BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1.
Riba
Riba yang berasal dari
bahasa arab, artinya tambahan (ziyadah/addition, Inggris), yang berarti:
tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Pendapat Al-Jurjani riba adalah
kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang di syaratkan bagi
salah seorang dari dua orang yang membuat akad.
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
(BUKHARI – 1941) Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dza'bi telah menceritakan kepada kami Sa'id Al Maqbariy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh pasti akan datang suatu jaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram”.
Dasar hukum Hukum
melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama.
Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat
komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan
atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan
pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah
transaksi pemerasan. Dalam
Sunnah Rasulullah saw
:
عَنْ جَابِرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ
سَوَاءُ (متفق عليه))
“Dari
Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang
memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil
riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya),
Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Bukhari danMuslim )
إِحْتَنِبُوْا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ:
الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ
اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ
وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ (متفق عليه)
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”.
Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah
saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah
kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim,
melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman,
dan lupa (lupa dari maksiat).” (Diriwayatkan
Imam bukhari dan Imam Muslim)
2.1.1
Macam-macam
Riba
Para ulama fiqih
membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
1) Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar
menukar atau jual beli antara dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak
sama ukuranya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya, atau jual beli yang
mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada
salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan
emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang
yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya
tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat
yaitu:
a.
Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
b.
Timbangan atau takarannya harus sama.
c.
Serah terima pada saat itu juga.
2) Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu
tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis atau jual beli
yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan.
Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap
pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding
untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau
selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual
barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran
diakhirkan, seperti menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang dibayarkan
setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan inilah yang
disebut riba nasi’ah.
عَنْ
سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya
Nabi saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (H.R
Lima ahli hadist)
3) Riba Qardi
Riba qardi adalah
meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang
meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian
Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000.
inilah yang disebut riba qardi.
4) Riba yad
Riba yad yaitu berpisah
dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli
suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan
pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini
dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli
yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang
yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara
gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama
Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada
pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan
pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad
dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits
yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا
الرِّبَا فِى النَّسِيْئَة (رواه البحارى و مسلم)
“
Tidak ada riba kecuali pada riba nasi ”H.R. Bukhari Muslim
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak
menjadi riba, yaitu:
1. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga
syarat, yaitu:
a. Serupa timbangan dan
banyaknya.
b. Tunai.
c. Timbang terima dalam
akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2. Menjual sesuatu yang berlainan jenis
ada dua syarat, yaitu:
a. Tunai.
b. Timbang terima dalam
akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi
mengharamkan riba. Hal ini disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat
berat. Diantaranya adalah:
1. Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan
mengikis habis semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang
yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
2. Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros
yang tidak mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam
menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian nafkah.
3. Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan
agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika
saudaranya membutuhkan harta.
Hikmah diharamkannya riba yaitu:
a. Menghindari tipu daya diantara sesama manusia.
b. Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan
dengan batil.
c. Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi
hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang
dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum muslimin.
d. Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
e. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang
menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat
kezaliman adalah kesusahan.
f. Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang
muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
g. Rajin mensyukuri nikmat Allah swt dengan cara
memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut.
h. Melakukan praktik jual beli dan utang piutang
secara baik menurut Islam.
BAB III
ANALISA
HADIST
3.1 Hadist Riba
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ
زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
(BUKHARI – 1941) Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abu Dza'bi telah menceritakan kepada kami Sa'id Al Maqbariy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh pasti akan datang suatu jaman pada manusia
yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah
haram”.
JALUR SANAD KE – 1
Sanad 1 :
·
Nama Lengkap : Abdur Rahman bin
Shakhr
·
Kalangan : Shahabat
·
Kuniyah : Abu Hurairah
·
Negeri semasa hidup : Madinah
·
Wafat : 57 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Ibnu Hajar
al 'Asqalani
|
Shahabat
|
Sanad II :
·
Nama Lengkap : Sa'id bin Abi Sa'id
Kaisan
·
Kalangan : Tabi'in kalangan
pertengahan
·
Kuniyah : Abu Sa'ad
·
Negeri semasa hidup : Madinah
·
Wafat : 123 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Ibnu
Madini
|
Tsiqah
|
Muhammad
bin Sa'd
|
Tsiqah
|
Al 'Ajli
|
Tsiqah
|
Abu Zur'ah
|
Tsiqah
|
An Nasa'i
|
Tsiqah
|
Ibnu
Kharasy
|
Tsiqah
|
Abu Hatim
Ar Rozy
|
Shaduuq
|
Ibnu Hajar
al 'Asqalani
|
Tsiqah
berubah sebelum matinya
|
Sanad III :
·
Nama Lengkap : Muhammad bin 'Abdur
Rahman bin Al Mughirah bin Al Harits bin Abi Dzi`b
·
Kalangan : Tabi'in kalangan biasa
·
Kuniyah : Abu Al Harits
·
Negeri semasa hidup : Madinah
·
Wafat : 158 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Ahmad bin
Hambal
|
Tsiqah
|
Yahya bin
Ma'in
|
Tsiqah
|
An Nasa'i
|
Tsiqah
|
Ibnu Hajar
al 'Asqalani
|
"tsiqah,faqih"
|
Adz
Dzahabi
|
Tsiqah
|
Sanad IV :
·
Nama Lengkap : Adam bin Abu Iyas
·
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan
biasa
·
Kuniyah : Abu Al Hasan
·
Negeri semasa hidup : Baghdad
·
Wafat : 220 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Abu Daud
|
Tsiqah
|
An Nasa'i
|
la ba`sa
bih
|
Abu Hatim
|
"tsiqah
terpercaya ahli ibadah, termasuk hamba-hamba Allah yang terbaik"
|
Ibnu Hajar
al 'Asqalani
|
tsiqah
ahli ibadah
|
Al 'Ajli
|
Tsiqah
|
Ibnu
Hibban
|
Tsiqah
|
3.1.2 Analisis Matan
لَيَأْتِيَنَّ
عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ
حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Sungguh
pasti akan datang suatu jaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak
peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram
Hal ini sesuai dengan hadist
Nabi yang diriwayatkan oleh Darimi :
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَبِي حُرَّةَ الرَّقَاشِيِّ عَنْ عَمِّهِ
قَالَ كُنْتُ آخِذًا بِزِمَامِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَذُودُ النَّاسَ عَنْهُ فَقَالَ
أَلَا إِنَّ كُلَّ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ
قَدْ قَضَى أَنَّ أَوَّلَ رِبًا يُوضَعُ رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Ketahuilah
sesungguhnya Allah telah memutuskan bahwa riba pertama yg dibatalkan adalah
riba Abbas bin Abdul Muththalib, yaitu bagi kalian modal harta kalian, kalian
tak menzhalimi & tak dizhalimi. (Darimi – 2422)
Dan firman Allah yang menjelaskan tentang keadaan kaum Yahudi yang
menggunakan sistem riba pada masa itu yaitu pada surat
An-Nisa’ : 160 – 161
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا
وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
Artinya : “Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.”
Disini bisa dilihat
bahwa sistem riba digunakan karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang yang
halal dan yang haram. Mereka hanya memikirkan keuntungan tanpa tahu sebab
akibatnya. Sampai – sampai yang halal dianggap haram, dan yang haram dianggap
halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar