BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk
sosial yang tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat, yang selalu
mengadakan kontak dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah.
Contohnya, Manusia selalu melakukan jual beli untuk mendapatkan barang – barang
yang dibutuhkan untuk memenuhi kehidupannya. Hubungan antar sesama manusia
khususnya dalam bidang harta kekayaan biasanya diwujudkan dalam bentuk
perjanjian (akad).
Sebuah perjanjian (akad) dilakukan
manusia hampir setiap hari, seperti sewa menyewa, jual beli, dan lain
sebagainya. Sebuah akad mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu akad. Singkatnya dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian islam
memegang peranan penting dalam pelaksanaan muamalah yang
menyangkut ekonomi islam.
- Rumusan Masalah
Dalam masalah utama kali ini, dapat dirumuskan beberapa identifikasi
masalah sebagai berikut:
·
Apa pengertian akad?
·
Apa saja yang termasuk dalam rukun
dan syarat melakukan akad?
·
Apa saja klasifikasi dari asas dalam
akad?
- Tujuan
Mengetahui Asas akad dalam Islam, dengan rukun dan syarat yang benar –
benar sesuai dengan hukum Islam dalam berakad (melakukan perjanjian).
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Akad .
Istilah perjanjian dalam hukum
Indonesia, dan akad dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari kata al – ‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau
menghubungkan (ar - rabt)[1].
الرَّبْطُ هُوَ جَمْعُ طَرْفَى
حَبْلَيْنِ وَيَشُدُّ أَحَدُهُمَا بِالآخَرِ حَتَّى يَتَّصِلاَ فَيُصْبِحَا
كَقِطْعَةٍ وَاحِدَةٍ
Artinya : “Rabath (mengikat) yaitu mengumpulkan
dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain hingga
bersambung lalu keduanya menjadi satu benda”.
Sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa
definisi akad, sebagai berikut:
1. Menurut Pasal 262 Mursyid
al-Hairan, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak
dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada obyek akad[2].
2. Menurut Prof. Dr. Syamsul
Anwar[3]
mengatakan, akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak
dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada obyaknya.
Dari definisi kedua pendapat diatas
dapat ditarik kesimpulan yaitu:
(1) akad merupakan keterkaitan
atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab
adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan kabul adalah jawaban
persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran
pihak yang pertama. Akad tidak akan terjadi apabila pernyataan kehendak
masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karena akad adalah keterkaitan
kehendak kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul.
(2) akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena
akad adalah pertemuan ijab yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak dan
kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Konsepsi akad sebagai tindakan dua
pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum Islam modern.
(3) tujuan akad adalah untuk
melahirkan suatu akibat hukum atau maksud bersama yang dituju dan yang hendak
diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad. Tujuan akad untuk akad
bernama[4]
sudah ditentukan secara umum oleh Pembuat Hukum, sementara tujuan akad untuk
akad tidak bernama[5] ditentukam oleh pihak sendiri sesuai dengan
maksud mereka menutup akad.
Dalam ketentuan pasal 1 ayat 3
dikemukakan bahwa akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran)
dan qabul (penerimaan) antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan
kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.
- Rukun dan Syarat Akad
a.
Rukun Akad
Rukun adalah unsur – unsuryang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu
terwujud karena adanya unsur – unsur tersebut yang membentuknya.Berikut ini
beberapa Rukun yang membentuk akad:
1. Para pihak yang membuat akad (al – ‘aqidan)
Rukun pertama akad adalah adanya para pihak yang
membuat akad, para pihak harus memenuhi dua syarat; (1) memiliki tingkat
kecakapan hukum yang disebut tamyiz, dan (2) adanya berbilang pihak (lebih dari
satu pihak), suatu akad tidak mungkin tercipta jika hanya ada satu pihak saja.
2. Pernyataan
kehendak para pihak (Shighat
al-aqad)
Rukun
kedua akad adalah pernyataan kehendak para pihak mempunyai dua syarat: (1)
adanya persetujuan ijab (penawaran) dan qobul (penerimaan) yang menandai adanya
persesuaian kehendak sehingga terwujud kata sepakat dan (2) persesuaian
kehendak (kata sepakat) itu dicapai dalam satu majelis yang sama (kesatuan
majelis akad). Hal ini harus dicapai tanpa adanya paksaan atau secara bebas.
3.
Obyek Akad (Al-ma`qud
alaih/mahallul -`aqad)
Rukun ketiga akad adalah Obyek
akad yang mempunyai syarat: (1) objek akad dapat diserahkan dan dapat
dilaksanakan, (2) objek akad harus tertentu atau dapat ditentukan, dan (3) objek
akad dapat ditransaksikan, artinya dapat diserahkan. Tidak menimbulkan atau
mengandung ghoror dan bebas dari riba.
4. Tujuan akad (Maudhu` al-`aqad)
Tujuan akad ini ditandai
dengan beberapa karateristik: (1) bersifat objektif, (2) menentukan jenis
tindakan hukum, (3) merupakan fungsi hukum dari tindakan hukum, bahwa ia
membentuk sasaran hukum.
Rukun akad yang utama adalah
ijab qabul, syarat yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subjek dan objek
dari suatu perjanjian. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ijab dan
qabul mempunyai akibat hukum adalah:
1.
Ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya telah mencapai umur yang tamyiz
yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan hingga ucapannya itu
benar-benar menyatakan keinginan hatinyaa. Dengan lata lain dilakukan oleh
orang yang cakap melakukan tindakan hukum.
ijab dan qabul harus tertuju pada suatu objek yang
merupakan objek perjanjian.
2.
Ijab dan qabul harus berhubungan
langsung dalam suatu majelis apabila dua belah pihak sama-sama hadir.
Rukun yang disebutkan di atas harus ada untuk
terjadinya akad. Para ahli hukum sepakat bahwa rukun adalah unsur yang
membentuk subtansi sesuatu. Akan tetapi, ketika pengertian itu diterapkan
secara nyata kepada akad, terjadi perbedaan tentang unsur mana saja yang
merupakan bagian yang membentuk akad.
Bagi mazhab Hanafi yang dimaksud dengan rukun akad
adalah unsur – unsur pokok yang membentuk akad. Menurut mazhab ini, akad adalah
pertemuan kehendak para pihak dan kehendak itu diungkapkan melalui pernyataan
kehendak yang berupa ucapan atau bentuk ungkapan lain dari masing – masing
pihak. Rukun hanyalah subtansi internal yang membentuk akad, yaitu ijab dan
kabul saja.
b. Syarat Akad
Syarat – Syarat yang terkait
dengan rukun akad ini disebut syarat terbentuknya akad, ada 8 yaitu:
1. tamyiz
2. berbilang pihak
3.
persetujuan ijab (penawaran) dan qobul (menerima)
4.
kesatuan majelis akad
5.
obyek akad dapat diserahkan
6. obyek akad tertentu atau dapat
ditentukan
7. obyek akad dapat
ditransaksikan
8. tujuan akad tidak
bertentangan dengan syarak.
Jika dilihat dari Syarat –
Syarat keabhasan Akad, Syarat – Syaratnya dibedakan menjadi dua yaitu, syarat –
syarat keabhasan umum yang berlaku
terhadap semua akad atau paling tidak berlaku terhadap kebanyakan akad, dan
syarat – syarat keabhasan khusus yang berlaku bagi masing – masing aneka akad
khusus. Rukun pertama, yaitu para pihak, dengan 2 syarat terbentuknya, yaitu
tamyiz dan berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna.
Rukun kedua, yaitu pernyataan
kehendak, dengan kedua syaratnya, juga tidak memiliki sifat penyempurna, namun menurut
mayoritas ahli hukum Islam syarat kedua dari rukun kedua ini memerlukan
penyempurna yaitu, persetujuan ijab dan kabul itu harus dicapai secara bebas
tanpa paksaan. Rukun ketiga, yaitu obyek akad, dengan tiga syaratnya menerlukan
sifat penyempurna.
- Asas – Asas Hukum Akad (Perjanjian) Islam
a. Al-hurriyah (kebebasan)
Asas ini merupakan prinsip
dasar dalam hukum perjanjian Islam, dalam artian para pihak bebas membuat suatu
perjanjia atau akad, bebas menentukan objek perjanjiandan bebas menentukan
dengan siapa ia akan membuat perjanjian, serta bebas menentukan bagaimana cara
menentukan penyelesaian dikemudian hari.
Asas kebebasan berkontrak di
dalam hukum Islam dibatasi oleh ketentuan syariah Islam, dalam membuat
perjanjian tidak boleh ada paksaan, kekhilafan, dan penipuan.
b.
Al-musawah (persamaan atau
kesetaraan).
Asas ini mengandung pengertian
bahwa pihak-pihak mempunyai kedudulan yang sama, sehingga dalam menentukan term
and condition dari suatu akad/perjanjian setiap pihak mempunyai kesetaraan atau
kedudukan yang seimbang.
c.
Al-`adalah (keadilan).
Pelaksanaan asas ini dalam
suatu perjanjian meuntut para pihak untuk melakukan yang benardalam
pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajibannya. Perjanjian
harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, serta tidak
boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak.
d.
Ar-ridha (kerelaan).
Asas ini menyatakan bahwa
segala transaksi yangdilakukan harus atas berdasarkan kerelaan masing-masing
pihak, haurs didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh
ada unsur paksaan, tekanan,penipuan,
e.
Ash-shidiq (kebenaran dan
kejujuran).
Bahwa sisalam Islam setiap
orang dilarang melakukan kebohongan dan penipuan, karena dengan adanya penipuan
sangat berpengaruh dalam keabsahan perjanjian, perjanjian yang didalamnya
mengandung unsur kebohongan memberikan hak kepada pihak lain untuk menghentikan
proses pelaksanaan perjanjian tersebut.
f.
Al-kitabah (tertulis).
Bahwa setiap perjanjian
hendaknya dibuat secara tertulis, lebih berkaitan demi kepentingan pembuktian
jika dikemudian hari terjadi sengketa.
- Klasifikasi Akad
Adapun klasifikasi hukum perjanjian Islam adalah
sebagai berikut:
1.
Akad dilihat dari segi
keabsahannya, terdiri dari :
a.
Akad shahih, yaitu akad yang memenuhi rukun dan syaratnya, sehingga seluruh
akibat hukum yang ditimbulkan itu berlaku mengikat bagi pihak-pihak yang
berakad.
b. Akad tidak shahih, yaitu akad yang
terdapat kekurangan pada rukun atau syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum
akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
2.
Akad yang dilihat dari sifat
mengikatnya, terdiri dari :
a. Akad yang mengikat secara pasti, artinya
akad yang tidak boleh di-fasakh
b. Akad yang mengikat secara tidak pasti,
yaitu akad yang dapat di-fasakh oleh satu pihak atau kedua pihak.
3.
Akad dilihat dari bentuknya,
terdiri dari :
a. Akad tifak tertulis, yaituakad yang dibuat
secara lisan saja dan biasanya terjadi pada akad yang sederhana.
b. Akad tidak tertulis, yaitu akad yang
dituangkan dalam bentuk tulisan/akta, akad yang dibuat secara tertulis biasanya
untuk melakukan perjanjian-perjanjian yang komplek atau menyangkut kepentingan
publik.
4.
Akad dalam sektor ekonomi
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Akad tabarru, adalh jenis akad yang
berkaitan dengan transaksi nonprofit, yang termasuk dalam akad tabarru ini
antara lain al-qard, ar-rahn, hiwalah, wakalah, hibah, hadiah, waqaf, dan
sadaqah.
b. Akad mu`awadah, yaitu akad yang bertujuan
untuk mendapatkan imbalan berupa keuntungan, atau dengan kata lain menyangkut
transaksi bisnis yang bermotif untuk memperoleh laba/profit oriented. Yang
termasuk akad mu`awadah antara lain adalah akad yang berdasarkan prinsip jual
beli (al-bay Al-Murabahah dengan mark up, akad salam dan akad isthisna), akad
yang berdasarkan prinsip bagi hasil (Al-mudharabah dan Al-musyarakah), akad
yang berdasarkan prinsip sewa menyewa (ijarah wa isthisna).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Akad adalah pertemuan ijab dan qobul sebagai
pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum
pada obyeknya
Rukun Akad
1. Para pihak yang membuat akad (al – ‘aqidan)
2. Pernyataan kehendak para pihak (Shighat
al-aqad)
3.
Obyek Akad (Al-ma`qud
alaih/mahallul -`aqad)
4. Tujuan akad (Maudhu` al-`aqad)
Syarat – Syarat Akad
1. tamyiz
2. berbilang pihak
3.
persetujuan ijab (penawaran) dan qobul (menerima)
4.
kesatuan majelis akad
5.
obyek akad dapat diserahkan
6. obyek akad tertentu atau
dapat ditentukan
7. obyek akad dapat
ditransaksikan
8. tujuan akad tidak
bertentangan dengan syarak.
Asas dalam sebuah Akad :
b.
Al-musawah (persamaan atau
kesetaraan).
a. Al-hurriyah (kebebasan)
c.
Al-`adalah (keadilan).
d.
Ar-ridha (kerelaan).
e.
Ash-shidiq (kebenaran dan
kejujuran).
f.
Al-kitabah (tertulis).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori
Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Abdulkadir, Muhammad. 1986. Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni
Lubis, Arsyad Thalib. 1963. Ilmu Fiqih. Medan : Islamiyah.
Pasaribu, Chairuman, dan
suhrawardi., 1994. Hukum Perjanjian Dalam
Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Subekti. 1990. Hukum Perjanjian, Cetakan XII. Jakarta :
PT. Intermasa.
Zulkifli, Suharto. 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah.
Jakarta : Zikrul Hakim
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta : Rajawali Pers.
Anshori, Abdul Ghafur. 2006. Pokok - Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Yogyakarta :
Citra Media.
[1] Ahmad Abu Al-fath, 1913. Kitab Muamalat fi
asy-Syari’ah al-islamiyah wa al-Qawanin al-Mishriyyah. hlm. 139
[2] Basya , 1403/1983. Mursyid al-Hairan ila
Ma’rifah Ahwal al-Insan, hlm. 49
[3] Syamsul Anwar, 2007. Hukum Perjanjian Syariah
Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. hlm. 68
[4] Akad
bernama ialah akad yang telah ditentukan namanya oleh Pembuat Hukum dan
ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya. Contohnya:
jual beli (al-ba’i), sewa menyewa)
[5] Akad tidak bernama ialah akad yang tidak
diatur secara khusus dalam kitab – kitab fikih, dan akad ini tidak ada
pengaturan yang mengenainya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar