GADAI EMAS MENUAI MASALAH
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Akhir Mata
Kuliah:
HADIST HUKUM BISNIS ISLAM
Dosen pengampu :
M. Hasan
Ubaidillah, S.HI, M.Si.
Disusun oleh :
Noermalia
Andriani
C32212088
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013
Soal :
Carilah contoh kasus dan
dekskripsikan contoh kasus tersebut secara jelas dan terperinci terkait dengan
persoalan muamalah atau ekonomi islam yang teraktual yang bisa anda dapat di
media cetak maupun elektronik. Berikan argument naqliyahnya baik bersumber dari
al Qur’an dan yang lebih utama dari hadist. Serta kajilah hadist tentang kasus
tersebut dengan langkah – langkah berikut :
a.
Terjemahkan
b.
Uraikan secara rinci mata rantai sanad itu dengan memunculkan analisis
al jar’u wal ta’dil (penilaian para ulama tentang para rowi), tahun lahir dan
wafat, dan katagori rowi tersebut menurut penilaian ulama.
c.
Kajilah matan dari hadist diatas dengan menggunakan tarjih untuk matan
hadist sehingga dapat dipahami apakah matan tersebut sesuai dengan al Qur’an
dan tidak bertentangan dengan kemaslahatan.
Kasus :
Jumat, 29 Maret 2013
GARA-GARA GADAI EMAS, BUTET GUGAT
BANK SYARIAH
BANK DITUDING TIDAK MENEPATI JANJI
PROMOSI.
Ketika mediasi perbankan yang
difasilitasi Bank Indonesia tidak tercapai, seniman asal Yogyakarta, Butet
Kartaradjasa bersama enam rekannya memutuskan membawa perkaranya ke jalur
pengadilan. Dalam kasus ini, Butet Kartaradjasa menarik BRI Syariah sebagai
tergugat dan Bank Indonesia sebagai turut tergugat. Perkara ini masih dalam
tahap pemanggilan kembali pihak BRI Syariah, Selasa (26/3).
Keputusan Butet menempuh jalur hukum
berawal dari persoalan gadai emas dengan prinsip syariah. Butet merasa
dirugikan oleh ulah BRI Syariah. Pasalnya, BRI Syariah menjanjikan gadai
syariah emas ini dijamin aman dan menguntungkan. Namun, janji tersebut tidak
seindah asa.
Mulanya, produk gadai syariah emas
ini dikeluarkan pada Januari 2009 oleh BRI Syariah. Produk ini dijamin aman dan
menguntungkan. Adapun akad yang ditawarkan dalam gadai emas ini adalah akad Qardh,
akad pinjaman dana dan akad Ijarah, akad sewa menyewa. Akad ini
ditandai dengan penandatanganan Sertifikat Gadai Syariah dengan jangka waktu
120 hari dan dapat diperpanjang.
Melihat hal tersebut, Butet dan
rekan-rekannya tertarik untuk menggunakan produk gadai syariah emas itu ke BRI
Syariah. Pada 2010, Butet mengikatkan dirinya dengan akad Qardh dan Ijarah
dalam jangka waktu 120 hari. Setelah pengikatan tersebut, Butet dan rekan
wajib melakukan pembayaran secara tunai maupun debit tabungan.
Semula,
tidak ada masalah yang timbul dari kedua belah pihak. Namun, pada 2012 Butet
dan rekan dikejutkan dengan penolakan BRI Syariah untuk memperpanjang akad Qardh
dan Ijarah. BRI Syariah tidak mau memperpanjang pengikatan tersebut dan
memaksa seniman ini menjual emas yang telah dijaminkan. Alasannya adalah adanya
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DpbS tentang Pengawasan Produk Qardh
Beragun Emas di Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Padahal, penolakan memperpanjang
pengikatan dan pemaksaan menjual emas yang digadaikan tersebut, menurut Butet,
tidak berdasar hukum sama sekali. Bahkan, juga bertentangan dengan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 14/7/Dpbs yang menjadi landasan penolakan BRI Syariah.
Soalnya, Surat Edaran tersebut mengatur akad yang terkait dengan produk Qardh
beragun emas yang sudah dilakukan bank syariah sebelum berlakunya surat edaran
BI ini dinyatakan tetap dapat berlaku sampai jatuh tempo dan dapat diperpanjang
selama satu tahun terhitung sejak berlakunya surat edaran ini.
Meskipun dituding tidah berdasar
hukum, BRI Syariah tetap tidak pernah mendebet tabungan seniman ini sampai
jatuh tempo. Bahkan, ketika tanggal jatuh tempo terjadi, BRI Syariah juga tidak
pernah memberikan peringatan kepada Butet dan rekan untuk membayar biaya
pinjaman dana dan biaya ijarah tersebut.
Tindakan BRI Syariah kembali
mengejutkan Butet karena emas yang digadaikan itu diduga telah dijual bank.
Parahnya lagi, mendengar penjualan tidak melalui lelang sebagaimana yang
diatur dalam sertifikat gadai syariah. Tindakan yang dilakukan BRI Syariah sama
sekali tidak pernah diduga Butet karena Butet sangat mempercayai BRI Syariah.
Tindakan penjualan sepihak yang
dilakukan BRI Syariah telah melukai kepercayaan Butet sebagai konsumen dan
nasabah BRI Syariah. Hal tersebut juga bertentangan dengan prinsip syariah dan
kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 huruf a UU
No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
juncto Pasal 29 ayat (4) UU
No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal
7, Pasal 8 ayat (1) huruf f UU
No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal-pasal tersebut mengatur bahwa
nasabah berhak mendapatkan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko
kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan bank. Juga, bank
sebagai pelaku usaha dilarang memproduksi barang atau jasa tidak sesuai dengan
janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, atau promosi penjualan
barang atau jasa tersebut.
Atas hal ini, Butet dan rekan
mengklaim mengalami kerugian material dan immaterial. Adapun kerugian material
yang diderita Butet adalah sebanyak Rp 1,5 miliar. Sedangkan enam rekan lainnya
mengalami kerugian sebanyak Rp11.283.248.941. Lebih lanjut, karena telah
diposisikan sebagai debitor macet oleh BRI Syariah, tindakan tersebut juga
telah merugikan para penggugat secara immaterial sejumlah Rp35 miliar.
“Kami meminta majelis mengabulkan
gugatan ini. Kami menggugat dengan menggunakan UU Konsumen karena mediasi di
Bank Indonesia hanya omong kosong, tidak tercapai,” tutur kuasa hukum Butet,
Djoko Prabowo Saebani usai persidangan, Selasa (26/3).
Sementara itu, kuasa hukum Bank
Indonesia enggan berkomentar terhadap perkara ini. Bahkan, dirinya juga enggan
menyebutkan namanya. “Nanti saja. Tergugatnya saja (BRI Syariah, red) belum
datang,” ucapnya sambil melenggang keluar gedung pengadilan, Selasa (26/3).
Analisa
Kasus :
Gadai emas
adalah produk bank syariah berupa fasilitas pembiyaan dengan cara memberikan
hutang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasaan/lantakan) dalam
sebuah akad gadai (rahn). Bank syariah selanjutnya mengambil upah (ujrah, fee) atas jasa penyimpanan / penitipan yang
dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan akad ijarah (jasa). Jadi, gadai
emas merupakan akad rangkap (multi akad), yaitu gabungan akad rahn dan qard
atau rahn dengan ijarah[1].
Awalnya
hukum gadai emas adalah boleh, seperti hadist Nabi SAW:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ
حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ تَذَاكَرْنَا عِنْدَ إِبْرَاهِيمَ الرَّهْنَ
وَالْقَبِيلَ فِي السَّلَفِ فَقَالَ إِبْرَاهِيمُ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
(BUKHARI - 2326) Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid telah menceritakan kepada kami Al A'masy berkata; kami menceritakan di hadapan Ibrahim tentang masalah gadai dan pembayaran tunda dalam jual beli. Maka Ibrahim berkata; telah menceritakan kepada kami Al Aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tunda sampai waktu yang ditentukan, yang Beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besi Beliau."
Tapi gadai
emas pada zaman modern kini, merupakan akad rangkap yaitu gabungan akad rahn
dan qard. Sistem ini mengundang banyak selisih pendapat dari kalangan ulama dan
pakar ekonomi tentang kebolehan melakukan akad ini. Tapi akhirnya sebagian
ulama yang membolehkan
akad rangkap ini pun, telah
mengharamkan penggabungan akad tabarru’ yang
bersifat non komersial (seperti qardh atau rahn) dengan akad
yang komersial (seperti ijarah).
Inilah beberapa
alasan ulama dan beberapa pakar ekonomi syariah tentang gadai emas yang hukumya haram
karena sebagai berikut :
1.
Dalam gadai emas terjadi pengambilan manfaat atas
pemberian utang. Walaupun disebut ujrah atas jasa penitipan, namun
hakikatnya hanya rekayasa hukum (hilah)
untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian utang, baik
berupa tambahan (ziyadah),
hadiah, atau manfaat lainnya. Padahal manfaat-manfaat ini jelas merupakan riba
yang haram hukumnya. Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW,”Jika seseorang memberi
pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari,
dalam kitabnya At-Tarikh
Al-Kabir). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/341).
2.
Dalam gadai emas, fee (ujrah) untuk jasa penitipan/penyimpanan
dibebankan kepada penggadai (rahin),
yaitu nasabah. Padahal seharusnya biaya itu dibebankan kepada penerima gadai (murtahin), yaitu
bank syariah, bukan nasabah. Dalilnya sabda Rasulullah SAW:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
(Bukhari – 2329) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah
mengabarkan kepada kami 'Abdullah telah mengabarkan kepada kami Zakariya' dari
Asy-Sya'biy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan
dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan
pembayaran tertentu, dan terhadap orangyang mengendarai dan meminum susunya
wajib membayar".
Tentu saja ada meskipun dengan istilah yang berbeda,
namanya bisa biaya sewa, biaya bulanan, biaya pemeliharaan, biaya jasa
penitipan dan lain-lain. Dari sini
lah pengambilan keuntungan yang diperoleh dari bank. Bila harga emas naik
berarti untung, kalau harga emas turun berarti rugi. Sistem ini sama saja
dengan riba.
Terlebih lagi bila diingat bahwa sejatinya emas dan uang
adalah alat tolok ukur nilai barang, dan sebagai alat transaksi, dengan
demikian bila uang dan emas digadaikan dengan mengambil keuntungan maka tidak
diragukan itu adalah riba.Ditambah lagi gadai hanya ada bila ada piutang, tidak mungkin ada gadai bila
tidak ada piutang. Karenanya, setiap keuntungan yang didapat dari gadai adalah
bunga dan itu haram.
3.
Dalam gadai emas terjadi akad rangkap, yaitu gabungan
akad rahn dan ijarah. Bagi kami
akad rangkap tidak boleh menurut syara’, mengingat terdapat hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau
berkata:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍوَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَقَدْ فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالُوا بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ أَنْ يَقُولَ أَبِيعُكَ هَذَا الثَّوْبَ بِنَقْدٍ بِعَشَرَةٍ وَبِنَسِيئَةٍ بِعِشْرِينَ وَلَا يُفَارِقُهُ عَلَى أَحَدِ الْبَيْعَيْنِ فَإِذَا فَارَقَهُ عَلَى أَحَدِهِمَا فَلَا بَأْسَ إِذَا كَانَتْ الْعُقْدَةُ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمِنْ مَعْنَى نَهْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ أَنْ يَقُولَ أَبِيعَكَ دَارِي هَذِهِ بِكَذَا عَلَى أَنْ تَبِيعَنِي غُلَامَكَ بِكَذَا فَإِذَا وَجَبَ لِي غُلَامُكَ وَجَبَتْ لَكَ دَارِي وَهَذَا يُفَارِقُ عَنْ بَيْعٍ بِغَيْرِ ثَمَنٍ مَعْلُومٍ وَلَا يَدْرِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى مَا وَقَعَتْ عَلَيْهِ صَفْقَتُهُ
(TIRMIDZI - 1152) : Telah menceritakan kepada kami Hannad
telah menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Amru dari
Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang melakukan dua penjualan dalam satu kali transaksi. Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin
Amru. Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud. Abu Isa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah
hadits hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para ulama. Sebagian ulama
menafsirkan hadits ini, mereka mengatakan; maksud Dua penjualan dalam satu
transaksi adalah perkataan seseorang; Aku menjual pakaian ini kepadamu dengan
tunai seharga sepuluh dan kredit seharga dua puluh tanpa memisahkannya atas
salah satu dari dua transaksi. Jika ia memisahkannya atas salah satu dari kedua
transaksi tersebut maka tidak apa-apa selama akadnya jatuh pada salah satu dari
keduanya. Asy Syafi'i berkata; Termasuk makna dari larangan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tentang dua transaksi dalam satu kali jual beli
adalah perkataan seseorang; Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian
dengan syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu
sudah menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu, tata cara jual beli
seperti ini berbeda dengan tata cara jual beli barang yang tidak diketahui
harganya dan salah satu dari keduanya (penjual dan pembeli) tidak mengetahui
tansaksi yang ia tujukan.
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani
hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua
akad jual beli menjadi satu akad, atau menggabungkan akad jual-beli dengan akad
ijarah.
Kalau gadai emas dihukumi haram,
kenapa masih di ada dalam produk perbankan syariah?
Selain sebagai tempat untuk
menyimpan dan menyalurkan dana kepada pihak ketiga, bank syariah mempunyai
banyak fungsi seperti dapat melakukan jual beli (murabahah), menerima zakat,
menyalurkan zakat, bahkan sebagai tempat gadai (rahn). Tapi dalam hal ini bank
syariah hanya bisa menerima emas sebagai barang yang bisa digadai. Karena emas
adalah salah satu komoditas yang paling likuid. Bahkan jika melihat selama
sepuluh tahun harga emas terus mengalami kenaikan yang cukup tinggi.
Karena begitu potensial, hampir
semua bank syariah membuka diri menjadi tempat gadai emas. Bahkan adanya gadai
emas yang dilakukan bank syariah dimanfaatkan beberapa orang untuk melakukan
spekulasi. Berdasarkan berita yang dilansir oleh Bisnis Indonesia, ada nasabah
gadai yang mempunyai modal 10 milyar dan bisa mendapatkan portofolio hingga 105
milyar rupiah. Yang dilakukan nasabah tersebut yaitu dengan mengadaikan emasnya
untuk dibelikan emas kembali. Sedangkan emas yang sudah dibeli untuk digadai
kembali dan begitu seterusnya. Leverage yang tinggi, hal inilah yang
ditakutkan, sehingga BI (Bank Indonesia) melakukan intervensi di awal tahun
2012. Yaitu dengan pembatasan gadai dan juga pelarangan bagi nasabah yang
melakukan gadai dengan tujuan spekulasi. Walaupun peraturan tertulisnya masih
dalam proses untuk dibuat.
Disisi lain dengan didukung dengan
mudahnya persyaratan, yaitu cukup mempunyai emas. Keberadaan gadai emas sebagai
produk di bank syariah hanya dimaanfatkan oleh nasabah untuk berspekulasi dan
memperoleh untung dari fluktuasi harga emas. Sedangkan melakukan spekulasi
(maysir) dalam transaksi adalah hal yang dilarang dalam Islam. Akhirnya, tujuan
bank syariah tidak tercapai sebagai sarana memberikan dana secara cepat dan
juga mempermudah rakyat kecil dalam masalah permodalan. Oleh karena itu
dibutuhkan peraturan yang mengikat kepada bank syariah agar terhindar dari
nasabah yang ingin melakukan tindakan spekulasi. Bank syariah juga selayaknya
tidak membebankan biaya titip emas. Karena bank juga sebenarnya sudah mendapat
keuntungan dengan memberikan 80% – 90% dana kepada nasabah dari harga taksiran
harga emas. Dan yang terpenting bank syariah harus lebih memperhatikan nasabah
bermodal kecil yang lebih membutuhkan dana dibanding nasabah bermodal besar
yang bertujuan untuk berspekulasi.
Analisis Hadist :
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍوَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَقَدْ فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالُوا بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ أَنْ يَقُولَ أَبِيعُكَ هَذَا الثَّوْبَ بِنَقْدٍ بِعَشَرَةٍ وَبِنَسِيئَةٍ بِعِشْرِينَ وَلَا يُفَارِقُهُ عَلَى أَحَدِ الْبَيْعَيْنِ فَإِذَا فَارَقَهُ عَلَى أَحَدِهِمَا فَلَا بَأْسَ إِذَا كَانَتْ الْعُقْدَةُ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمِنْ مَعْنَى نَهْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ أَنْ يَقُولَ أَبِيعَكَ دَارِي هَذِهِ بِكَذَا عَلَى أَنْ تَبِيعَنِي غُلَامَكَ بِكَذَا فَإِذَا وَجَبَ لِي غُلَامُكَ وَجَبَتْ لَكَ دَارِي وَهَذَا يُفَارِقُ عَنْ بَيْعٍ بِغَيْرِ ثَمَنٍ مَعْلُومٍ وَلَا يَدْرِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى مَا وَقَعَتْ عَلَيْهِ صَفْقَتُهُ
(TIRMIDZI - 1152) : Telah menceritakan kepada kami Hannad
telah menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Amru dari
Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang melakukan dua penjualan dalam satu kali transaksi. Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin
Amru. Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud. Abu Isa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah
hadits hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para ulama. Sebagian ulama
menafsirkan hadits ini, mereka mengatakan; maksud Dua penjualan dalam satu
transaksi adalah perkataan seseorang; Aku menjual pakaian ini kepadamu dengan
tunai seharga sepuluh dan kredit seharga dua puluh tanpa memisahkannya atas
salah satu dari dua transaksi. Jika ia memisahkannya atas salah satu dari kedua
transaksi tersebut maka tidak apa-apa selama akadnya jatuh pada salah satu dari
keduanya. Asy Syafi'i berkata; Termasuk makna dari larangan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tentang dua transaksi dalam satu kali jual beli adalah
perkataan seseorang; Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan
syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah
menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu, tata cara jual beli
seperti ini berbeda dengan tata cara jual beli barang yang tidak diketahui
harganya dan salah satu dari keduanya (penjual dan pembeli) tidak mengetahui
tansaksi yang ia tujukan.
JALUR SANAD
|
Biodata Perowi dan Pendapat Ulama :
Nama
Lengkap : Abdur Rahman bin Shakhr
Kalangan :
Shahabat
Kuniyah :
Abu Hurairah
Negeri
semasa hidup : Madinah
Wafat : 57
H
|
|
Nama Lengkap
: Abdullah bin 'Abdur Rahman bin 'Auf
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Abu Zur'ah
|
tsiqah
imam
|
Ibnu
Hibban
|
Tsiqah
|
Kalangan : Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah :
Abu Salamah
Negeri
semasa hidup : Madinah
Wafat : 94 H
Nama Lengkap
: Muhammad bin 'Amru bin 'Alqamah bin Waqash
Kalangan :
Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah :
Abu 'Abdullah
Negeri
semasa hidup : Madinah
Wafat : 145
H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Abu Hatim
|
shalihul
hadits
|
An Nasa'i
|
laisa bihi
ba`s
|
Abu Ahmad
bin Adi
|
shalihul
hadits
|
Ibnu
Hibban
|
disebutkan
dalam 'ats tsiqaat
|
Yahya bin
Ma'in
|
Tsiqah
|
Ibnu
Mubarak
|
laisa bihi
ba`s
|
Ibnu Hajar
al 'Asqalani
|
Shaduuq
|
Nama
Lengkap : Abdah bin Sulaiman
Kalangan :
Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah :
Abu Muhammad
Negeri
semasa hidup : Kufah
Wafat :
187 H
|
|
Nama
Lengkap : Hannad bin As Sariy bin Mush'ab
Kalangan :
Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
Kuniyah :
Abu As Sariy
Negeri
semasa hidup : Kufah
Wafat :
243 H
|
|
Analisa Matan :
قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ
فِي بَيْعَةٍ
Artinya : Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam melarang melakukan dua penjualan dalam satu
kali transaksi.
Hadist diatas diperkuat oleh
hadist – hadist di bawah ini:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَيَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالُوا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَة
(Nasa’I - 4553)Telah mengabarkan kepada kami 'Amru bin Ali dan Ya'qub bin Ibrahim dan Muhammad bin Al Mutsanna mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Amru, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari dua jual beli dalam satu akad jual beli.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ وَعَنْ بَيْعٍ وَسَلَفٍ وَعَنْ رِبْحِ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَعَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
(Ahmad - 6339) Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Hanafi telah menceritakan kepada kami Adl-dlahhak bin Utsman dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam melarang dua penjualan dalam satu transaksi, dan dari menjual dengan meminjamkan, dan dari keuntungan dari barang yang tidak dapat dijamin, dan dari menjual yang tidak ada padamu."
Tarjih
Dari ketiga pendapat di atas,
pendapat yang kuat (rajih)
menurut saya
adalah pendapat ketiga, yaitu pendapat yang mengharamkan
multiakad. Alasan pentarjihannya adalah sebagai berikut :
Pertama,
telah terdapat dalil-dalil hadis yang dengan jelas melarang penggabungan dua
akad atau lebih ke dalam satu akad. Di antaranya adalah hadis Nabi SAW
bahwa :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ وَعَنْ بَيْعٍ وَسَلَفٍ وَعَنْ رِبْحِ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَعَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
(Ahmad - 6339) Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Hanafi telah menceritakan kepada kami Adl-dlahhak bin Utsman dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam melarang dua penjualan dalam satu transaksi, dan dari menjual dengan meminjamkan, dan dari keuntungan dari barang yang tidak dapat dijamin, dan dari menjual yang tidak ada padamu." (HR. Ahmad, hadist shahih)
Imam Taqiyuddin An Nabhani,
menjelaskan bahwa yang dimaksud dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi shafqah
wahidah) dalam hadis itu, artinya adalah adanya dua akad dalam satu
akad. Misal menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual
beli digabung dengan akad ijarah.
Pendapat
yang menyatakan bahwa penggabungan akad (multiakad) hanya haram jika disertai
unsur keharaman, tidak dapat diterima. Sebab dalil-dalil yang melarang
penggabungan akad bersifat mutlak. Artinya, baik disertai unsur keharaman
maupun tidak, penggabungan akad itu tetap haram. Seperti penjelasan hadist yang
diriwayatkan dalam Musnad Ahmad diatas.
Nash di atas mengungkapkan lafal shafqataini fi shaqah wahidah
(dua kesepakatan dalam satu kesepakatan) secara mutlak, yakni tanpa disertai
batasan atau sifat tertentu, misalnya kesepakatan yang disertai hal-hal yang
haram. Jadi yang dilarang adalah penggabungan akad, secara mutlak. Tanpa
melihat lagi apakah penggabungan akad ini disertai keharaman atau tidak.
Pemahaman
nash yang demikian itu didasarkan pada kaidah ushul fiqih yang menyebutkan : al-muthlaqu yajri ‘ala
ithlaqihi maa lam yarid dalil at-taqyid (lafal mutlak tetap dalam
kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya).
Dalam hal ini tidak terdapat nash
yang memberikan taqyid
(batasan) pada kemutlakan nash-nash tersebut, sehingga dengan demikian
penggabungan akad secara mutlak adalah haram baik disertai unsur keharaman atau
tidak.
Kedua,
kaidah fiqih yang dipakai pendapat yang membolehkan, yaitu al-ashlu fi al-muamalat
al-ibahah tidak tepat. Karena ditinjau dari asal usul kaidah itu,
kaidah fiqih tersebut sebenarnya cabang dari (atau lahir dari) kaidah fiqih
lain yaitu :
الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم
Artinya : “Hukum
asal segala sesuatu adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan.”
Padahal kaidah fiqih tersebut (al-ashlu fi al-asy-ya`
al-ibahah), hanya berlaku untuk benda (materi), tidak dapat
diberlakukan pada muamalah. Sebab muamalah bukan benda, melainkan serangkaian
aktivitas manusia. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk benda, Sebab nash-nash
yang mendasari kaidah al-ashlu
fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah : 29)[2]
berbicara tentang hukum benda (materi), misalnya hewan atau tumbuhan, bukan
berbicara tentang mu’amalah seperti jual beli.
Ketiga, kaidah
fiqih al-ashlu fil
muamalat al-ibahah juga bertentangan dengan nash syara’ sehingga
tidak boleh diamalkan. Nash syara’ yang dimaksud adalah hadits-hadis Nabi SAW
yang menunjukkan bahwa para sahabat selalu bertanya lebih dahulu kepada
Rasulullah SAW dalam muamalah mereka. Kalau benar hukum asal muamalah itu
boleh, tentu para shahabat akan langsung beramal dan tak perlu bertanya kepada
Rasulullah SAW. Sebagai
contoh, perhatikan hadits yang menunjukkan sahabat bertanya kepada Rasulullah
SAW dalam masalah muamalah sebagai berikut :
عن حكيم بن حزام رضي الله عنه أنه قال قلت يا رسول الله إني
أشتري بيوعاً فما يحل لي منها وما يحرم عَلي قال : فإذا اشتريت بيعاً فلا تبعه حتى
تقبضه
Dari
Hakim bin Hizam RA, dia berkata,”Aku bertanya,’Wahai Rasulullah SAW,
sesungguhnya aku banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagiku dan yang
haram bagiku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Jika kamu membeli suatu barang, jangan
kamu menjualnya lagi hingga kamu menerima barang itu.” (HR Ahmad).
Dalam hadis di atas jelas sekali
bahwa sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah
sebelum berbuat. Andai kata
benar hukum asal muamalah itu boleh, tentunya sahabat tersebut langsung saja
melakukan muamalah dan tidak usah repot-repot bertanya kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian hadis Hakim bin Hizam RA ini dengan jelas menunjukkan bahwa
kaidah al-ashlu fi
al muamalat al-ibahah adalah kaidah yang batil.
[2] هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى
السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (29)
29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar