BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah hukum adat
adalah istilah dalam bahasa belanda adatrecht[1]. Berdasarkan pendapat ter haar dalam pidato
dies natalis rechthogeschool - batavia 1937 yang berjudul het adatrecht van
nederlandsch indie in wetenchap, pracktijk en onderwijs menyatakan bahwa[2]:
Terlepas dari
bagian hukum adat yang tidak penting, terdiri dari peraturan desa, dab
surat perintah raja, maka hukum adat itu adalah seluruh peraturan yang
ditetapkan dalam keputusan - keputusan dengan penuh wibawa dan yang dalam
pelaksanaannya diterapkan begitu saja, artinya bahwa tanpa adanya
keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali.
dengan demikian dapat dikatan bahwa hukum adat yang berlaku itu hanyalah
diketahui dan dikenai dari putusan – putusan para fungsionaris hukum dalam
masyarakat itu, kepala – kepala, hakim - hakim, rapat – rapat desa, wali tanah,
pejabat – pejabat agama, dan pejabat – pejabat desa, sebagaimana hal itu
diputuskan di dalam dan di luar
sengketa resmi, putusan – putusan mana yang langsung tergantung dalam ikatan –
ikatan struktural dan nilai - nilai dalam masyarakat, dalam hubungan satu sama
lain, dan ketentuan timbal balik.
Berdasarkan pendapat
tersebut melahirkan sebuah teori keputusan. Maka, hukum adat dapat diartikan
sebagai seluruh keputusan para pejabat hukum, baik hakim desa, kerapatan desa,
hakim, pejabat agama dan pejabat desa yang memiliki kewajiban dan dipatuhi
secara serta merta oleh masyarakat hukum adatnya. Keputusan tersebut memiliki
nilai kerohanian, nilai – nilai kemasyarakat yang hidup dalam sebuah
persekutuan hukum adat[3].
Keputusan yang ambil
oleh hakim dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi yang disebut dengan
yurisprudensi. Sebelum hakim menjatuhkan keputusannya dalam menyelesaikan
masalah tersebut, hakim berpedoman pada hukum tertulis, jika dalam hukum
tertulis tidak ditemukan
penyelesaiannya, maka hakim dapat mencari penyelesaian dalam hukum tidak tertulis atau dalam hal ini
disebut juga hukum adat. Dimana dalam hukum adat terdapat sebuah hukum yang
hidup dimasyarakat dan masyarakat dalam
berperilaku masih berpedoman pada hukum adat itu.
Jika hukum adat yang
dipakai dalam keputusan hakium atau yurisprudensi akan terkesan lebih relevan
karena kehidupan yang dijalani masyarakat itu sendiri. Dikarenakan hukum adta
tersebut telah menjadi nilai – nilai di masyarakat yang dianut dan dihormati,
yang paling penting hukum adat tersebut melekat dan berkembang mengikuti zaman.
Sehingga mampu menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa pengertian hukum adat ?
- Apa hubungan hukum adat dan
yurisprudensi?
1.3 Tujuan
Mengetahui bagaimana
hukum adat menjadi sumber dari yurisprudensi.
2.1
Pengertian Hukum Adat
Soepomo berpendapat bahwa istilah
hukum adat digunakan sebagai sinonim dari hukum tidak tertulis dalam peraturan
legistatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan – badan Negara, dewan
propinsi dan sebagainya yang timbul karena putusan – putusan hakim, hukum yang
hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup,
baik di kota – kota maupun di desa – desa, semua ini merupakan adat atu hukum
yang tidak tertulis menurut pasal 32 UUDS 1950[4].
2.2
Pengertian Yurisprudensi
Kata Yurisprudensi berasal dari
bahasa latin Yurisprudentia yang diambil dari kata Yuriprudens yang artinya
adalah sarjana hukum. Secara umum Yurisprudensi berarti peradilan dan secara
khusus berarti ajaran hukum yang tersusun dari dan di dalam peradilan, yang
kemudian dipakai sebagai landasan hukum[5].
Menurut Sudikno Mertokusumo,
mengatakan bahwa yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya yaitu pelaksanaan
hukum dalam hal konkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan
yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa
atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan
berwibawa. Di samping itu, yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau
doktrin yang dimuat dalam putusan[6].
Dengan demikian, yurisprudensi
adalah merupakan sumber hukum lain yang dapat membantu pembentukan hukum.
Karena itu, yurisprudensi yang lahir dari adanya putusan hakim dalam suatu
kasus tertentu dapat dijadikan dasar hukum atau sumber hukum untuk
menyelesaikan kasus – kasus yang serupa di kemudian hari[7].
2.2.1 Jenis
– Jenis Yurisprudensi
1. Yurisprudensi tetap, ialah keputusan hakim yg terjadi karena rangkaian
keputusan yang serupa dan dijadikan dasar atau patokan untuk memutuskan suatu
perkara. (standart arresten)
2. Yurisprudensi tidak tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan
menjadi dasar bagi pengadilan.
2.3
Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum Nasional
Dari sudut pandang
sejarah dan budaya, masyarakat indonesia adalah masyarakat yang agraris dan
hingga saat ini walaupun industrialisasi sudah menjadi tuntutan dari masyarakat
di era modernisasi, namun sebagian besar dari masyarakat indonesia masih
mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang berlaku dalam kehidupan sehari –
hari.
Eksistensi hukum adat
dan masyarakat adat dalam persaingan global, maka hukum adat sebagai bagian
hukum yang hidup haruslah ada dan hidup secara berdampingan dengan hukum
nasional yang ada. Ada empat syarat yuridis diberlakukan bagi eksistensi hukum
adat, yaitu:
1. Sepanjang
masih hidup
Kita tidak semata –
mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan
menyelami perasaan masyarakat setempat (pendekatan partisipatif). Selama hukum
adat masih berkembang dalam masyarakat sebagai hukum sehari – hari, maka hukum
adat ini dapat digunakan hakim sebagai salah satu pertimbangan saat memutuskan
perkara atau masalah.
2. Sesuai
dengan perkembangan masyarakat
Syarat ini mengandung
resiko untuk memaksakan kepentingan raksasa atas nama “perkembangan
masyarakat”. Tidak memberi peluang untuk membiarkan dinamika masyarakat
setempat berproses sendiri secara bebas[8].
Ini berarti, hukum adat harus sesuai dengan hukum yang berkembang dalam
masyarakat dan bukan hukum yang berkembang karena adanya perubahan yang
dilakukan oleh sekelompok atau pembangunan ataupun gerakan sosial masyarakat.
3. Sesuai
dengan prinsip NKRI
Kelamahan paradigma ini
melihat NKRI dan masyarakat adat sebagai dua antitas (wujud) yang berbeda dan
berhadap – hadapan.
4. Diatur
dalam undang – undang
Pengertian diatur dalam
undang- undang berarti bahwa pengaturan masyarakat hukum adat tidak harus
dengan satu undang-undang tersendiri, tetapi dapat diatur dalam suatu
undang-undang yang terkait, misalnya undang-undang tentang pemerintahan daerah.Di dalam undang- undang tersebut,di
samping kriteria kesatuan masyarakat hukum adat,juga harus diatur hak-hak
masyarakat hukum adat,lembaga yang berwenang menentukan serta bagaimana
mekanisme penentuannya.
Dewasa ini, pemerintah
indonesia masih mengabaikan hak – hak masyarakat hukum adat dan tidak diberikan
kesempatan pengelolaan hutan di daerah tempat tinggal mereka. Padahal landasan
konstitusi tentang masyarakat hukum adat sudah lama ada. Dalam UUD 1945 pasal
18 B ayat 2, Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang –
Undang[9].
2.4
Hubungan Hukum Adat dengan Yurisprudensi
Sistem hukum yang
berlaku bagi bagian terbesar dari masyarakat indonesia adalah hukum adat. Ini
dibuktikan bahwa sebagian besar masyarakat indonesia masih banyak tunduk pada
hukum adat, walaupun untuk bidang – bidang tertentu dari hukum adat itu[10].
Artinya, masyarakat menganggap bahwa hukum yang menjadi patokan untuk
berperilaku adalah hukum adat.
Kalau dalam hukum adat
juga berlaku secara prespektif , hukum adat menjadi dasar bagi keputusan –
keputusan badan – badan peradilan resmi atau peraturan perundang – undangan,
yang mengakui hukum adat sebagai dasarnya. Namun, sebaliknya juga membatasi
berlakunya hukum adat, misalnya Undang – undang No. 5 Tahun 1960 atau dikenal
dengan undang – Undang Pokok Agraria.
Undang – undang ini
merupakan seperangkat kaidah hukum tertulis yang sah secara yuridis, tetapi
masih menjadi pernyataan tentang keefektifannya dalam masyarakat. Dengan
demikian, hukum adat masih tetap berlaku secara deksriptif, secara prespektif,
berlakunya dibatasi.
Hukum adat masih
bersifat deksriptif, karena peraturan dalam hukum adat seperti perundang –
undangan yang berlaku secara yuridis formal belum tentu dianggap adil, meskipun
hukum adat dianggap sebagai hukum yang hidup. Sebab, ada hukum adat yang
diberlakukan secara paksa oleh penguasa adat, ada hukum yang diberlakukan
secara kolektiva, ada yang secara sukarela mentaati hukum adat oleh masyarakat.
Konsep yuridis masyarakat adat indonesia dapat ditinjau dari
kewenangan hak ulayat masyarakat adat ke luar dan ke dalam. Hak ulayat ke dalam
dapat diartikan bahwa hanya masyarakat adatlah yang dapat melakukan perbuatan
hukum di lingkungan hukumnya dan dapat mengambil keuntungan dari lingkungan
adatnya.
Kewenangan ke luar
masyarakat hukum adat dapat diartikan sebagai pernyataan bagi pihak luar
masyarakat hukum adat tersebut untuk tidak mengambil keuntungan terhadapnya[11]. Maka dapat disimpulkan bahwa kewengan hukum
muncul bagi masyarakat adat untuk melakukan perbuatan hukum sebatas pada
wilayah kesatuan.
Dalam pengertian
yurisprudensi yang dikemukakan oleh Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara
Perdata, bahwa putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan
perkembangan hukum perkembangan hukum, sehingga perkara yang diputus berkaitan
erat dengan perubahan sosial dan kondisi ekonomi[12].
Ini berarti hakim selalu mengambil keputusan menurut putusan – putusan dalam
perkara yang sama dimasa lalu, maka hakim telah berperilaku hukum adat.
2.4.1
Hukum Adat dalam Peradilan
Dalam pasal 25 ayat 1
UU No. 4 Tahun 2004, yang menegaskan putusan pengadilan[13]:
1.
harus memuat pasal – pasal peraturan
perundang – undangan yang bersangkutan atau,
2.
sumber hukum tidak tertulis.
Dipertegas lagi dalam
Pasal 27 ayat 1 serta dalam penjelasannya yang mengatakan, oleh karena
indonesia masih mengenal hukum tidak tertulis, hakim berfungsi perumus dan
penggalinya dari nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu,
hakim harus terjun ke tengah – tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan
mampu menyelami perasaan hukum.
Dalam melaksanakan
pemeriksaan perkara berdasarkan pasal 75 ayat 3 dan ayat 6 RR lama, Hakim dapat
mengesampingkan hukum adat apabila:
- hukum adat itu bertentangan dengan dasar – dasar
keadilan yang umum diakui, atau
- jika tidak ada aturan hukum adatnya maka dasar –
dasar hukum Eropah dapat dipakai sebagai pedoman.
2.4.2
Hukum
Adat Kurang Menjamin Kepastian Hukum
Ada golongan yang
berpendapat bahwa memandang hukum adat sebagai hukum yang sudah ketinggalan
yang harus ditinggalkan dan diganti dengan peraturan – peraturan hukum yang
lebih modern. Berbagai argumen yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat golongan
ini diantaranya[14]:
a) hukum
adat adalah hukum dari rakyat yang masih primitif sehingga tidak seyogianya
untuk dijadikan dasar dan diberlakukan kepada mereka atau masyarakat yang sudah
maju yang pada umumnya hanya kita jumpai pada masyarakat pedesaan yang hidupnya
jauh dari kota besar. Hukum adat tumbuh dan berkembang di Desa, sedangkan di
kota banyak ditinggalkan.
b) Hukum
adat yang bersendikan atas tradisi banyak menghambat perkembangan kemajuan
masyarakat karena hukum adat dengan segala sifat kekolotannya sukar untuk
menerima proses pembaharuan dan menerima hal- hal yang banyak diperlukan dalam
kehidupan modern dan tidak cocok dengan keadaan modern.
c) Hukum
adat yang sifatnya tidak tertulis adalah kurang memberikan jaminan kepastian
hukum bilamana dibandingkan dengan ketentuan- ketentuan hukum yang tertulis,
karena sulit untuk diketahui kaidah- kaidah nya.
2.5
Cara Menyelesaikan Konflik pada Masyarakat Adat
Sengketa dan konflik
merupakan sebuah fenomena sosial di dalam pergaulan di masyarakat. Dalam masyarakat
adat, konflik yang timbul biasanya diselesaikan dengan cara – cara perdamaian.
Menurut Nader dan Todd, ada beberapa cara / tahapan yang biasa dilakukan
seseorang dalam menyelesaikan konflik / sengketa yang dihadapinya, yaitu[15]:
1.
Membiarkan Saja
Dalam
tahapan ini, pihak yang merasa diperlakukan tidak adil.dirugikan gagal dalam
upaya menekan tuntutannya. Ia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja
masalah / isu yang menimbulkan tuntutannya dan ia meneruskan hubungan –
hubungannya dengan pihak yang dirasakan merugikannya.
2. Mengelak
Pada tahap ini, pihak
yang merasa dirugikan memilih untuk mengurangi hubungan – hubungan dengan pihak
yang merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut.
3. Paksaan
Tahapan selanjutnya,
yaitu paksaan dimana salah satu pihak memaksakan pemecahan kepada pihak lain.
4. Perundingan
Pada tahapan
perundingan, dua pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan.
Pemecahan dan permasalahan yang mereka hadapi dilakukan oleh mereka berdua,
mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang mencampuri.
5. Mediasi
Dalam cara ini, pihak
ketiga yang membantu kedua pihak yang berselisih pendapat untuk menentukan
kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh pihak kedua yang
bersengketa atau ditunjuk oleh orang yang berwenang untuk itu.
6. Abritrase
Kedua belah pihak yang
bersengketa sepakat untuk meminta perantara pihak ketiga, arbitrator dan sejak
semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan arbitrator.
7. Peradilan
Pihak ketiga mempunyai wewenang
untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak yang
bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat dan menegakkan keputusan itu
artinya bahwa keputusan berupa pelaksanaan.
2.6
Hukum Adat dalam Yurisprudensi
Hukum adat itu baru
mempunyai nilai hukum bilamana ia dilahirkan melalui yurisprudensi karena
adanya penetapan tersebut maka kaidah adat memperoleh sanksi hukum untuk dapat
dipertahankan melalui pengadilan sebagaimana pendapat Soepomo yang memberikan
pengertian bahwa hukum yang timbul karena putusan – putusan hakim[16].
Kedudukan hukum adat
dalam yurisprudensi tidak dapat kita temui adanya ketentuan yang tegas oleh
karena yurisprudensi di lapangan hukum adat telah merupakan dan membimbing
perkembangan hukum adat sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat. Dalam keputusan mengenai hukum adat dalam putusan hakim disebutkan[17]
:
a.
Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan
kewarisan lebih dikembangan kearah hukum yang bersifat bilateral /
parental memberikan kedudukan yang
sederajat antara pria dan wanita.
b.
Dalam rangka pembinaan hukum perdata
nasional, hendaklah diadakan publikasi yurisprusdensi yang teratur dan tersebar
luas.
c.
Dalam hal terdapat pertentangan antara
perundang – undang dan hukum adat hendaknya hakim memutuskan berdasarkan undang
– undang bijaksana.
d.
Demi terbinanya hukum perdata nasional
yang sesuai dengan politik hukum negara kita, diperlukan hakim – hakim yang
berorientasi kepada pembinaan hukum.
e.
Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan
tiap masyarakat karena itu tiap sengketa hukum hendaklah diusahakan didamaikan.
[1] Bushar Muhamnad. Asas Hukum
Adat, Suatu Pengantar Ct. II (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2002), 1
[2] Ibid, 8
[3] Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad.
Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. (Jakarta: Salemba Humanika,
2010), 10
[4] Bushar Muhammad. Asas – Asas
Hukum Adat, Suatu Pengantar, cet II (Jakarta : Pradya Paramitha, 2002), 1
[5] Hilman Hadikusuma. Peradilan
Adat di Indonesia. (Jakarta: Miswar, 1989), 35
[6] Sudikno Mertokusumo. Sejarah
Peradilan dan Perundang – Undangannya di Indonesia Sejak 1942. (Yogyakarta:
Liberti, 1983), 179
[7] Dewi Wulansari. Hukum Adat
Indonesia: SuatuPengantar. (Bandung: PT Refika Aditama, 2012) 132
[8] Satjipto Raharjo. Hukum Adat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Perpekstif Sosiologi Hukum. Dalam buku
“Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi dan Perlindungan Hak, (Jakarta: KOMNAS
HAM, MK dan Departemen dalam Negeri, 2005),
[9]
http://www.antaranews.com/berita/452714/komnas-ham-masyarakat-hukum-adat-kehilangan-haknya
[10] Soejono Soekanto. Kedudukan dan
Peranan Hukum Adat di indonesia. (Jakarta: Kurnia Esa, 1982), 13
[11] Boedi Harsono. Hukum Agraria
Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 2003), 187
[12] Yahya Harahap. Hukum Acara
Perdata : tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan
pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 830
[13] Yahya Harahap. Hukum Acara
Perdata : tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan
pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 826
[14] Abdurrahman. Kedudukan Hukum
Adat dalam Rangka Pembangunan Nasional.
(Bandung: Alumni, 1978), 103 - 104
[15] T.O Ihromi. Antropologi Hukum
Sebuah Bunga Rampai. (Jakarta: Obor Indonesia, 2001), 210-211
[16] Soepomo. Kedudukan Hukum Adat
dikemudian hari. (Yogyakarta: Pustaka Rakyat, 1947), 30
[17] Abdurrahman, Kedudukan Hukum
Adat dalam Rangka Pembangunan Nasional.
(Bandung: Alumni, 1978), 130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar