2.1 Asas Individual
Kata individual mengandung arti perorangan, diri sendiri
atau berhubungan dengan manusia secara pribadi. Al Raghib melihat bahwa makna itu
mengambarkan kepada pribadi secara khusus. Ini berarti setiap individu mempunyai
kepentingan terhadap sesuatu hal, termasuk di dalamnya soal kewarisan[1]. Pengertian asas individual ini adalah setiap ahli waris (secara
individu) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris
lainnya (sebagaimana halnya dengan pewarisan kolektif yang dijumpai di dalam
ketentuan hukum adat).
Dengan
demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris dari harta pewaris, dimiliki
secara perorangan, dan ahli waris yang lainnya tidak ada sangkut-paut sama
sekali dengan bagian yang diperolehnya tersebut, sehingga individu
masing-masing ahli waris bebas menentukan ( berhak penuh) atas bagian yang
diperolehnya.
2.1.1 Asas Individual Menurut Hukum Islam
Hukum Islam mengajarkan
asas kewarisan secara individual, dalam arti bahwa harta warisan dapat
dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
Dalam pelaksanaannya, masing-masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri
tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan
dalam nilai tertentu yang kemudian jumlah tertentu dibagikan kepada setiap ahli
waris yang berhak menerimanya menurut kadar masing-masing[2].
Pernyataan diatas mempunyai kesamaan dalam beberapa ayat
– ayat dalam al Qur’an seperti:
لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ
مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ
نَصِيبًا مَفْرُوضًا (7)
Artinya : “Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Dari ayat di
atas, menyatakan bahwa laki – laki dan perempuan berhak mendapat warisan secara
individual dari orang tua dan kerabatnya. Menurut al Tabatabia, ayat ini
mengandung prinsip umum hukum kewarisan karena baik dari segi keadaan, sifat,
maupun dari segi lainnya, ini berarti ayat tersebut mengandung unsur pemilikan individual
karena setiap individu mendapat saham sesuai dengan yang telah ditentukandalam
Al Qur’an.
Hal ini serupa
dengan ayat pada surah An-Nisa’(4): 11
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ
نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ
السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11)
Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[3];
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[4],
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
|
Dari ayat tersebut ada ketentuan asas
individual dalam hukum kewarisan yang telah ditetapkan al Qur’an, yaitu: Pertama,
bahwa anak laki-
laki mendapatbagiandua kali bagian anak perempuan. Kedua,
bila anak perempuan itu dua orang atau lebih bagiannya dua pertiga dari harta peninggalan. Ketiga, dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka bagiannya seperdua harta peninggalan.[5] Dapat
disimpulkan bahwa ayat tersebut mengemukakan
bahwa bagian masing-masing (ahli waris secara individual) telah ditentukan.[6]
2.1.2 Asas Individual Menurut KHI
Pengertian Asas individual dalam Kompilasi
Hukum Islam adalah harta peninggalan dimana harta warisan dapat
dibagi kepada ahli waris sesuai bagian masing-masing,
Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Hal ini sesuai dengan ayat KHI sebelumnya yaitu ayat 188, paraahli waris
baik secara bersama – sama atau peseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli
waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli
waris yang tidakmenyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukannya pembagian harta warisan.
Hakikat dari
asas individual mencangkup empat hal yaitu[7]
:
1.
Hubungan kekeluargaan harus diakui keabsahannya.
2.
Pokok pangkal lahirnya keindividualan adalah orang tua
3.
Tujuan pewarisan adalah ketersambungan keturunan yang akrab
4.
Harta yang diperoleh setiap ahli waris harus digunakan pada jalan yang
benar.
Pembagian
secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi
mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, dalam istilah
ushul fiqh disebut ahliyat al wujub[8].
Bila terlaksana pembagian secara terpisah untuk setiap ahli waris, maka selanjutnya
yaitu hak ahli waris untuk berbuat dan bertindak atas harta yang didapatnya,
itu berlaku ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak, dalam ushul fiqh disebut
dengan Ahliyatul ‘ada’[9].
Apabila diketahui
ketidak cakapan dari ahli waris tersebut, maka diangkat seorang wali untuk pengurus
hartanya menurut ketentuan perwalian. Wali tersebut, bertanggung jawab mengurus
harta orang yang belum cakap bertindak mengurus hartanya.[10]
Pada
prinsipnya, apabila wali yang menjaga harta anak yang tidak cakap, maka wali
tidak boleh menjadikan harta tersebut sebagai kewarisan kolektif. Kewarisan
kolektif adalah menyalahi ketentuan karena dapat mengaburkan hak milik anak
yang tidak cakap. Dan bahkan tuhan mengutuk orang yang memakan harta anak
yatim. Dengan demikian, kewarisan individual pada dasarnya sangat relevan
dengan kebutuhan semua pihak.[11]
[1] Ali Parman. Kewarisandalam
al Qur’an, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1995), 83
[2] Moch. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta : Sinar
Grafika, 2009), 28
[3]Bagian laki-laki dua
kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari
perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah.
[4]Lebih dari dua
maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
[5]M.
IdrisRamulyo, PerbandinganPelaksanaanHukumKewarisan Islam
denganKewarisanMenurutHukumPerdata (BW)( Jakarta: SinarGrafika, 1994), hlm 117
[6]Suhrawardi
K.L. , Komis S. , Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 35.
[7]Kewarisandalam
al Qur’an, hlm 86-87
[8]Abdul Wahab Kalaf,
Usul al Fiqhi, Dewan Dakwah Islam Indonesia, (Jakarta : 1947), hlm 136, (dalam
Amir Syarifuddin, PelaksanaanHukumKewarisan Islam
dalamLingkunganAdatMinangkabau, hlm 22 (dalam M. IdrisRamulyo, Op.cit, hlm
117))
[9]Abu Abdillah
Muhammad al Qurtubi, Al jami’li Akhami Al Qur’an V dari Al Kitab al Arabiyah,
Qairo 1967 ( dalam Amir Syarifuddin, ibid, hlm 22 (dalam M. Idris Ramulyo,
ibid, hlm 117))
[10]Zainuddin Ali, PelaksanaanHukumWaris
di Indonesia, hlm 57
[11]Ali
Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur`an, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995,
hlm. 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar