Berdasarkan sumber
hukum dan tipe hukum adat, dari sembilan belas daerah lingkungan hukum di
Indonesia sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok[1]:
2.2.1 Hukum
adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat).
Hukum adat ini mengatur tentang
susunan dari dan ketertiban dalam persekutuan – persekutuan hukum serta susunan
dan lingkungan kerja alat – alat perlengkapan, jabatan – jabatan dan pejabatnya
pejabat – pejabat dalam hukum adat
a. Penghulu
– punghulu Andhiko, yaitu sebuah kepala dari famili – famili (sebagai laki –
laki tertua dari ranting tertua) bersama – sama, atas persamaan kedudukan
memegang pemerintahan dalam satu nagari, bawahan penghulu Andiko ada penghulu
suku[2].
b. Kepala
adat, yang memerintah atas suku disebut penghulu suku. Menyelenggarakan
pemerintahan, kesejahteraan dan keamanan di dalam suku. Kumpulan penghulu suku
dari empat klan, dipimpin oleh salah satu penghulu suku disebut pucuk nagari.
c. Manti,
pejabat yang membantu penghulu suku dalam mengurusi pemerintahan dalam negeri
d. Dubalang,
pejabat yang membantu penghulu suku dalam mengurusi masalah kepolisian
e. Malim,
pejabat yang mengurusi masalah agama bersama dengan penghulu suku.
Selain itu, sebuah
nagari disyaratkan memenuhi perwakilan paling sedikitempat klan, yang penting
bahwa setiap nagari mempunyai empat tanda yang merupakan lembaga, yaitu :
1.
Harus mempunyai
sebuah balai (tempat musyawarah)
2.
Harus mempunyai
sebuah tapian (tempat mandi)
3.
Harus mempunyai
tempat gelanggang (tempat seluruh rakyat berkumpul)
4.
Harus mempunyai
tempat masjid (tempat beribadah)
Kalau keempat tanda
atau syarat tersebut sudah ada barulah dikatakan sebuah masyarakat hukum mitu
merupakan sebuah nagari yang sudah berdiri sendiri. Empat ketentuan umum
mengenai masalah – masalah alat – alat perlengkapan dan tugasnya, yaitu[3]:
·
bahwa pemerintah
di dalam sesuatu persekutuan hukum di Indonesia menurut hukum adat tata negara
selalu di dalam tangan seseorang pemuka atau kepala desa atau kepala negeri
atau kepala negurai. Diantara pembesar tersebut terdapat seorang atau dua orang
yang derajatnya lebih tinggi, jadi dalam pemerintah masyarakat adat, dia
memegang tampuk pemerintahan sedangkan yang lain sebagai pembantunya.
·
boleh dikatakan
di setiap tempat, putusan – putusan yang terpenting mengenai perkara umum
ditetapkan dengan suatu rapat oleh semua warga persekutuandi bawah kepepimpinan
kepalanya. Dalam rapat demikian, warga persekutuan terkemuka biasanya lebih
banyak bersuara dan berpengaruh.
·
mengenai hal –
hal penting, kepala – kepala persekutuan termasuk pembantu –pembantunya bermusyawarah
dengan warganya atau warga – warga terkemuka, sehingga dalam para pembesar
dapat dikatakan bertindak dengan pengeruh, atas nama dan sesuai dengan pendapat
umum persekutuan itu.
·
Dalam
pengangkatan seorang kepala adat dan pembantu – pembantunya unsur turun menurun
hampir dimana – mana menjadi suatu ciri khas. Dalam hal ini seorang ahli waris
jabatan adalah yang berhak, tetapi apabila dia karena alasan apapun dinaggap
tidak cakap, diapun dilalui dan diganti ahli waris yang cakap (ahli waris yang
disertai pemilihan).
2.2.2 Hukum
adat mengenai warga
Hukum adat mengenai warga ini
terdiri dari :
a. Hukum
pertalian sanak (perkawinan, waris)
1) Perkawinan
Adat
Ada 3 bentuk
perkawinan yang bertahap satu sama lain:
a) Kawin
bertandang
Kawin bertandang ini didasarkan pada prinsip
eksogami yaitu: dalam arti positif eksogami adalah suatu sistem perkawinan,
dimana seseorang harus kawin dengan anggota klan yang lain. Dalam arti negatif
eksogami adalah suatu sistem perkawinan, dimana seseorang dilarang atau tidak
boleh kawin dengan anggota se- iklan.
Prinsip eksogami ini berhubungan erat dengan sistem
keturunan ibu yaitu suatu cara yang unik untuk mempertahankan garis keturunan
ibu. Dalam keadaan demikian suami adalah orang yang bertamu, ia tidak berhak
atas anak, tak berhak atas harta benda istrinya dan bersangkut paut dengan
rumah tangga.
b) Kawin
menetap
Kawin menetap merupakan suatu perkembangan dari
bentuk perkawinan pertama. Bersifat sama seperti prinsip eksogami seperti di
atas. Walaupun bermula dengan segala – segalanya dari pihak perempuan dengan
modal kekayaan istri, dengan bantuan langsung atau tak langsung dari suami,
mereka membina harta bersama dan jika suasana terus baik, dapatlah lambat laun
harta bersama itu sebagian dari hak suami, kelak mungkin di hibahkan kepada
anak, dan sebagian kemenakandisebut dengan Harta Suarang.
c) Kawin
bebas
Tahap perkawinan ini sebagai kelanjutan pertumbuhan
perkawinan tahap dua. Kawin bebas berarti bahwa perpindahan secara fisik,
meninggalkan rumah gadang, meninggalkan dusun dan pergi ke kota, merantau,
biasanya ke pesisir. Secara sosiologis perpindahan atau perantauan merupakan
faktor kuat dalam menimbulkan perubahan sosial atau pergeseran sosial. Orang
hidup bebas, sedikit banyak telah terlepas dari ikatan klan asal tunduk pada
peraturan – peraturan umum yang merupakan suatu pergaulan dan tata tertib
sosial yang ada.
d) Kawin
jujur
Kawin bebas ialah suatu sistem kekeluargaan dengan
para anggota masyarakat, hukum yang menarik garis keturunan laki – laki atau
bapak. Kawin jujur mengandung tiga segi pengertian (makna):
§ yuridis
: perubahan status
§ sosial
(politis) : mempererat
hubungan antar klan, hubungan kekeluargaan dan menghilangkan
permusuhan
§ ekonomis
: adanya pertukaran
barang
beberapa variasi dalam
melaksanakan kawin jujur, variasi tersebut adalah :
- kawin jujur ada kalanya tidak dilangsungkan /
tidak dilakukan dan merupakan penyimpangan, pelanggaran adat, illegal
- kawin jujur, dimana penjujurannya ditangguhkan,
baik dihutangkan meupun digadaikan
2) Waris
Adat
b. Hukum
tanah (hak ulayat tanah, transaksi – transaksi tanah)
c. Hukum
perhutangan (hak – hak atasan, transaksi – transaksi tentang benda selain tanah
dan jasa)
2.2.3
Hukum adat
mengenai delik (hukum pidana)
Memuat peraturan – peraturan tentang pelbagai delik
dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana itu. Tiap – tiap
perbuatan atau situasi yang tidak selaras atau yang memperkosa terhadap
keselamatan masyarakat, golongan, famili atau keselamatan sesama anggota
masyarakat, dapat merupakan pelanggaran hukum atau suatu perbuatan yang tadinya
tidak merupakan delik adat, pada suatu waktu dapat dianggap oleh hakim I
(kepala adat) sebagai perbuatan menentang tata tertib di dalam masyarakat, sehingga dianggap perlu
seketika menentukan reaksi adat, guna memulihkan hukum adat tersebut.
Dikutip dari buku Van
Vollenhoven, ada beberapa jenis delik tertentu yang merupakan delik
paling berat ialah pelanggaran atas keselamatan antara dunia lahir dan dunia
gaib[4]
:
a. Perbuatan
penghianatan
b. Membuka
rahasia masyarakat atau sekongkol dengan golongan musuh, reaksi adat adalah
hukuman mati hal ini dikenal hukum adat suku – suku Dayak, Buru, Timor,
beberapa pulau di Maluku.
c. Perbuatan
mengadakan pembakaran, memusnahkan rumah – rumah. Orang yang melakukan,
dikeluarkan dari persekutuan, dapat dibunuh atau dibuang seumur hidup.
d. Perbuatan
menghina secara pribadi terhadap kepala adat
e. Perbuatan
sihir atau tenung, tidak jarang perbuatan itu dihukum dengan hukuman mati,
dicekik, atau dibenamkan dalam air.
f. Incest,
yang berarti 4 macam[5]
:
1) Suatu
hubungan seksual antara dua orang yang menurut hukum adat tidak boleh melakukan
perkawinan, karena pelanggaran eksogami
2) Pelanggaran
terhadap hubungan darah yang terlalu dekat menurut ukuran hukum adat
3) Suatu
hubungan seksual antara dua orang, yang berlainan kasta, misalnya: wanita
brahmana kawin dengan pria sudra (Bali)
4) Hubungan
sumbang antara orang tua dan anaknya, sungguh pun jarang terjadi, tetapi
kadangkala terdapat di dalam masyarakat.
g. Hamil
di luar perkawinan, menurut Lublink Weddik, istilah mengadakan hubungan seksual
di luar perkawinan dan kemudian hamil adalah bergumbulan, yang dikatagorikan
menjadi 4 macam, yaitu[6]
:
1) Bujang
dan gadis bergumbulan kemudian hamil
2) Janda
bergumbulan kemudian hamil
3) Laki
– laki bergumbulan dengan gadis (janda) tidak hamil
4) Hamil
gelap
Atas delik ini, rapat desa
menjatuhkan hukuman denda dan membasuh desa, hal ini sudah menjadi kebiasaan,
meskipun menurut adat, perempuan itu harus dibunuh atau dalam hal lain
menghukum dengan denda dan penguguran bayi.
h. Melarikan
seorang perempuan[7], delik
ini dianggap delik yang berat karena dapat mengakibatkan timbulnya delik lain,
yaitu sebagai akibat dilarikannya seorang perempuan itu. Antara keluarga
terjadi saling berbunuhan, karena tidak lain keluarga perempuan menanggung malu
oleh perbuatan laki – laki tersebut.
i. Perbuatan
zina, merupakan delik berat karena melanggar kehormatan keluarga dan
kepentingan hukum dan merusak kesucian masyarakat. Laki – laki yang melakukan
dapat segera dibunuh. Suami yang membunuh harus membayar uang denda kepada
pihak yang dibunuh.
j. Pembunuhan,
dalam hukum adat sebagai suatu pelanggaran / perusakan terhadap keselamatan dan
keseimbangan masyarakat, dapat diberikan seberat – beratnya. Menurut KUHP si
pembunuh itu harus mendapat hukuman, pihak keluarga si pembunuh harus melakukan
daya upaya dengan jalan membayar denda berupa hewan besar sebagai pembasuh
desa, sebab tanpa perbuatan ini, suatu kutukan akan terjadi terus menerus.
k. Pemenggalan
kepala
l. Delik
harta benda
Dibedakan dalam benda yang termasuk
barang biasa dengan benda yang termasuk barang pusaka. Agar jika terjadi
pencurian dapat diketahui besar kecil nilainya.
Hukum adat merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat itu sendiri selalu berkembang,
dengan tipe yang mudah berubah dan elastis. Yang berperan dalam melaksanakan
sistem hukum adat ialah pengemuka adat[8].
Pengemuka adat sebagai pemimpin yang disegani, besar pengaruhnya dalam pengaruh
masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
2.2.3.1 Perbedaan
antara Hukum Pidana Adat dengan Hukum Pidana dalam KUHP
Garis – garis besar
perbedaan antara hukum pidana adat dengan hukum pidana dalam KUHP, yaitu:
1. Dalam
KUHPidana, yang hanya dapat dipidana seorang manusia, sedang dalam hukum pidana
adat persekutuan hukum umumnya dapat dibebani tanggung jawab pidana, sebuah
kampung penjahat wajib membayar denda kepada suku atau famili yang dirugikan.
2. Dalam
KUHPidana, seorang dapat dipidana karena sengaja atau khilaf artinya orang
tersebut bertanggung jawab karena kesalahan, menurut Van Vollenhoven di dalam
hukum adat tidak perlu cara pembuktian yang demikian, yaitu tentang adanya
unsur kesengajaan dan kekhilafan.
3. Dalam
KUHP tiap – tiap delik yang menentang kepentingan negara atau kepentingan umum
adalah soal perseorangan atau tanggung jawab perorangan tetapi menurut hukum
adat, delik – delik yang menyangkut kepentingan umum atau seluruh desa
seseorang, di dalam hal menjadi persoalan bagi seseorang yang berbuat dan
golongan / famili karena menyangkut kepentingan desa.
4. KUHP
tidak membedakan orang yang satu dengan yang lain, sebagaimana telah kita
ketahui di dalam sistem hukum adat, besar atau kecil kepentingan hukum seseorang
sebagai individu, tergantung pada kedudukan atau fungsinya di dalam masyarakat.
5. KUHP
melarang orang bertindak sendiri dalam menengakkan hukum (melarang main hakim
sendiri) segala delik diserahkan pada negara, sedangkan dalam hukum adat
seseorang yang terkena boleh bertindak sebagai hakim. Contoh : dalam kasus
melarikan seorang gadis, keluarga / pihak yang merasa terkena malu boleh
bertindak menegakkan hukum.
[1] Abdoel Djamali. Pengantar Hukum
Indonesia Edisi Revisi. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
[2] Bushar Muhammad. Pokok – Pokok
Hukum Adat. (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004)
[3] Ibid
[4] Supomo. Bab – Bab Tentang Hukum
Adat. (Jakarta, Pradnya Paramita, 1987),
[5] Bushar Muhammad. Pokok – Pokok
Hukum Adat. (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004)
[6] Bushar Muhammad. Pokok – Pokok
Hukum Adat. (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004)
[7] Ibid
[8] Abdoel Djamali. Pengantar Hukum
Indonesia Edisi Revisi. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar