan
eksekusi, diterangkan dalam bentuk putusan. Putusan konstitutif biasanya
berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian
langsung dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan
sebagainya
3. Putusan Kondemnatoir
Yaitu putusan yang bersifat menghukum
kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu
kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi[16].
Putusan kondemnatoir selaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan eksekusi. Apabila
pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas
permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang
memutusnya
Putusan dapat dieksekusi setelah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad,
yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum
(putusan serta merta). Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk :
1. menyerahkan suatu barang
2. membayar sejumlah uang
3. melakukan suatu perbuatan tertentu
4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan
5. mengosongkan tanah/rumah
[1] Soeparmono. Hukum Acara Perdata
dan Yurisprudensi. (Bandung: Mandar Maju, 2005), 146
[2] Mardani, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
[5] Soeroso. Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara Dan Proses Persidangan.
(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 81
[6] Soeroso, Ibid
[7] Yahya Harahap. Hukum Acara
Perdata : tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan
pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 804
[8]
http://zofyanthespiritoflife.blogspot.com/2014/03/susunan-dan-isi-putusan-pengadilan.html
[9] Riduan Syahrani. Buku materi
Dasar Hukum Acara Perdata. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 120
[10] Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara
Perdata Indonesia. ( Yogyakarta:Liberti, 1949), 160
[12] Yahya Harahap. Hukum Acara
Perdata : tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan
pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 853
[14] Riduan Syahrani. Buku Materi
Dasar Hukum Acara Perdata. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), 125
[15] Riduan Syahrani. Buku Materi
Dasar Hukum Acara Perdata. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), 125
[16] Ibid