2.1 Nazhir
2.1.1 Pengertian Nazhir
Nazhir adalah orang atau badan yang memegang amanat
untuk memlihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf
tersebut dan selama ia mempunyai hak melakukan tindakan hukum[1]. Mengurus
atau mengawasi harta wakaf pada dasarnya menjadi hak wakif, atau boleh juga
wakif menyerahkan pengawasan wakafnya kepada orang lain, baik perseorangan
maupun organisasi.
Nadzir
berwenang melakukan segala tindakan yang mendatangkan kebaikan bagi harta wakaf
bersangkutan dengan memperhatikan syarat – syarat yang mungkin telah ditentukan
wakif.[2] Tetapi
nadzir tidak boleh menggadaikan harta wakaf untuk tanggungan hutang harta wakaf
atau tanggungan hutang tujuan wakaf.
2.1.2
Pengangkatan Nazhir
Berdasarkan pasal 1 ayat 4 dan pasal 6 ayat 4 PP No. 28 Tahun 1977
mengenai nadzir disebutkan bisa terdiri dari perseorangan atau berbentuk badan
hukum.
Nadzir perseorangan ditentukan sebagai berikut[3]:
a. Harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari sekurang – kurangnya 3
orang dan salah seorang di antaranya sebagai Ketua.
b. Jumlah nadzir perorangan dalam satu kecamatan ditetapkan sebanyak –
banyak sejumlah desa yang terdapat di kecamatan tersebut.
c. Jumlah nadzir dalam satu desa ditetapkan satu nadzir.
Sedangkan mengenai nadzir yang berbentuk badan hukum ditentukan sebanyak
– banyaknya sejumlah badan hukum yang ada di kecamatan tersebut
2.1.3 Syarat – Syarat Nazhir
Syarat – syarat yang harus dimiliki oleh nadzir adalah
sebagai berikut:
1. Berakal
Seorang nazhir bukan orang gila atau kehilangan akal.
Karena jika seorang nazhir adalah dari orang gila atau kehilangan akal, tidak
bisa membedakan serta mengelola dirinya sendiri dan dia tidak berhak melakukan
transaksi karena dianggap tidak cakap hukum.
2. Dewasa
Seorang nazhir harus orang yang telah dewasa sehingga dianggap cakap hukum dan ucapannya
dapat dipertanggungjawabkan.
3. Adil
Menurut Ulama Syafi’iyah mendenifisikan adil adalah
dengan menjauhi setiap dosa besar dari berbagai macamnya, dan meninggalkan
kebiasaan melakukan dosa kecil. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah yang
sependapat dengan Imam Abu Hanifah bahwa perbuatan adil dapat diketahui dari
keislamannya dan dia dikenal tidak pernah melakukan apa – apa yang diharamkan.
Dapat disimpulkan bahwa orang yang adil itu mempunyai
ciri – ciri: menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa – dosa besar dan mencegah dirinya dari dosa – dosa kecil,
kebaikan yang dimilkinya lebih banyak dari kejahatannya, dan
kebenarannya lebih banyak dari pada
kesalahannya.
4. Mampu (Kecapakan Hukum)
Yaitu, Kekuatan seseorang atau kemampuannya
dalam mengelola sesuatu yang diserahkan kepadanya. Menurut para ulama menentukan kecakapan bagi nazhir yaitu:
memiliki pengalaman dan kemampuan, tidak mengkhususkan ketentuan tersebut bagi laki – laki saja perempuan juga boleh, memiliki kecapakan dalam
mengelola setiap harta wakaf yang yang
letaknya berbeda – beda.
5. Islam
Pada syarat yang kelima ini banyak sekali
pertentangan di kalangan para ulama tentang status agama pengelola wakaf. Tapi
banyak ulama yang menganjurkan bahwa sahnya menjadi nazhir adalah yang beragama
islam.
Bila syarat – syarat di atas tersebut tidak
dipenuhi, hakim menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat dengan
wakif, dengan prinsip hak pengawasan ada pada wakif sendiri. Dan apabila si
wakif tidak mempunyai hubungan kerabat, maka hakim dapat menunjuk orang lain.
2.1.4
Kewajiban dan Hak Nadzir
2.1.4.1 Kewajiban seorang Nadzir adalah :
1. Mengurus dan mengawasi harta kekayaan
wakaf dan hasilnya yang meliputi:
a. Mernyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf
b. Pengelolaan dan Pemeliharaan harta wakaf serta meningkatkan hasil wakaf
c. Melaksanakan syarat dari waqif
d. Membela dan mempertahankan kepentingan harta wakaf yang sesuai dengan
tujuan atau ikrar wakaf
e. Melunasi hutang wakaf , yang diambil dari pendapatan atau hasil produksi
harta wakaf.
f. Membuat laporan hasil pencatatan keadaan tanah wakaf yang diurusnya dan
penggunaan dari kasil wakaf itu.
g. Membuat laporan hasil pencatatan keadaan tanah wakaf dan perubahan
anggota nadzir, apabila ada salah seorang anggota nadzir:
1. Meninggal dunia
2. Mengundurkan diri
3. Melakukan tindak pidana yang berhunbungan dengan jabatannya sebagai
nadzir
4. Tidak memenuhi syarat lagi
5. Tidak dapat lagi melakukan kewajiban
h. Mengajukan permohonan kepada Kanwil Departemen Agama. Kepala Bidang
Urusan Agama islam melaui Kepala KUA dan Kantor Departemen Agama apabila
diperlukan perubahan penggunaan tanah wakaf karena tidak sesuai lagi dengan
tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif atau oleh karena kepentingan umum.
2.1.4.2 Hak – hak yang dimiliki
seorang Nadzir :
1. Menerima penghasilan dari hasil – hasil tanah wakaf yang besarnya telah
ditentukan oleh Kepala Kandepag. Kepala seksi urusan Agama Islam dengan
ketentuan tidak melebihi dari 10% dari hasil bersih tanah wakaf[4].
2. Nadzir dalam menunaikan tugasnya boleh menggunakan fasilitas yang
jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag.
2.1.5 Hal
yang boleh dilakukan dan hal yang tidak boleh dilakukan oleh Nazhir
1. Hal yang boleh dilakukan oleh Nazhir
a. Menyewakan harta wakaf
Nazhir berwenang untuk menyewakan harta
wakaf jika menurutnya akan mendatangkan keuntungan dan tidak ada pihak yang
melarangnya. Keuntungan tersebut dapat digunakan nazhir untuk membiyai hal –
hal yang telah ditentukan oleh waqif.
b. Menanami tanah wakaf
Nazhir boleh memanfaatkan tanah wakaf
dengan menanami dengan aneka jenis tanaman perkebunan. Dengan memperhatikan
dampak pada tanah wakaf dan kepentingan para mustahik.
c. Membangun pemukiman di atas tanah wakaf untuk disewakan
Nazhir berwenang mengubah tanah wakaf yang letaknya
berdekatan dengan kota menjadi bangunan untuk disewakan dengan dua syarat
yaitu: Pertama, Adanya kemauan dan kebutuhan masyarakat untuk menyewa
gedung tersebut. Kedua, Keuntungan yang didapat dari dari hasil sewa
bangunan lebih besar ketimbang jika digunakan untuk lahan pertanian.
d. Mengubah kondisi tanah wakaf
Nazhir berwenang untuk mengubah keadaan dan bentuk
harta wakaf menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi para fakir miskin dan
mustahik.
2. Hal yang tidak boleh dilakukan oleh Nazhir
a. Tidak boleh melakukan dominasi atas harta wakaf
b. Tidak boleh berhutang atas nama wakaf
c. Tidak boleh menggadaikan tanah wakaf
d. Tidak boleh mengizinkan seseorang menggunakan harta wakaf tanpa bayaran,
kecuali dengan alasan hukum
e. Tidak boleh meminjamkan harta wakaf
2.1.6 Tanggung Jawab Nazhir
Dalam hal ini ada beberapa kondisi dimana nazhir tidak
wajib memberikan ganti rugi dan kondisi dimana nazhir wajib memberikan ganti
rugi. Nazhir tidak wajib memberikan ganti rugi jika harta wakaf rusak karena
kekuasaan yang besar yang sulit ditolak atau bencana yang tidak bisa dicegah.
Dan jika harta wakaf tersebut hilang atau rusak dan bukan disebabkan kelalaian
atau keteledoran maka tidak wajib mengganti harta atau barang wakaf tersebut.
Nazhir wajib mengganti rugi karena Pertama, kelalaian
dan keteledoran nazhir dalam menjaga harta wakaf. Kedua, nazhir
menggunakan harta wakaf yang berada dalam kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi atau urusan keluarganya. Ketiga, jika para mustahik meminta
bagian kepada nazhir lalu dia menolak tanpa alasan yang benar dan sesuai
syariat. Empat, jika nazhir menyewakan bangunan wakaf dengan harga yang
lebih kecil dari harga yang semestinya. Lima, jika nazhir meninggal dan
tanpa mengetahui jumlah harta wakaf yang dikelolanya
2.1.7
Pemberhentian Nazhir
Pemberhentian dan penggantian Nadzir dilaksanakan oleh
Badan Wakaf Indonesia. Seorang nadzir berhenti dari jabatannya apabila[5]:
a. Meninggal
b. Mengundurkan diri
c. Dibatalkan kedudukannya sebagai nadzir oleh kepala KUA karena:
1) Tidak memenuhi syarat seperti diatur dalam pasal 6 ayat 1 Peraturan
Pemerintah
2) Melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan jabatannya
sebagai nadzir
3) Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir (Pasal 8 ayat 2)
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukanoleh Nadzir
lain karena pemberhentian atau penggantian Nadzir, dilakukan dengan tetap
memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta
fungsi wakaf[6].
2.2 Pengawasan harta wakaf
Untuk
menjaga agar harta wakaf mendapat pengawasanan jangka dengan baik, kepada
Nazhir dapat diberikan imbalan yang ditetapkan dengan jangka waktu tertentu
atau mengambil sebagian dari hasil harta wakaf yang dikelolanya. Untuk menjamin agar perwakafan dapat
terselenggara dengan sebaik – baiknya, negara juga berhak atas pengawasan harta
wakaf dengan mengkuarkan undang – undang yang mengatur persoalan wakaf,
termasuk penggunaannya[7].
Untuk
memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib baik di
tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi dan pusat. Pengawasan dan bimbingan
perwakafan tanah dilakukan oleh unit – unit organisasi Departemen Agama[8], secara hirarkis sebagaimana diatur
dalam Keputusan Menteri Agama tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama, yang tertuang pada Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978
pasal 14. Untuk itu, agar pengawasan harta benda wakaf ini lebih bisa
dipertanggungjawabkan, maka nadzir sebagai sebuah lembaga publik harus memiliki
:
A. Sistem
akuntansi dan manajemen
keuangan.
Nadzir sebagai lembaga masyarakat
dan ditugasi untuk mengelola benda wakaf, terutama benda wakaf produktif perlu
memiliki menejemen dan akuntansi yang sistematis. Sistem tersebut dimaksudkan
agar pengawasan kegiatan dan keuangan dapat dilakukan secara efektif dan
akurat.
B. Sistem
audit yang transparan.
Nadzir dapat di audit secara
internal oleh Depatemen Agama maupun eksternal oleh akuntan publik atau lembaga
audit yang independen. Sasaran audit meliputi aspek kegiatan, keuangan,
kinerja, peraturan-peraturan, tata kerja dan prisip-prinsip ajaran Islam.
Selain
pengawasan yang bersifat umum berupa payung hukum yang memberikan ancaman
terhadap pihak yang melakukan penyelewengan dan atau sengketa berkaitan dengan
pengelolaan harta wakaf, upaya pengawasan benda wakaf dapat langsung dilakukan
oleh pihak pemerintah dan masyarakat. Sebagaimana terlampir dalam pasal 21
bagian ketiga RUU Wakaf.
Peran pemerintah yang memiliki akses
birokrasi yang sangat luas dan otoritas dalam melindungi eksistensi dan
pengembangan wakaf secara umum. Demikian juga masyarakat sebagai pihak yang
berkepentingan langsung terhadap pemanfaatan benda wakaf dapat mengawasi secara
langsung terhadap jalannya pengelolaan wakaf. Tentu saja, pola pengawasan yang bisa
dilakukan oleh masyarakat bukan bersifat interventif (campur tangan menejemen),
namun memantau, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pola pengelolaan
dan pemanfaatan wakaf itu sendiri. Sehingga peran lembaga nadzir lebih terbuka
dalam memberikan laporan terhadap kondisi dan perkembangan harta wakaf yang
ada..
Dalam rangka
memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional dibentuk Badan Perwakafan
Indonesia. Lembaga ini adalah lembaga independen yang mempunyai tugas dan
wewenang sebagai berikut :
1.
Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf,
2.
Melakukan pengelolaan, pengembangan dan pengawasan harta benda wakaf berskala
nasional,
3.
Memberhentikan dan mengganti Nazhir, dan lainnya.
[6] Abdul Shomad. Hukum Islam Penorrmaan Prinsip Syariah
dalam Hukum Indonesia. (Jakarta: Kencana. 2010), 404