- Pengertian Tabi’in
Menurut pendapat al-Khatib[1],
mengatakan bahwa Tabi’in adalah orang yang menyertai sahabat, tidak cukup haya
bertemu saja – seperti batasan arti sahabat, mereka cukup hanya bertemu saja
dengan Nabi Muhammad SAW, karena nilai kemuliaan, ketinggian budi Nabi. Berkumpul sebentar dengan Nabi bisa
berpengaruh terhadap Nur Ilahi seseorang. Sedangkan bertemu dengan orang
lainnya tidak (termasuk dengan para sahabat) meskipun waktunya lebih lama.
Sedangkan kebanyakan ahli
hadist berpendapat bahwa, Tabi’in adalah orang yang bertemu sahabat meskipun
tidak berguru kepadanya. Setelah masa kholifah ke empat berakhir, fase
selanjutnya adalah zaman Tabi’in. Secara historis, masa Tabi’in merupakan masa
yang dipenuhi permasalahan. Perkembangan wilayah politik Islam yang semakain
luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan kompleks.
- Sumber - Sumber Hukum Masa Tabi’in
Dalam melakukan ijtiihad, para
ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para sahabat,
meliputi :
1. Al – Qur’an merupakan sebuah
kitab petunjuk dan bimbingan agama secara umum. Oleh karena itu, ketentuan
hukum dalam al – Qur’an tidak bersifat rinci, pada dasarnya ketentuan al –
Qur’an merupakan kaidah – kaidah umum.
2. Sunnah intinya adalah ajaran
– ajaran Nabi SAW yang disampaikan lewat ucapannya, tindakannya, atau
persetujuannya.
3. Ijma’ merupakan kesepakatan
para ulama (ahli hukum yang melakukan penemuan hukum syarak). Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka
berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang dianggap kuat dalilnya.
4. Qiyas merupakan perluasan
ketentuan hukum yang disebutkan di dalam teks al – Qur’an dan Sunnah sehingga
mencangkup kasus serupa yang tidak disebutkan dalam teks kedua sumber pokok itu
berdasarkan persamaan. Untuk sahnya dilakukan qiyas, harus terpenuhinya empat
rukun qiyas:
a. Adanya kasus pokok, yaitu
kasus yang disebutkan di dalam al – Qur’an atau hadist.
b. Adanya ketentuan hukum kasus
pokok
c. Adanya kasus cabang, yaitu
kasus baru yang belum ada ketentuan hukumnya
d. Adanya ’illat bersama, yaitu
alasan hukum yang sama antara kedua kasus bersangkutan.
5. Disamping itu, mereka
menggunakan ra;yu sebagaimana yang dilakukan Sahabat. Dalam penggunaan ra’yu,
mereka menggunakan qiyas, jika mereka menemukan pandanan masalahnya dengan apa
yang terdapat dalam nash. Apabila tidak mungkin, mereka menempatkan kepentingan
umum atau kemaslahatan sebagai rujukan dalam ijtihad.
Setelah masa khalifah
berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in yang pemerintahannya dipimpin
oleh Bani Umayyah. Sampai tahun 132 H / 750 M, dan selebihnya dipegang oleh
Bani Abbasiyah[2]. Pada masa Bani Umayyah
ini menjadi perhatian kepada ilmu pengetahuan memuncak. Periode ini, merupakan
periode keemasan bagi pembentukan hukum (fiqih) Islam, yang kemudian berkembang
dan menghasilkan kekayaan hukum (fiqih) Islam[3].
- Faktor – Faktor yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Perkembangan hukum Islam
ditandai dengan munculnya aliran – aliran politik yang secara implisist
mendorong terbentuknya aliran hukum. Diantara faktor – faktor yang mendorong
perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut:
a. Perluasan wilayah, kekuasaan Islam telah luas. Hingga ke berbagai
daerah yang mempunyai kebiasaan, muamalat dan kemaslahatan yang berbeda. Batas
daerah kekuasaan Islam memanjang ke Timur sampai Cina, dan Barat sampai ke
Andalusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum
Islam karena semakin luas wilayah, maka akan semakin luas pula persoalan hukum
yang harus diselesaikan, maka dari itu Negara ini dan daerah – daerah lain
membutuhkan undang – undang untuk mengatur masyarakatnya. Karena itu,
diperlukan para hakim, kepala pemerintahan dan fatwa- fatwa untuk pedoman
mereka. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para ulama mencurahkan perhatiannya
menggali sumber – sumber syari’at (al - Qur’an dan hadist). Mereka
mengembangkan hukum – hukum yang diperlukan oleh Negara dan kemaslahatan umat,
dari nash – nash syari’st (al – Qur’an dan hadist). Mereka juga menciptakan
metode – metode penetapan hukum untuk menyelesaikan persoalan – persoalan yang
dimungkinkan akan terjadi.
b.
Perbedaan penggunaan ra’yu, munculnya dua aliran yaitu, aliran hadist dan
aliran ra’yu. Aliran hadist adalah golongan yang lebih banyak menggunakan
riwayat dan sangat hati – hati dalam penggunaan ra’yu. Sedangkan, aliran ra’yu
adalah golongan yang lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan hadist. Kemunculan
dua aliran semakin mendorong perkembangan hukum Islam pada saat itu.
c.
Kaum muslimin pada periode ini sangat
antusias ingin mengamalkan ibadah dan muamalat (dalam arti luas) yang benar –
benar sesuai denfgan al – Qur’an dan Sunnah. Karena itu baik secara kelompok
maupun perseorangan, mereka selalu merujuk kepada ahli – ahli ilmu dan hukum,
untuk meminta fatwa – fatwa sesuai dengan al – Qur’an dan Sunnah. Demikian pula
para hakim dan kepala – kepala pemerintahan, mereka selalu meminta pendapat
kepada para mufti dan ulama – ulama pembentuk hukum dalam menangani berbagai
persoalan – persoalan yang mereka hadapi.
d.
Pada masa ini telah timbul penemuan –
penemuan teori atau konsep – konsep hukum yang ditunjang oleh lingkungan tempat
mereka berada, untuk mengembangkan penemuan – penemuan teori atau konsep –
konsep hukum yang telah mereka miliki. Pada masa ini, tercatat dalam sejarah
pemikiran hukum Islam, lahirnya mazhab – mazhab dalam hukum Islam :
1. Mazhab Hanafi
Perintisnya adalah Abu Hanifah an – Nu’man bin Tsabit, berasal
dari keturunan Persia,
lahir di Kufah tahun 80 H (699 M). Ia
belajar ilmu kalam dan hukum Islam di bawah bimbingan Hammat bin Abi Sulaiman. Dasar
pemikirannya, berpijak pada kemerdekaan kehendak, karena menurutnya (Abu
Hanifah) bencana paling besar menimpa manusia adalah pembatasan dan perampasan
terhadap kemerdekaan. Seluruh hukum dan pendapatnya senantiasa berpijak pada
pendirian bahwa kemerdekaan wajib dipelihara, dan dampak negatif dari pembelaan
terhadap kemerdekaan, lebih ringan bencananya daripada pembatasan terhadapnya.[4]
Contohnya, usia nikah bagi wanita ditinjau dari segi haknya. Ia berpendapat
bahwa resiko yang diperbuat oleh wanita muda dalam memilih calon suaminya,
lebih ringan bencananya daripada ia dipaksa untuk menikah dengan laki – laki
yang tidak dikehendakinya.
Selanjutnya, ia
berpendapat bahwa hak individu tidak boleh dihalangi hak orang lain. Sehingga
seseorang dapat menghormati kemerdekaan orang lain dan mempertahankan
kemerdekaannya sendiri dengan cara tidak merusak atau melanggar kemaslahatan
atau kemerdekaan orang lain.
2. Mazhab Maliki
Perintisnya
adalah Malik bin Anas al – Asybahi al – ’Arabi, berasal dari Yaman, lahir di
Madinah tahun 93 H (713 M). Ia terkenal dengan teori kemaslahatan dan
menjadikannya sebagai pertimbangan menetapkan hukum serta sebagai dasar
pengambilan hukum sehubungan dengan masalah yang tidak ada nas al – Qur’an dan
Sunnah yang menunjukkan boleh atau melarang. Dalam menetapkan hukum ia sering
menggunakan konsep tentang sesuatu yang menjadi perantara, yakni sesuatu yang
mendatangkan hal yang halal adalah halal, dan sesuatu yang mendatangkan hal
yang haram adalah haram. Contohnya, Penjualan dengan cara kredit yang dapat
menghilangkan harga asli yang dibayar dengan cara kontan adalah merupakan
perantara terjadinya riba. Karena itu, penjualan secara kredit hukumnya haram
dan penguasa wajib melarangnya. Sebab, penjualan secara kredit itu mestinya
harus menjadi perantara kemudahan, bukan merupakan perantara pemaksaan untuk
melakukan riba dan merupakan pendorong untuk memberikan harga yang lebih besar[5].
Syari’at,
menurut Imam Malik berdiri atas dasar pertimbangan menarik manfaat dan
menjauhkan dari sesuatu yang merupakan jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu,
setiap perbuatan yang menjadi perantara bagi perbuatan lain harus dilihat
akibatnya.
3. Mazhab Syafi’i
Perintisnya
adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i asy –
Syafi’i, berasal dari keturunan Quraisy, lahir di Gaza tahun 159 H (767 M).
Imam Syafi’i membangun struktur hukum Islam berlandaskan empat prinsip dasar
hukum yang disusun secara sistematif, yaitu: al – Qur’an, Sunnah, qiyas, Ijma’.
Menurutnya, konsepsi hukum Islam pada hakikatnya terletak pada ide bahwa hukum
esesinya adalah religius dan berjalin berkelindan secara religius. Kekuatan
hukum islam melebihi kekuatan hukum – hukum ciptaan manusia. Karena memiliki
dasar dan sumber abadi, yaitu wahyu ilahi, karena lafal dan maknanya terhimpun
dalam al – Qur’an dan maknanya saja tetapi lafalnya dari Nabi Muhammad yang
terhimpun dalam hadist.
Sedangkan
qiyas dalam hukum Islam, bukanlah sumber hukum. Hanya berfungsi sebagai metode
penalaran yang bersifat analogis, yakni pengambilan kesimpulan dari suatu
proses hingga sebuah kasus yang dapat dimasukkan dalam prinsip ini, atau
disamakan dengan proses tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang
disebut ’illah. Metode Qiyas dalam pandangan Syafi’i, menurut Abdul Wahhab
Khallaf[6]
bahwa dapat diterapkan jika nas telah memberi petunjuk hukum mengenai suatu kejadian
dan ’illat hukumnya pun telah diketahui dengan cara – cara yang telah
ditentukan untuk mengetahui ’illat hukum, kemudian ’illat di dalam nash sama
seperti ’illat yang ada pada waktu kejadian, maka kejadian itu harus disamakan
dengan kejadian yang ada nash-nya pada ’illat yang seperti ’illat hukum dalam
suatu kejadian. Contoh, dalam al – Qur’an Surat Al – Maidah ayat 90 terdapat
larangan minum khamar. Mengapa dilarang? Dan bagaimana minuman keras yang
dibuat dari bahan lainnya, seperti beras ketan hitam, ketela, dan lain
sebagainya?. Dalam hal ini perlu diteliti illat hukumnya (sebab larangan
minuman keras itu), ialah karena memabukkan, dan dapat merusak saraf otak/akal.
Sudah tentu unsur memabukkan itu terdapat pada semua minuman keras. Karena itu,
dengan metode qiyas, sejenis minuman keras diharamkan.
4. Mazhab Hambali
Perintisnya
adalah Imam Abu ’Abdillah Ahmad bin Hanbal, lahir di Baghdad pada tahun 164 H
(855 M). Ia menetapkan hukum berdasarkan bunyi nash yang terdapat dalam al –
Qur’an , Sunnah dan pendapat atsar para sahabat kemudian qiyas. Ia tidak
menggunakan qiyas kecuali jika tidak menemukan nash dalam al – Qur’an, Sunnah
atau pendapat ulama salaf. Ia sangat ketat dalam segala hal yang berkaitan
dengan ibadah dan hudud (sanksi pidana) yang jenis kadarnya ditentukan Allah
dan Nabi Muhammad, yang merupakan tiang agama, karena ia melihat berbagai
kegiatan bid’ah yang mewarnai kehidupan umat manusia, padahal perbuatan itu
keluar dari batasan agama.
Penetapan
hukum Islam sebgaimana dapat dilihat pada sistem dan cara kerja yang dilakukan
sejak penetapan periode Nabi Muhammad sampai dengan periode Tabi’in menunjukkan
bahwa pada prinsipnya setiap penetapan hukum bertujuan untuk mencapai
kemaslahatan umat manusia di dunia an kebahagiaan di akhirat.
Untuk
mencapai kemaslahatan tersebut, salah satu teori penetapan hukum dalam Islam
ialah setiap penetapan hukum mesti dipertimbangkan dampaknya dulu, karena
dampak dari suatu penetapan hukum termasuk tujuan yang diperhitungkan oleh
syari’at[7]
Dalam
Islam, obyek hukum dibagi dua;
1. maqasid, yaitu sesuatu yang pada dirinya sendiri mengandung maslahah dan
mafsadah
2. zari’ah, yaitu jalan menuju
maqasid tersebut
Hipotesa
kerja dari kerangka teori tersebut adalah, apabila zari’ah (sesuatu yang menjadi
perantara) itu menuju maqasid yang diperbolehkan. Demikian pula, apabila hukum
maqasid itu haram maka hukum zari’ahnya juga haram. Para Tabi’in menemukan
teori ini, setelah mereka mengadakan penelitian secara sistematik dan mendalam
terhadap sumber hukum Islam (Syari’at) yang terdapat di dalam al – Qur’an,
surat Al – An’am (8) ayat 108; surat An Nur (24) ayat 31; dan lain
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul.
2007. Hukum Perjanjian Syari’ah Studi
tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Abu Ishaq Ibrahim asy – Syathibi, ttp., Al Muwafaqat fi Usul asy Syari’ah.
Mesir.
Abdurrahman asy – Syarqawi, 1994. Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima
Imam Mazhab Terkemuka, terjemahan Mujiyo Nurkhalis
Hasan, Husin Hamid. 1971. Nasari at al – Maslahat fi fiqh Islami.
Khallaf,
Abdul Wahhab. 1995. Ikhtisar Sejarah
Pembentukan Hukum Islam.
Rochman , Ibnu. .......... Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat.
[1]
Dijelaskan dalam kitab al-Hadist wa al-Muhadditsuun.
[2] Ibnu
Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat, hlm. 59
[3] Menurut
Abdul Wahhab Khallaf, Iktisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, hml. 37
[4]
Abdurrahman asy – Syarqawi, 1994. Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam
Mazhab Terkemuka, terjemahan Mujiyo Nurkhalis.
hlm 49
[5]Abu Ishaq
Ibrahim asy – Syathibi, ttp., Al Muwafaqat fi Usul asy Syari’ah. hlm 198
[6] Abdul
Wahhab Khallaf, 1985.
[7] Hamid
Hasan, 1971
Tidak ada komentar:
Posting Komentar