A. Qiyas
Secara etimologi, Qiyas
adalah menyamakan hukum. Secara terminologi qiyas adalah menyamakan masalah
baru yang tidak ada hukumnya, dengan masalah yang sudah ada hukumnya karena
adanya kesamaan ‘illat.
Dalam menetapkan qiyas,
para ulama mengambil dalil dari al-Qur’an, sunnah, pendapat dan perbuatan
sahabat dan illat-illat yang rasional.
Contoh :
Masalah 1:
Wewenang untuk
mengawinkan anak perempuan tanpa persetujuan anak perempuan yang dikawinkan
bagi wali mujbir terhadap anak perempuan yang masih gadis belum dewasa hukumnya
berdasarkan ijma’ adalah boleh. ‘Illat hukumnya boleh karena belum dewasa.
Masalah 2:
Mengawinkan anak yang
sudah janda tapi masih belum dewasa. Hal ini tidak ada hukumnya dalam ijma’
atau dalil syara’ yang lain.
Masalah ini diselesaikan dengan Qiyas. Masalah 2 ini disamakan
hukumnya dengan masalah 1. ‘Illat hukumnya sama karena keadaanya yang belum
dewasa. Maka hukumnya pun sama.
B. Istishab
Istishab adalah
menetapkan sesuatu yang menurut keadaan sebelumya sehingga terdapat suatu dalil
yang menunjukkan perubahan keadaan.
Contoh:
Segala macam perikatan dan perjanjian yang di adakan oleh manusia
untuk saling menukarkan harta benda dan manfaat, selama tidak ada dalil yang
menunjukkan keharamannya, adalah mubah, mengingat bahwa segala Sesuatu adalah
mubah. Dalam firman Allah :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ
إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ
دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ (145)
Artinya : ”Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini - menurut
mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah
hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan
dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan…”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka
ketentuan lama-lah yang berlaku.
Diperjelas
juga dalam firman Allah QS. Al- Baqarah ayat 29:
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya :
“Dialah zat yang menciptakan untuk kamu
apa yang ada di bumi semuanya”
(al – baqarah : 29)
C. Saddudz dzari’ah
Saddudz dzarî’ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî’ah.
Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî’ah berarti
jalan. Jadi, saddudz dzari’ah adalah menghambat atau menghalangi atau menyumbat
semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum
secara saddudz dzarî’ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan
atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan.
Contoh :
Firman Allah SWT:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا
لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ
بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (108)
Artinya :
“Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan
memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan.”
(al An’am : 108)
Mencaci berhala tidak
dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina
berhala, karena larangan ini dapat menghalangi atau mencegah ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci
dan memaki Allah secara melampaui batas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar